Angka Perkawinan Anak di Jatim Naik Jadi 6.084 Kasus

Pernikahan anak di bawah umur bukan alami, tapi karena married by accident.

Republika/Mahmud Muhyidin
Penghulu menikahkan pasangan suami-istri. Kasus pernikahan anak di Jatim terus naik, dan dibarengi kasus kekerasan seksual (foto ilustrasi).
Rep: Dadang Kurnia Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan Jawa Timur (DP3AK Jatim), mencatat, adanya peningkatan perkawinan anak di bawah umur dua tahun terakhir. Kepala DP3AK Jatim, Andriyanto mengatakan, bBerdasarkan data pengadilan agama (PA) se-Jatim, tercatat ada 5.127 perkawinan anak sepanjang 2019. Adapun pada 2020 jumlahnya meningkat menjadi 6.084 kasus.

"Ini adalah pernikahan anak yang laki-laki di bawah usia 19 tahun, kemudian wanitanya di bawah usia 16 tahun," ujar Andriyanto di Kota Surabaya, Rabu (4/11).

Andriyanto mengakui, perkawinan anak di bawah umur yang terjadi Jatim layaknya fenomena gunung es. Artinya, ribuan kasus pernikahan anak yang tercatat bisa jadi hanyalah bagian pucuk saja.


Menurut dia, tidak menutup kemungkinan lebih banyak kasus pernikahan anak di bawah umur yang belum tercatat. "Bisa jadi yang tidak tercatat lebih dari data itu, karena dinikahkan secara siri oleh tokoh agama setempat misalnya,” ujar Andriyanto.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, Hikmah Bafaqih menyebutkan, kasus perkawinan anak di bawah umur yang terjadi di Jatim mengalami peningkatan tajam. Dia merujuk pada izin dispensasi usia menikah di PA se-Jatim yang naik terus.

“Saat ini sedang kita kaji karena saat ini kan masa pandemi Covid-19, yang harusnya anak-anak dalam kondisi penuh pengawasan orang tua karena sekolah di rumah, kenapa kok justru meningkat,” ujar Hikmah.

Hikmah membeberkan pengalamannya sebagai pendamping anak, di mana kasus pernikahan anak di bawah umur kebanyakan diikuti kekerasan seksual. Artinya, kata dia, bukan perkawinan alami melainkan perkawinan didasari kejadian tertentu (married by accident). Hikmah mengatakan, di Madura merupakan daerah tertinggi kekerasan seksual.

Bahkan, pelakunya tidak sedikit dari tokoh masyarakat. “Ini harus ada intervensi dari provinsi. Kalau sebuah kabupaten/kota tidak ada layanan, menurut Komisi E Pemprov wajib hadir. Ada pembiaran pada pernikahan dini dan kekerasan seksual di Madura,” ujarnya.

Anggota Komisi E lainnya, Mathur Husyairi mengatakan, di Madura kasus kekerasan seksual, seperti pemerkosaan memang mengalami peningkatan. Dia pun berharap, adanya intervensi dari pemerintah untuk menyelamatkan anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut.

Intervensi yang dimaksud adalah dibangunnya tempat rehabilitasi. “Untuk Bangkalan memang sudah dianggarkan, tapi lahannya belum disiapkan. Kami berharap Pemprov Jatim hadir. Minimal di Madura ada satu tempat untuk menampung para korban ini yang nantinya bisa digunakan untuk rehabilitasi menghilangkan trauma,” kata politikus Partai Bulan Bintang (PBB) itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler