Larangan Jilbab di Kota Swedia Kembali Picu Polemik Publik
Lembaga Ombudsman Swedia tegaskan jilbab dilindungi undang-undang
REPUBLIKA.CO.ID, SKURUP – Lembaga Ombudsman Diskriminasi Swedia menyatakan larangan pakaian keagamaan merupakan tindakan diskriminasi.
Pernyataan ini dikeluarkan menyusul larangan yang diterbitkan Pemerintah Kota Skurup Swedia terhadap penggunaan jilbab, burqa, niqab, dan sejenisnya di sekolah dasar dan tempat umum.
Lembaga Ombudsman menyatakan pakaian keagamaan termasuk busana busana Muslim dilindungi oleh hukum.
"Ketika pemeriksaan sekarang selesai, Ombudsman membuat penilaian bahwa meskipun kebijakan tersebut, berlaku untuk semua siswa dan staf di prasekolah dan sekolah dasar di kota Skurup, tujuannya justru untuk melarang pakaian keagamaan. Ini Artinya, penerapan kebijakan terkait orang yang mengenakan pakaian tersebut akan terkait dengan agama atau kepercayaannya,” kata kantor ombudsman dalam siaran persnya.
Deputi Diskriminasi Ombudsman, Martin Mork, menekankan bahwa dengan pengecualian situasi di mana pakaian tersebut mempengaruhi kondisi obyektif siswa atau karyawan untuk melaksanakan elemen pendidikan atau tugas, larangan tersebut merupakan diskriminasi langsung terkait dengan agama dan kepercayaan lain.
Pada akhir 2019, Partai Moderat liberal-konservatif, Demokrat Swedia konservatif nasional, dan Partai Skurup lokal bekerja sama untuk mengeluarkan larangan penutup kepala Islami di Kota Skurup di tempat publik dan sekolah serta prasekolah di kota sekitarnya. Larangan tersebut meliputi jilbab, burqa, niqab, dan pakaian lain yang bertujuan untuk menutupi wajah dan berlaku untuk siswa dan staf.
Sebelumnya pada 2019, Kota Staffanstorp dengan pemerintahan moderat di Skane memutuskan untuk memperkenalkan tak ada toleransi untuk penutup kepala Islami untuk anak-anak sebagai bagian dari rencana integrasinya. Larangan itu dirancang untuk memastikan bahwa kesetaraan dan nilai-nilai Swedia berlaku.
Kedua kasus ini memicu perdebatan panas di media dan kecaman keras dari politisi liberal, yang menurut mereka ini merupakan bias negatif, penindasan, dan pelanggaran kebebasan beragama dan hak-hak perempuan.
Lawan mereka membalas bahwa tradisi sekuler harus dipertahankan, mengutip larangan Prancis sebagai contoh, dan menggarisbawahi bahwa jilbab merupakan bentuk penindasan pada wanita dan tidak termasuk dalam feminis Swedia. Beberapa berpendapat bahwa mengizinkan jilbab tersebut.
"Jika Anda menerima bahwa perempuan harus menutupi wajah mereka, apa yang akan Anda terima besok? Apakah Anda juga berniat untuk menerima poligami, perkawinan anak dan sebagainya?" kata politisi Demokrat Swedia Lars Nystrom bertanya-tanya dalam debat.
Jumlah Muslim di Swedia telah melonjak dalam beberapa dekade terakhir, dari beberapa ratus pada 1950-an menjadi lebih dari 800 ribu di negara berpenduduk lebih dari 10 juta saat ini.
Konflik antara pandangan Islam tentang masyarakat dan filsafat feminis Swedia telah mengangkat isu-isu yang sebelumnya tidak diketahui bangsa yang sebagian besar homogen dan mayoritas Lutheran.
Antara lain, beberapa Muslim Nordik mungkin merasa sulit untuk menyetujui isu-isu seperti hak-hak perempuan dan penerimaan minoritas seksual, yang dipandang sebagai pokok masyarakat Nordik.