IDI Sebut Kerumunan Selalu Berpotensi Tambah Kasus Covid-19
Penjemputan Habib Rizieq kemarin juga harus diwaspadai tambah kasus Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Febrianto Adi Nugroho, Sapto Andika Candra
Kasus virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) di beberapa daerah usai libur panjang 28 Oktober-1 November 2020 mulai meningkat di beberapa daerah. Pengurus Ikatan Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menilai, kenaikan kasus diakibatkan oleh kerumunan yang terjadi di masyarakat selama liburan yang kemudian menularkan virus.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih mengaku mendapatkan data dari tim mitigasi IDI bahwa jumlah kasus Covid-19 bertambah di beberapa rumah sakit usai libur dan cuti kemarin seiring dengan banyak orang yang berobat ke fasilitas kesehatan. "Karena saat liburan bersama, orang-orang cenderung membentuk kerumunan, menularkan virus, dan akhirnya menimbulkan kasus baru. Bahkan, kami juga mencatat banyak petugas atau tenaga kesehatan yang terinfeksi," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (11/11).
Tak hanya itu, IDI juga mendapatkan laporan petugas kesehatan yang menangani Covid-19 kemudian meninggal dunia di periode ini meningkat. Artinya, dia menambahkan, kasus Covid-19 yang meningkat membuat pasien yang datang ke rumah sakit juga meningkat, dan dampaknya tenaga kesehatan yang terinfeksi virus hingga gugur juga meningkat.
"Sehingga, IDI ingin menyampaikan ke pemerintah, barangkali ke depan supaya memikirkan matang-matang (membuat) kebijakan libur bersama," katanya.
Bahkan kalau memungkinkan, dia melanjutkan, kebijakan cuti dan libur bersama lebih baik ditiadakan sementara karena momen ini terbukti menularkan virus dan menyebabkan kasus di RS bertambah kemudian imbasnya bertambahnya petugas kesehatan yang terinfeksi virus ini. Faqih menegaskan, pandemi virus ini belum selesai. Terbukti dengan kasus harian yang masih di angka 3.000 sampai 4.000an.
IDI berharap libur yang ditiadakan untuk sementara membuat masyarakat tidak mudah terinfeksi. Beban petugas kesehatan juga tidak lebih berat yang berpotensi membuat tenaga kesehatan mudah terinfeksi.
Terkait berlibur dengan menerapkan protokol kesehatan, Daeng menyebutkan pengendaliannya sulit dilakukan karena banyak masyarakat yang berkerumun, berkumpul kemudian jalan-jalan selama cuti. Ia menegaskan tentu ini berisiko meningkatkan kasus Covid-19 dan kini terbukti penularannya lebih banyak, kemudian banyak yang terinfeksi virus dan akhirnya pasien datang berobat ke rumah sakit lebih banyak.
"Kami juga prihatin bahwa informasi petugas kesehatan yang tertular juga lebih banyak kemudian yang gugur meningkat," katanya.
Peningkatan kasus usai libur panjang mulai terjadi di beberapa daerah seperti Indramayu dan Bogor di Jawa Barat, Jember di Jawa Timur, hingga Kalimantan Tengah. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat daerah-daerah ini mengalami kenaikan kasus Covid-19 dalam beberapa hari terakhir.
Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga Surabaya Windhu Purnomo mengatakan, jumlah kasus harian Covid-19 sebenarnya tidak menunjukkan realitas. "Ini bisa seperti puncak gunung es karena pengetesan Indonesia belum melebihi batas minimum (WHO)," kata Windhu.
Windhu menjelaskan, batas minimum pengetesan Covid-19 berdasarkan ketentuan WHO yaitu 1.000 per 1 juta penduduk setiap pekannya. Artinya, dia menambahkan, jumlah penduduk Indonesia sekitar 270 juta maka minimal harus memeriksa 270 ribu orang per pekan atau per hari 39 ribu.
Sedangkan, faktanya Indonesia tidak pernah mencapainya, hanya beberapa kali pernah mengetes 40 ribu spesimen dalam kurun waktu delapan bulan terakhir ini. Bahkan, ia menyebutkan akhir-akhir ini Indonesia hanya memeriksa 20 ribu hingga 25 ribu spesimen per hari.
Artinya, dia menambahkan, spesimen yang dites setiap harinya hanya 50-65 persen dari batas minimum WHO. Ia mengakui pengetesan spesimen di provinsi tertentu sudah memenuhi standar seperti DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sumatra Barat. Tetapi kondisinya berbeda di provinsi lain seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan 30 provinsi lainnya karena kemampuan pengetesannya masih 50-65 persen, bahkan ada yang 20 persen.
"Artinya apakah betul Indonesia mengalami penurunan kasus? Belum tentu. Kalau melihat statistik epidemiologi yang tidak underestimate maka testingnya harus cukup dulu, baru ngomong lainnya," katanya.
Ia mengakui, angka kasus baru Covid-19 yang dilaporkan memang menurun tetapi stagnan 3.000an per hari dan kadang meningkat. Bahkan, dia melanjutkan, efek lonjakan kasus pascalibur panjang belum diketahui karena membutuhkan waktu 5 sampai 14 hari setelah libur.
"Jadi, angka kasus positif ini jangan ditelan mentah-mentah sebagai realitas," ujarnya.
Persoalan lainnya, dia melanjutkan, pelacakan kasus (tracing) Indonesia juga lemah. Ia menambahkan, seharusnya melakukan contact tracing satu kasus positif minimal ke 20-30 orang, namun faktanya Indonesia baru bisa melakukan sekitar lima sampai enam orang.
Ia menyadari sebenarnya ini bukan sepenuhnya kesalahan petugas melainkan juga karena berkembangnya stigma di masyarakat. Ini membuat mereka tidak mau didatangi petugas untuk dilacak. Padahal, ia menegaskan strategi utama setiap penanganan wabah atau epidemi selalu mencari kasus. Sehingga ketika kasus tidak ditemukan, dia melanjutkan, maka Covid-19 tidak bisa ditanggulangi, diobati, termasuk dicegah penularannya.
"Sehingga, testing dan tracing harus masif. Ini harus tetap dilakukan," katanya.
Ia menambahkan, pekerjaan rumah (PR) pemerintah saat ini adalah memasifkan testing plus menambah tracing. Kalau ini tidak dilakukan, ia khawatir banyak orang tidak bergejala di luar yang tidak terungkap, kemudian orang-orang ini menjadi penular virus ke yang lain. Selain itu, ia meminta pola pikir pemerintah daerah juga harus diubah. Sebab, dia melanjutkan, seringkali pemerintah daerah merasa malu jika banyak terjadi kasus Covid-19 di daerahnya, bahkan tidak mempermasalahkan jika pengetesan Covid-19 di wilayahnya minim.
Kerumunan massa penjemputan Imam Besar Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab di bandara dan di Petamburan kemarin juga menimbulkan kekhawatiran akan kluster baru. Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo menyayangkan adanya kerumunan massa kemarin.
"Saya kira ini sangat dimungkinkan sekali akan muncul klaster-klaster baru," kata Rahmad. Menurutnya penanganan Covid-19 tidak bisa hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga melibatkan seluruh elemen masyarakat. Termasuk dari para tokoh masyarakat.
"Akan semakin jauh kita mengendalikan Covid-19 bila semua pihak dan siapa saja yang serta merta abai terhadap protokol kesehatan,' ujarnya.
Ia berharap kegiatan yang memunculkan kerumunan massa bisa segera dihentikan. Dia juga berharap agar Rizieq mematuhi protokol kesehatan sebagaimana dengan yang dianjurkan pemerintah.
"Sekali lagi saya mengajak semua pihak setelah sampai rumah juga harus menjaga diri. Kalau mereka menyayangi keluarga, menyayangi umat, tentu harus menjalankan protokol kesehatan," ungkapnya.
Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 meminta masyarakat agar tidak abai dalam menjalankan protokol kesehatan. Terutama, menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan secara rutin.
"Covid-19 adalah virus yang tidak terlihat, penyakit yang disebabkan virus tidak terlihat sehingga tidak semua orang memiliki gejala saat awal terkena. Kerumunan menyulitkan kita jaga jarak. Tanpa menggunakan masker juga tingkatkan risiko. Kelalaian terhadap kondisi ini dapat membahayakan nyawa manusia," ujar Wiku dalam keterangan pers, Selasa (10/11).
Antusiasme massa dalam menyambut kepulangan HRS sudah terlihat sejak pagi. Simpatisan FPI telah memadati Bandara Internasional Soekarno-Hatta sejak pagi hingga ketibaan HRS sekitar pukul 09.40 WIB. Massa yang jumlahnya diprediksi menyentuh angka puluhan ribu itu tak henti-hentinya menampakkan rasa antusias terhadap kedadatangan sang imam, sembari mengantar mobil yang ditumpangi HRS melaju keluar bandara.