Kenaikan Tarif Cukai demi Rokok Semakin Mahal tak Terjangkau
Pemerintah memutuskan menaikkan cukai hasil tembakau sebesar 12,5 persen.
REPUBLIKA.CO.ID, Adinda Pryanka, Dadang Kurnia, Intan Pratiwi
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutuskan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok rata-rata sebesar 12,5 persen. Kenaikan ini akan berimbas pada melonjaknya indeks keterjangkauan rokok, sehingga harga rokok semakin sulit dijangkau oleh masyarakat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, affordability index terhadap rokok naik dari 12,2 persen pada 2020 menjadi antara 13,7 persen hingga 14 persen pada tahun depan. Dengan format kebijakan tersebut, Sri berharap, konsumsi rokok dapat semakin terkendali, terutama pada kelompok anak-anak dan perempuan.
"Sehingga, (rokok) makin tidak terbeli," tutur Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual pada Kamis (10/12).
Dengan kenaikan harga rokok akibat kenaikan cukai itu, pemerintah menargetkan, prevalensi merokok secara umum diharapkan dapat turun menjadi 33,2 persen pada 2021, dari 33,8 persen pada tahun ini. Prevalensi merokok untuk anak-anak usia 10 hingga 18 tahun pun akan tetap diupayakan turun. Hal ini sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2020-2024.
"Saat ini, angkanya di 9,1 persen, akan diturunkan di 8,7 persen pada 2024," ujar Sri.
Menurut Sri, kebijakan CHT tahun depan dilaksanakan sesuai dengan visi misi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menekankan pada Sumber Daya Manusia (SDM) maju, Indonesia Unggul.
Kenaikan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 12,5 persen akan berlaku mulai tahun depan. Secara lebih rinci, kenaikan CHT untuk sigaret putih mesin (SPM) golongan I akan dinaikkan sebesar 18,4 persen, sementara golongan IIA dan IIB dinaikkan masing-masing 16,5 persen dan 18,1 persen.
Selain itu, sigaret kretek mesin (SKM) golongan I naik 16,9 persen dan 13,8 persen untuk SKM golongan IIA. SKM golongan IIB pun naik sebesar 15,4 persen. Besaran harga banderol atau harga jual eceran di pasaran harus disesuaikan dengan kenaikan dari tiap masing kelompok ini.
Sedangkan, industri sigaret kretek tangan tidak mengalami perubahan. "Kenaikannya nol persen karena industri ini adalah yang memiliki unsur tenaga kerja terbesar," tutur Sri.
Sri memerinci, setidaknya ada beberapa dimensi yang dipertimbangkan sebelum menentukan besaran kenaikan tarif cukai rokok. Pertama, mengendalikan konsumsi dari produk hasil tembakau dengan fokus pada masalah kesehatan. Dalam hal ini adalah dampak kesehatan dari konsumsi hasil tembakau, atau rokok.
Pada saat bersamaan, pemerintah harus terus menjaga tenaga kerja yakni para buruh yang bekerja di pabrik rokok dan petani tembakau. Sri mencatat, setidaknya ada lebih dari 158 ribu buruh pabrik rokok, terutama terkonsentrasi pada industri rokok kretek tangan.
Selain itu, setidaknya ada 526 ribu keluarga petani tembakau atau setara dengan 2,6 juta orang yang masih bergantung pada pertanian tembakau. "Cukai sigaret kretek tangan yang tidak alami kenaikan ini diharapkan akan memberi kepastian kepada penyerapan hasil tembakau para petani," ujar Sri.
Pemerintah juga berkewajiban untuk meminimalkan dampak produk hasil tembakau yang sering muncul dalam bentuk kegiatan produksi rokok ilegal. Sebab, Sri menuturkan, mereka tidak hanya melalaikan kewajiban ke negara, juga membahayakan kesehatan masyarakat. "Kami akan terus memerangi rokok ilegal dan menjaga kepentingan penerimaan negara," katanya.
Survei perilaku perokok
Sebelumnya, pada Septermber, survei yang dilakukan Komite Nasional Pengendalian Tembakau menemukan, pandemi Covid-19 sama sekali tidak mengubah perilaku merokok pada perokok. Perokok aktif bahkan cenderung meningkat.
"Pandemi Covid-19 ini tidak menurunkan perilaku merokok. Pemerintah perlu lebih kuat menerapkan kebijakan fiskal dan nonfiskal agar masyarakat dapat berhenti merokok," kata peneliti utama survei Komnas Pengendalian Tembakau Krisna Puji Rahmayanti saat peluncuran hasil survei yang diliput secara daring, Selasa (15/9).
Yayasan Arek Lintang (ALIT) yang bergerak di bidang perlindungan anak, bekerja sama dengan Koalisi Stop Child Abuse juga melakukan survei terkait perilaku anak di masa pandemi Covid-19. Survei yang digelar menemukan sedikitnya 500 anak menjadi perokok aktif selama pandemi Covid-19.
"Kebetulan saat kondisi pandemi anak-anak tidak ada kegiatan sekolah tatap muka, sehingga banyak menggunakan Wifi dan belajar daring di warung kopi. Tetapi di sana mereka juga merokok," kata Tim Baseline Survey Koalisi Stop Child Abuse, Lisa Febriyanto dalam Webinar yang diselenggarakan Kadin Jatim.
Lisa menjelaskan, temuan ini adalah hasil survei yang dilakukan di 5 daerah. Yakni Surabaya, Sidoarjo, Malang Raya, Jember-Banyuwangi, dan Yogyakarta. Hasil survei mengungkapkan, paling banyak anak-anak yang merokok adalah di warung kopi.
Direktur Eksekutif Alit Indonesia, Yuliani Umrah menegaskan, berdasarkan temuan survei tersebut menandakan rata-rata anak yang menjadi perokok aktif, mengalami peningkatan di masa pandemi Covid-19. Dia pun mengajak semua pihak mencari solusi atas temuan tersebut. Utamanya untuk menekan jumlah anak-anak yang menjadi perokok aktif.
"Kalau kemudian kami hanya menemukan 500 anak yang menjadi perokok, besar kemungkinan jumlah tersebut lebih dari seribu atau bahkan sepuluh ribu anak yang menjadi perokok," kata Yuliani.
Asosiasi Petani Tembakau menilai kebijakan pemerintah untuk menaikan cukai rokok membuat nasib para petani terpuruk. Kenaikan cukai akan membuat permintaan menurun dan menyusahkan petani.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat, Sahminudin meminta Komisi XI DPR RI untuk bisa menjadi penyambung aspirasi para petani tembakau. Sahminuddin mewakili seluruh petani tembakau Indonesia, secara khusus NTB (penghasil tembakau nomor dua terbesar di Indonesia), untuk menyampaikan aspirasi para petani terkait rencana kenaikan cukai industri hasil tembakau (IHT) tahun depan.
“Idealnya kenaikan cukai itu ada di kisaran 5 persen saja,” ujar Sahminudin, Kamis (10/12).
Ia juga memaparkan bahwa pemerintah dalam menaikkan cukai rokok perlu mempertimbangkan aspek kesehatan, tenaga kerja, dan terutama pendapatan para petani.
“Kenaikan cukai tentu akan sangat berdampak pada serapan tembakau yang langsung drop karena produksi rokok turun, sedangkan produksi petani landai. Ini menghempaskan pendapatan petani tembakau di Indonesia,” kata Sahminudin.
Sahminudin juga memberikan prediksi penurunan penjualan jika cukai tetap dinaikkan. Ia mencontohkan ketika terjadi kenaikan di tahun 2019, penurunan penjualan mencapai 52 milyar batang.
Apabila di tahun mendatang kembali terjadi kenaikan 23 - 35 persen, diprediksikan tahun 2021 akan kembali terjadi penurunan penjualan hingga 63 milyar batang, dan ini setara dengan 63.000 ton tembakau.
Sahminudin juga menambahkan, jika cukai rokok tetap dinaikkan, hal ini tidak hanya memberikan dampak negatif terhadap tenaga kerja dan serapan tembakau. Tetapi, juga akan memperbesar peredaran rokok ilegal.