Kala JK Menyentil Partai dan Ormas Islam Soal HRS

Membaca kritik JK soal ketiadaan Partai dan Ormas Islam dalam kontroversi HRS

Dok DMI
Wakil Presiden RI ke-10 & 12 Jusuf Kalla bersama Mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Syafruddin selaku Ketua Yayasan Museum Sejarah Rasulullah SAW dan Peradaban Islam, mendapat kesempatan melaksanakan ibadah umroh di tengah Pandemi Covid-19 oleh Pihak Kerajaan Arab Saudi.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha, Wartawan Senior Mantan Pimred Republika.


Muhammad Jusuf Kalla. Langkahnya lebar, artikulasinya bertenaga. Tak heran jika ia bisa menjadi wakil presiden hingga dua kali dari dua presiden yang berbeda. Jika ia orang Jawa, kemungkinan ia sudah menjadi presiden.

Sejak mahasiswa pada tahun 1960-an ia sudah menjadi aktivis di HMI dan setelah itu ia malang melintang dalam dunia politik, secara terus menerus hingga saat ini. Latar belakangnya sebagai pengusaha membuat langkah politiknya demikian simpel. Itu yang membuat dirinya demikian ‘mudah’ menyelesaikan konflik Aceh, Poso, dan Ambon.

Kini JK malah lebih sibuk sebagai ketua umum Palang Merah Indonesia (PMI) dan ketua umum Dewan Masjid Indonesia (DMI). Taglinenya saat maju menjadi capres pada 2009 “Lebih Cepat, Lebih Baek” merupakan gambaran pas tentang dirinya: cekatan, lincah, efektif.

Pada 20 November 2020 lalu, ia diundang menjadi pembicara dalam webinar yang diadakan DPP PKS. Pernyataannya langsung menjadi pembicaraan. Menurutnya, fenomena Habib Rizieq Syihab (HRS) terjadi karena ada kekosongan kepemimpinan. Yaitu kekosongan kepemimpinan yang mampu menyerap aspirasi masyarakat secara luas. Ini lanjutannya:

“Kenapa ratusan ribu orang itu, kenapa tidak percayai DPR untuk berbicara? Kenapa tidak dipercaya partai-partai khususnya partai Islam? Untuk mewakili masyarakat itu.”

Semua pertanyaan itu penting untuk dievaluasi dan dipelajari, khususnya oleh partai Islam, termasuk PKS.

Selain itu, sistem demokrasi di Indonesia juga perlu diperbaiki. Itulah poin-poin yang disampaikan JK, panggilan akrabnya. Pernyataannya itu beredar di media massa dan juga di kanal youtube. Wawancara lebih dalam soal ini juga dilakukan majalah Tempo.

Pernyataan JK ini ditanggapi beragam, termasuk direaksi secara politis. Jangan tanya bagaimana keriuhan media sosial – oh ya di era click bait ini keriuhan juga terjadi di media daring – yang giat mencari sentimen dengan bahasa-bahasa menusuk rasa.

Salah satu di antara reaksi itu adalah seolah arah pernyataan JK tersebut tertuju kepada pemimpin nasional. Jika ditarik-tarik tentu bisa saja terarah ke sana. Namun jika kita dalami, konstatasi JK tersebut lebih tertuju pada internal umat Islam Indonesia.

Jika pun lebih luas maka hal itu tertuju pada sistem politik Indonesia yang tak mampu menggagregasi berbagai kepentingan masyarakat yang terfragmentasi dalam beragam dimensi tersebut – tentang hal ini bisa dilacak dari sudut sejarah sosial dan ekonomi yang mengerucut pada hukum dan politik. 

Tapi dalam wawancara dengan Tempo, JK lebih jelas berbicara bahwa yang ia maksud memang kekosongan kepemimpinan di internal umat Islam, bahkan ia mention khusus tentang NU dan Muhammadiyah yang lebih sibuk dakwah dan upaya sosial. JK juga menyatakan partai-partai Islam bersikap pragmatis saja. Kekosongan inilah yang kemudian diisi HRS.

Pernyataan JK tersebut masih seirama dengan serial tulisan saya – ada delapan seri dengan tagline Revolusi Putih pada periode 2016-2017 – sehingga kali ini saya menulis lagi. Pernyataan JK tersebut secara umum tergambarkan dalam serial tulisan 3-4 tahun lalu tersebut.

Namun lebih khusus lagi bisa dibaca pada seri ke-7. Tulisan kali ini tentu diharapkan bisa lebih menukik pada frasa “kekosongan kepemimpinan” tersebut.

 

 

 

Dinamika umat Islam Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945 bergerak naik-turun. Gelombangnya tak cuma longitudinal, naik-turun seperti grafik.

Tapi juga spiral-horizontal: naik-turun dan kiri-kanan. Ada kalanya mendaki, ada kalanya menurun. Ada kalanya di puncak, ada kalanya tersungkur. Kadang terpental ke kanan, kadang terpental ke kiri. Namun selalu ada ciri pokok yang selalu melekat: terlalu banyak kelompok dan secara ekonomi relatif tetap miskin.

Saat proklamasi, ‘beruntung’ (sic!) kolonialis sudah beralih ke Jepang yang netral agama, sehingga penyusunan anggota BPUPK memberi porsi yang relatif baik pada umat Islam. Walau tetap didominasi nasionalis sekular, tapi wakil Islam relatif terakomodasi.

Bahkan sebelum itu, Jepang menginisiasi kelahiran Masyumi. MIAI yang berdiri di masa kolonial Belanda diberi peluang untuk berkembang oleh Jepang, namun kemudian Jepang menghendaki ada perubahan sehingga menjadi Masyumi. MIAI dan Masyumi adalah lembaga yang menyatukan seluruh komponen umat Islam.

Selain itu, Jepang juga mendirikan Putera dengan tokohnya empat serangkai: Sukarno, Hatta, KH Mas Mansyur, dan Ki Hadjar Dewantara. Umat diwakili oleh KH Mas Mansyur. Berkat semua itu, tentu juga karena kiprah para aktornya, maka kemudian kekuatan Islam berada di papan atas sejarah Indonesia. Hal itu makin dibuktikan pada pemilu 1955.

Namun setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, melalui politik belah bambu – sebuah istilah yang disodorkan Buya Ahmad Syafii Maarif dalam tesis masternya – telah menjadikan Islam melalui fase menurun. Pergantian kekuasaan ke rezim Orde Baru tak mengubah keadaan, walau dalam upaya penjatuhan rezim Orde Lama kekuatan Islam dimanfaatkan sebagai alat pemukul yang kuat. Bahkan penguasa Orba makin memurukkan kekuatan Islam.

Puncaknya adalah tragedi Tanjung Priok. Dalam serpihan-serpihan lainnya muncul GPK Warsidi, Komando Jihad, dan lain-lain, yang oleh banyak kalangan disebut sebagai upaya intelijen dengan strategi meniup balon untuk diledakkan – tentang hal ini bisa dibaca pada tesis doktoral Busyro Muqoddas, pengacara yang pernah menjadi komisioner KPK.

Semenjak kegagalan memulihkan Masyumi, termasuk menggunakan nama lain, serta kegagalan aktifnya kembali tokoh-tokoh eks-Masyumi termasuk dari barisan tak popular, di awal Orba, telah membuat pimpinan Masyumi mengambil langkah drastis: berpolitik melalui jalur dakwah.

Wujud konkretnya adalah mendirikan DDII, dengan fokus dakwah di kalangan kampus. Dalam varian lain, rezim Orba juga menghalangi tokoh-tokoh lama untuk berkiprah. Hatta batal mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia. Para Sukarnois pun disingkirkan, apatah lagi dari PKI dan keluarganya.

Desukarnoisasi oleh Orba yang terlegitimasi karena ada Tap MPR yang melarang menyebarkan ajaran Bung Karno, serta karena rezim Orba adalah yang menjatuhkan rezim Orla, maka pengikut Sukarno memilih jalan tiarap. Sedangkan kekuatan Islam yang ikut mendirikan Orba maka merasa memiliki legitimasi untuk ikut berperan.

Tapi rezim militer tak ingin ada kekuatan lain serta menjadikan Islam sebagai bagian dari ancaman, maka kekuatan Islam adalah bagian dari yang harus dilumpuhkan. Setelah sukses menggergaji eks Masyumi, rezim Orba giliran memotong NU. Sempurna!

Riwayat itu menjelaskan dua hal. Pertama, kegagalan kekuasaan dalam memaknai kekuasaan. Rakyat dan yang berbeda dilihat sebagai musuh yang harus ditindas dan dikalahkan.

Kedua, kegagalan aktor-aktor umat Islam dalam bersiasat dan menafsir doktrin. Dalam situasi itu lalu muncul Nurcholish Madjid, seorang anak Masyumi, yang meneriakkan Islam Yes Politik No maupun keharusan sekularisasi.

Melalui dua langkah itu, pada satu sisi Cak Nur mengajak umat Islam 'menjauh' dari politik, pada sisi lain Cak Nur mendamaikan Islam dan Pancasila serta merumuskan hubungan yang selaras antara Islam dan negara.

Di lingkungan NU juga muncul Abdurrahman Wahid. Melalui gerakan kembali ke Khittah 1926, ia mengajak warga NU menjauhkan wadah NU dari politik, artinya NU tak lagi memiliki hubungan organisasional dengan partai. Pada sisi lain ia juga menyuarakan pribumisasi Islam, yang mendamaikan hubungan Islam dengan keindonesiaan maupun Islam dan negara.

Namun kedua figur ini bukan bagian dari kekuasaan tapi justru menjadi oposisi yang loyal. Di bagian lain ada tokoh-tokoh seperti M Amien Rais, Imaduddin Abdulrachim, M Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan lain-lain.

Dengan cara itu mereka menjadi tokoh alternatif dari rahim umat. Dalam perkembangannya, publik membedakan mereka ke dalam dua arus pendekatan: pendekatan kultural dan pendekatan struktural. Kategorisasi tersebut sebetulnya tak pas benar.

Seiring kesuksesan pembangunan ekonomi dan pendidikan oleh pemerintah Orba serta kesuksesan gerakan Cak Nur-Gus Dur dkk, hubungan umat Islam dan negara mulai membaik.

Salah satu prestasi monumental lainnya adalah ketika gagasan Cak Nur tentang Pancasila sebagai ideologi terbuka diterima Soeharto. Dengan demikian, hubungan agama dan Pancasila memiliki jalan untuk bersimbiosis seperti harapan Sukarno dulu.

Di era Sukarno, tak ada masalah tentang hubungan Pancasila dan agama, namun di awal Orde Baru terjadi ketegangan karena mempertentangkan agama dan Pancasila.

Ada upaya hegemonik satu dan yang lainnya. Keselarasan di aspek ideologis ini berlanjut pada penyerapan aspirasi. Sehingga terjadi bulan madu antara umat Islam dan negara. Sempat muncul istilah “ijo royo-royo” dari pihak yang tak senang, yang kemudian diplesetkan menjadi “ijo loyo-loyo”.

 

 

Simbiosis itu cuma sebentar. Terjadi perlawanan yang kuat (secara sederhana misalnya ICMI dipertandingkan dengan PCPP dan Fordem serta Barisan Nasional, ABRI Hijau vs ABRI Merah Putih, dan seterusnya) sehingga perkongsian renggang lagi dan kemudian pecah.

Semuanya kemudian berujung pada runtuhnya rezim Orba, ketika krisis moneter bertumpuk dengan hilangnya dukungan dari semua komponen politik. Namun tak ada revolusi tanpa ujung tombak, di sini Amien Rais berada di garda depan sehingga dijuluki sebagai lokomotif reformasi.

Buyarnya rezim otoriter dan dibukanya fase demokratisasi, membuka lahirnya semua kekuatan. Semua budal, seperti dibukanya gerbang sekolah usai habis jam pelajaran.

Semua elemen politik mendirikan partai politik. Namun pemenangnya adalah partai-partai yang berhasil mengkonsolidasi kekuatan dan mendapat dukungan dana. Strategi Soeharto selama 32 tahun dengan trickle down effect membuat penguasaan aset ekonomi hanya kepada segelintir orang, yang disebut konglomerat.

Kemiskinan yang gigantis, hilangnya keteladanan, mentalitas korup, lemahnya penegakan hukum telah membuat kehidupan politik menjadi transaksional dan pragmatis. Pemilih memilih yang membayar, wakil-wakil rakyat juga mengikuti maunya yang membayar. Terjadi lingkaran setan.Dominasi pengusaha di parlemen makin kuat dan wakil rakyat yang didanai pengusaha makin kuat.

Maka jadilah Indonesia menjadi negara oligarkis dan plutokratis – dipimpin segelintir orang dan oleh pemilik uang. Tak ada lagi kenegarawanan. Inilah yang kemudian berujung pada kekosongan kepemimpinan umat.

Rakyat tak terwakili. Jangankan untuk hal-hal yang abstrak, bahkan dalam UU Ciptaker (UU Omnibuslaw) kritis dari banyak tokoh dan ormas pun diabaikan. Politik menjadi kering, dimaknai pada kelembagaan formal dan prosedural. Politik tak mampu menangkap substansi bernegara.

Isu-isu lama yang sudah selesai di masa Sukarno maupun Soeharto seperti hubungan agama dan negara, hubungan Islam dan Pancasila, dikelupas lagi. Tuntutan terhadap distribusi ekonomi dibenturkan dengan isu kebangsaan, sila kelima diadu dengan sila ketiga. Perbedaan pendapat dikelola sebagai permusuhan, rakyat menjadi musuh negara.

Hal ini berimpit dengan era post truth, di mana argumen lebih penting daripada sentimen. Banjir informasi telah membuat individu kehilangan kuasa kendali terhadap informasi, karena itu sentimen menjadi solusi dalam perebutan narasi dan opini publik.

Situasi ini hanya melahirkan ekstremitas: para fundamentalis suporter. Suporter satu melawan suporter lainnya; adu keras suara, adu keras emosi, adu keras massa.

Pada sisi lain, suara alternatif tak muncul. Sibuk dengan rutinitas dan terkooptasi dalam jejaring oligarki. Karena itu, di lingkungan umat HRS seolah menjadi satu-satunya suara.

Hasil polling SMRC terbaru memperlihatkan itu: popularitas HRS mencapai 73 persen, dan kesukaannya mencapai 43 persen. Popularitasnya mengalahkan Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Khofifah Indar Parawansa, Agus Yudhoyono. HRS hanya kalah oleh Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.

Memang angka kesukaan terhadap HRS lebih kecil dari semua figur tersebut. Namun 43 persen bukan angka yang kecil, dan itu sudah jauh di atas masa-masa sebelumnya. Selain itu, HRS tak pernah membangun pencitraan. Ia fokus nahi munkar, fokus ‘perang’.

Selain itu, bandingan HRS adalah tokoh-tokoh politik yang memiliki dana besar dan jaringan kuat. HRS mengisi ruang kosong karena tiadanya suara alternatif terhadap kekuasaan dan terhadap kemapanan.

Tentu saja masih banyak suara kritis lain, tapi tak terkonsolidasi, termasuk dari lingkungan umat Islam yang tak menyukai HRS – secara ideologis maupun secara gaya personalitasnya.

Dicari Pemimpin Baru

Dalam setiap tantangan zaman, selalu dibutuhkan figur-figur cerdas dan visioner. Sukarno menyuarakan persatuan dalam perjuangan kebangsaan melawan kolonialisme. Fragmentasi politik ia satukan dengan temuan briliannya, Pancasila.

Sepanjang hidupnya Soekarno dedikasikan untuk memperjuangkan persatuan, termasuk upaya mustahilnya menyatukan komunisme ke dalam Pancasila.

Ada juga sosok KH Ahmad Dahlan membangun pendidikan dan kesehatan. Kini, di luar milik pemerintah, aset lembaga pendidikan dan fasilitas kesehatan Muhammadiyah adalah yang terbesar di Indonesia. Saat ini Muhammadiyah memiliki 164 perguruan tinggi, 22 ribu TK/PAUD/KB, 5.999 SD/MI/SMP/MTs/SMA/SMK, 583 RS/Klinik, 384 panti asuhan, dan 356 pesantren. Semuanya tersebar di seluruh Indonesia.

Begitu juga dengan KH Hasyim Asy’ari menjaga dan memajukan lembaga pesantren sebagai subkultur. Kini ada hampir 27 ribu pesantren di Indonesia. Cak Nur dan Gus Dur adalah tonggak penting dalam menghentikan mimpi membangun ideologi Islam dalam bernegara di Indonesia.

Segala mimpi itu masih dipelihara HRS melalui FPI, sebuah kelompok sangat kecil, namun kini mendapat momentum karena kekosongan kepemimpinan umat.

Sebetulnya ada sejumlah tokoh yang berpretensi menempati kedudukan yang ditinggalkan Cak Nur dan Gus Dur. Namun tak ada visi baru dan tak mampu menempatkan posisi secara tepat. Memang butuh kecerdasan dan keaslian gaya serta gagasan. Tak ada copy paste yang berhasil. Selain itu, tantangan dan situasinya yang berbeda.

Pertama, saat ini adalah era demokrasi. Kedua, kekuasaan ada di tangan oligarki. Ketiga, kemiskinan dan pragmatisme telah menjadi sepasang pengantin yang menentukan perilaku masyarakat.

Keempat, saat ini bukan sekadar era teknologi informasi tapi juga sudah bergerak ke arah artificial intelligent dan internet of things. Kelima, geopolitik internasional sudah berubah dari bipolar ke multipolar namun kelembagaan multilateral yang kian lemah.

Keenam, bangkitnya kembali gagasan eksklusivitas di satu sisi dan populisme di sisi yang lain. Ketujuh, tingkat pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.

Dengan semua tantangan itu, pemimpin baru tersebut harus bisa menjawab dua hal. Pertama, tuntutan keadilan ekonomi dan partisipasi umat. Perlu ada solusi permanen dalam menyelesaikan ketimpangan ekonomi dan agregasi politik ini. Kedua, terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa.

Untuk dua hal ini perlu konsensus nasional dari figur-figur tepercaya agar soal laten ini tak terus disimpan di bawah karpet seolah Indonesia baik-baik saja. Dua tujuan ini tak ada yang baru, namun tantangannya yang berbeda.

Karena itu, kembali ke sentilan JK, hal ini merupakan PR besar para pemimpin umat dan juga para pemimpin bangsa. Tanpa kesadaran bersama maka kemajuan Indonesia akan terus tertatih-tatih.

Semua ini adalah problem bersama sebagai bangsa Indonesia, yang sudah dirumuskan secara cerdas dan benar pada 1945. Negeri ini berkaki banyak, jika salah satu kaki tak bisa berfungsi optimal maka Indonesia tak bisa lari.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler