Jangan Ragu Boikot Produk Penista Nabi, Ini Deretan Dalilnya

Banyak dalil dari Alquran dan hadits menguatkan boikot ekonomi

ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Warga berunjuk rasa di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (6/11/2020). Aksi Solidaritas Bela Rasulullah SAW itu menyerukan pemboikotan terhadap produk-produk asal Prancis dan mengecam Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dianggap menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW.
Red: Nashih Nashrullah

Oleh : Kepala LPMQ Kemenag dan Sekjen OIAA, KH Dr Muchlis M Hanafi

REPUBLIKA.CO.ID, Di masa perang atau konflik bersenjata banyak negara menggunakan senjata ekonomi untuk menekan lawan. 

Baca Juga


Antara lain dengan melakukan aksi boikot tidak menjual dan atau membeli barang negara atau pihak yang diboikot. 

Tentu saja, dalam situasi konflik upaya melumpuhkan musuh dapat dibenarkan secara logika.  

Dalam kitab-kitab fiqih para ulama membahas hukum berdagang dengan pihak musuh. Mayoritas ulama membolehkan kecuali senjata atau lainnya yang dapat disalahgunakan untuk menyerang balik. Pada dasarnya, hukum boikot diperbolehkan dalam agama.

Tetapi hukumnya bisa beragam, tergantung sejauh mana pengaruh dan efektivitasnya. Bila berdampak membahayakan dan merugikan kaum Muslim maka hukumnya bisa menjadi makruh bahkan haram.  Tetapi bila memberi pengaruh besar melemahkan negara atau pihak yang menyerang maka hukumnya bisa menjadi wajib atau dibolehkan. 

Argumen aksi boikot bisa ditemukan dalam Alquran dan sunnah, antara lain yang pertama firman Allah:

‎ فَاِذَا انْسَلَخَ الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍۚ 

Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian ….” (QS at-Taubah: 5).

Imam al-Thabari menafsirkan kata wahshurûhum (kepunglah) dengan mencegah mereka melakukan transaksi di negeri Muslim (Tafsir al-Thabari, 14/134). Termasuk di dalamnya segala bentuk pengepungan, baik ekonomi maupun militer. Kedua, firman Allah SWT:

‎ وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهٖ عَدُوَّ اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمْ وَاٰخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْۚ لَا تَعْلَمُوْنَهُمْۚ اَللّٰهُ يَعْلَمُهُمْۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يُوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ   

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).” (QS at-Taubah: 60).

Kalimat ‘mastatha`tum min quwwah’ ditafsrikan Abu al-Su`ud dengan segala apa yang menjadikan kuat dalam perang, apa pun bentuknya (Irsyâd al-Aql al-Salîm, 4/32).

Ketiga, QS at-Taubah: 120

‎ مَا كَانَ لِاَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِّنَ الْاَعْرَابِ اَنْ يَّتَخَلَّفُوْا عَنْ رَّسُوْلِ اللّٰهِ وَلَا يَرْغَبُوْا بِاَنْفُسِهِمْ عَنْ نَّفْسِهٖۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ لَا يُصِيْبُهُمْ ظَمَاٌ وَّلَا نَصَبٌ وَّلَا مَخْمَصَةٌ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَطَـُٔوْنَ مَوْطِئًا يَّغِيْظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُوْنَ مِنْ عَدُوٍّ نَّيْلًا اِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهٖ عَمَلٌ صَالِحٌۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُضِيْعُ اَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ ١٢٠ 

“Tidak pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak pantas (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada (mencintai) diri Rasul. Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan. Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” 

Ayat ini menjelaskan bahwa apa saja yang dapat membangkitkan kemarahan orang kafir (yang memerangi) sangat dianjurkan oleh agama. Ini terkait dengan perang psikologis. Boikot ekonomi berpengaruh dari dua sisi yaitu materi dan psikologis.

Peristiwa yang paling tegas dijadikan dalil kebolehan aksi boikot adalah yang dilakukan oleh Tsumamah bin Atsam, tokoh masyarakat Yamamah ketika masuk Islam. Dalam riwayat yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, setelah berislam Rasulullah perintahkan Tsumamah untuk berumrah. 

Sesampainya di Makkah, ada yang membuatnya murka karena mengatakan dia telah berpindah agama menjadi Shabiin. Tsumamah menjawab, bahwa dia telah memeluk Islam bersama Rasulullah. 

Lalu dia berkata, “Demi Allah, tidak akan pernah datang dari Yamamah sebutir gandum untuk kalian kecuali atas izin Rasulullah”. 

Dalam riwayat lain yang disebutkan al-Baihaqi dalam dalâ`il al-Nubuwwah, Tsumamah memboikot penduduk Makkah sampai mereka kesulitan dan menulis surat kepada Rasulullah agar meminta Tsumamah kembali memasok gandum. Rasul pun mengabulkan.  

Pada peristiwa tersebut Rasulullah merestui dan membenarkan tindakan Tsumamah, walaupun pada akhirnya beliau meminta Tsumamah mencabut aksi tersebut. Ini menunjukkan bahwa hukum asal boikot adalah boleh.

Karyawan merapikan produk Prancis yang diboikot di salah satu minimarket di Jakarta, Selasa (3/11). (Republika/Putra M. Akbar)

Senjata ‘boikot ekonomi’ ini juga pernah digunakan Nabi Yusuf AS kepada saudara-saudaranya yang datang ke mesir, karena saat itu sedang terjadi paceklik berkepanjangan yang menyebabkan kekurangan pasokan makanan. Allah berfirman:

‎ وَلَمَّا جَهَّزَهُمْ بِجَهَازِهِمْ قَالَ ائْتُوْنِيْ بِاَخٍ لَّكُمْ مِّنْ اَبِيْكُمْ ۚ اَلَا تَرَوْنَ اَنِّيْٓ اُوْفِى الْكَيْلَ وَاَنَا۠ خَيْرُ الْمُنْزِلِيْنَ فَاِنْ لَّمْ تَأْتُوْنِيْ بِهٖ فَلَا كَيْلَ لَكُمْ عِنْدِيْ وَلَا تَقْرَبُوْنِ  

“Dan ketika dia (Yusuf) menyiapkan bahan makanan untuk mereka, dia berkata, “Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu (Bunyamin), tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan takaran dan aku adalah penerima tamu yang terbaik? Maka jika kamu tidak membawanya kepadaku, maka kamu tidak akan mendapat jatah (gandum) lagi dariku dan jangan kamu mendekatiku.” (QS. Yusuf: 59-60)

Pada ayat tersebut Nabi Yusuf yang bertanggungjawab atas logistik dan perbendaharaan negara saat itu di Mesir tidak memberi jatah pasokan makanan untuk saudara-saudaranya sebagai cara untuk menekan dan memaksa mereka agar mendatangkan saudara kandungnya (Benyamin).

Berdasarkan dalil-dalil di atas dapat disimpulkan bahwa aksi boikot terhadap produk-produk negara atau pihak yang menyerang dan memusuhi umat Islam pada dasarnya dibolehkan oleh agama.

Tetapi hukumnya bisa bermacam-macam; wajib, sunnah, makruh dan haram, tergantung situasi dan keadaan serta pertimbangan maslahat dan mudharat yang ditimbulkannya berdasarkan otoritas umat Islam.

Selain itu bergantung pada sejauh mana efektivitas dan dampaknya terhadap musuh dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat Muslim, termasuk perekonomian mereka. Poin terakhir masih perlu kajian lebih mendalam. Wallahu a’lam 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler