Terima Mahar Politik Saat Pilkada, Halalkah?
Nabi SAW pun melarang kepada kita untuk meminta jabatan.
REPUBLIKA.CO.ID --- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 baru saja usai. Praktik mahar politik diduga masih menjadi fenomena yang terjadi pada pilkada saat masa pandemi tersebut. Sebelum berkontestasi untuk masuk bursa calon kepada daerah, mereka mencari rekomendasi partai politik dengan imbalan sejumlah mahar.
Ijtima Alim Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2018 pernah membahas fenomena ini. Para ulama fikih mencoba menjawab ketentuan hukum meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung sebagai kepala daerah, kepala pemerintahan, anggota legislatif, hingga jabatan publik lainnya. Ulama juga membahas hukum pemberian imbalan tersebut dan status hukum imbalan yang sudah diterima.
Para ulama berpandangan transaksi antara kontestan pemilu dengan partai politik sudah terlalu sering sehingga dianggap permisif. Hal tersebut dinilai sebagai bentuk kebiasaan dalam berpolitik.
Padahal, hukum positif yang termaktub dalam UU No 1/2015 mengatur bahwa, "Par tai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam ben tuk apa pun pada proses pen calonan gubernur, bupati, dan wali kota.
Demikian pula sebaliknya, "Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada partai politik atau gabungan par tai politik da lam bentuk apa pun dalam proses pencalonan gubernur, bupati, dan wali kota."
Untuk lebih menegaskan hukum terhadap mahar politik ter sebut, Ijtima Ulama pun menyu sun fatwa mengenai hukum pemberi dukungan yang menerima imbalan dari orang yang didukungnya.
Hukum dasar korupsi di da am Islam adalah haram. Alqur’an dengan tegas melarang kita untuk memakan harta dengan jalan yang batil. "Dan janganlah (sebagian) memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim. Supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa. Padahal kamu mengetahui."(QS al- Baqarah 188).
Allah SWT pun memberi penegasan terhadap larangan dalam korupsi. "… Barang siapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.. " (QS Ali Imran: 161).
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, korupsi atau suap sebagai risywah. Pemberian yang diberikan seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariah) atau membatilkan perbuatan yang hak. Pemberinya disebut rasyi, sedangkan penerimanya disebut murtasy.
Penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra'isy. MUI pun memberi fatwa bahwa hukum dasar korupsi adalah haram. Ulama mengqiyaskan dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari. Rasulullah SAW pernah mengangkat seorang petugas penarik zakat. Setelah menyelesaikan tugasnya, petugas itu melapor kepada Rasulullah SAW. Wahai Rasulullah ini buat baginda dan ini dihadiahkan untuk saya.
Lalu Rasul SAW berkata kepada nya: Tidakkah (sebaiknya) engkau duduk saja di rumah ayah ibumu lalu engkau tunggu apa kah engkau diberi hadiah atau tidak. Lalu Rasulullah menyampaikan khutbah malam hari setelah shalat.
Beliau mengucapkan syahadat, memuji Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya lalu beliau bersabda: "Bagaimana perilaku seorang karyawan yang kami angkat lalu dia datang padaku kemudian dia mengucapkan: 'Ini dari pekerjaanmu dan ini dihadiahkan buatku. Tidakkah dia duduk (saja) di rumah ayah ibunya lalu dia tunggu apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi jiwa Muhammad yang ada di dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang melakukan korupsi ke cuali pasti dia akan datang pada hari kiamat sambil mengalung kan barang yang ia korupsi di lehernya. Jika yang dikorupsi unta, ia akan membawa suara lenguhannya dan jika yang ia korupsi kambing pada hari kiamat ia akan membawa embikannya." (HR Ahmad).
Nabi SAW pun mengajarkan kepada kita untuk memilih pejabat yang cakap sesuai dengan ke ahliannya. Abi Dzar al Ghifari pernah bertanya kepada Rasu lullah SAW karena tidak ditunjuk sebagai pejabat. Nabi SAW berkata sambil memukul pinggul sahabat yang terkenal akan kesalehannya tersebut. "Wahai Abi Dzar, engkau orang yang lemah. Sesungguhnya (jabatan) itu adalah amanah dan ia di hari kiamat akan melahirkan kerugian dan penyesalan kecuali orang yang mengemban sesuai kompetensi nya dan menunaikan amanah ter sebut secara baik." (HR Muslim).
Dalam hadis lainnya, Nabi SAW pun melarang kepada kita untuk meminta jabatan. "Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan sebab apabila engkau diberi ja batan itu karena engkau memintanya maka jabatan tersebut sepenuhnya dibebankan kepa da mu. Namun, apabila jabatan ter sebut diberikan bukan karena permintaanmu, engkau akan di bantu dalam melaksanakannya" (HR Bukhori dan Muslim).
Atas dasar tersebut, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indone sia VI Tahun 2018 memutuskan ketentuan hukum masalah tersebut. Suatu permintaan dan atau pemberian imbalan dalam bentuk apa pun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik.
Padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenangannya, hukumnya haram karena termasuk kategori risywah (suap) atau pembuka jalan risywah.
Permintaan imbalan kepada seseorang yang akan diusung dan/atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, ke pala pemerintahan, kepala dae rah, dan jabatan publik lain. Pa da hal, diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawabnya maka dihukumi haram.
Pemberian imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepada daerah, dan jabatan publik lain, padahal diketahui memang tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya maka hukumnya haram.
Sementara, status imbalan yang sudah diberikan dalam proses pencalonan dan pemilihan jabatan tertentu itu dirampas dan digunakan untuk kepentingan umum.