PBNU: Perlu Respons Luar Biasa Atasi Covid-19 di Pesantren
Upaya yang dilakukan pemerintah menangani Covid-19 di pesantren belum optimal.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan bahwa perlu respons yang luar biasa untuk menangani Covid-19 di pesantren. Untuk itu perlu kerjasama, komunikasi dan edukasi yang baik guna mencegah serta mengatasi Covid-19 di pesantren.
Ketua Satkor Covid-19 RMI PBNU, KH Ulun Nuha menyampaikan, pihaknya melihat upaya yang dilakukan pemerintah menangani Covid-19 di pesantren belum optimal, karena situasi di pesantren sangat luar biasa. Kalau situasinya biasa saja, mungkin upaya pemerintah cukup.
"Tapi karena kondisi di lapangan sudah luar biasa, saya kira perlu respon yang luar biasa, poinnya saya kira di situ," kata Kiai Ulun kepada Republika.co.id, Sabtu (12/12).
Ia mengatakan, memang Kemenag sudah punya Satgas Covid-19 dan program yang paling terasa adalah program bantuan operasional pesantren (BOP). Itu sangat bermanfaat karena sebagian dari BOP ini harus digunakan untuk program pencegahan klaster pesantren atau penyebaran Covid-19 di pesantren.
Namun karena keadaan di pesantren sangat luar biasa, maka membutuhkan respon yang luar biasa. Satkor Covid-19 RMI PBNU melihat masih ada banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk membantu pesantren di masa pandemi Covid-19.
"Lebih baik jika semua kementerian atau dinas terkait bisa melakukan pekerjaan bersama-sama dan lebih terkoordinasi, termasuk juga dengan elemen masyarakat yang lain seperti para ulama, tentu ulama yang otoritatif dan lembaga keagamaan, karena sering kali pendekatannya kurang optimal, karena pekerjaannya secara sektoral dan kurang terpadu," ujarnya.
Kiai Ulun mencontohkan kurang terpadunya penanganan yang dilakukan pemerintah. Ketika sedang ada program tes swab masal untuk pesantren, sebenarnya program ini bagus karena membantu mengidentifikasi Covid-19 di pesantren.
Tapi karena tidak dilakukan dengan terpadu dan tidak diawali dengan edukasi serta komunikasinya kurang optimal. Jadi di beberapa daerah banyak terjadi penolak program tes swab oleh pesantren.
"Ini terjadi karena tidak diawali dengan edukasi, apalagi situasinya di luar banyak hoaks terkait dengan Covid-19, ada yang mengatakan bahwa pesantren akan di-Covid-kan, beredar video yang mengatakan seperti zaman PKI dan lain sebagainya," jelasnya.
Kiai Ulun mengatakan, padahal simpel sekali kalau program tes swab ini dikomunikasikan dengan baik bersama ulama, lembaga keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah. Maka hasilnya akan sangat berbeda karena diawali dengan edukasi.
"Apalagi ulama yang berbicara, (pesantren) bukannya menolak (tes swab), pasti orang akan antre minta di swab (karena ulama yang berbicara)," ujarnya.
Satkor Covid-19 RMI PBNU juga menyayangkan komunikasi yang tidak berpihak ke pesantren. Ketika ada santri yang positif Covid-19, seorang kepala daerah dengan sangat aktif padahal tidak ada komunikasi terlebih dahulu dengan pesantrennya mengumumkan di media sosial.
Kepala daerah itu mengatakan ada klaster pesantren, bahkan ada yang berkomentar dengan nada miring bahwa pesantren ini sebagai sarang penyakit dan menyebarkan virus. "Ini kan akan menimbulkan stigma yang efeknya bisa jangka panjang ke pesantren dan sangat tidak menguntungkan," kata Kiai Ulun.
Ketua Satkor Covid-19 RMI PBNU mengatakan, pihaknya melihat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai leading sektor karena terkait dengan kesehatan. Maka Kemenkes bisa menggandeng Kemenag sebagai kementerian yang relevan dengan pesantren. Serta menggandeng organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah termasuk RMI PBNU, kalau bisa bekerja bersama-sama itu akan sangat optimal.
"Jadi gerakan penyelamatan pesantren dari pandemi Covid-19 ini harus diawali dari optimalisasi informasi, edukasi dan komunikasi, karena keterbatasan pengetahuan pesantren ditambah dengan hoaks yang beredar," ujarnya.
Satkor Covid-19 RMI PBNU mencatat sampai Selasa lalu ada 110 pesantren yang terpapar Covid-19. Tapi jumlah 110 pesantren itu dari awal masa pandemi Covid-19, jadi sebagian besar di antara mereka sudah berlalu.