5 Syarat Toleransi Menurut Pendapat Imam Shamsi Ali
Terdapat syarat bagi terwujudnya toleransi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Di musim-musim perayaan hari besar keagamaan, kata toleransi kerap digaungkan. Seolah toleransi hanya terkait dengan ungkapan “selamat” kepada pemeluk agama lain dalam menjalankan perayaan hari-hari besar agama mereka.
Presiden Nusantara Fondation, Shamsi Ali, menyebut dengan kata lain berdasarkan ilustrasi di atas, toleransi serasa komitmen musiman. Toleransi di musim Idul Fitri atau toleransi di musim natalan, dan demikian seterusnya.
"Dalam pandangan Islam, toleransi adalah bagian dari keyakinan. Toleransi bukan sekadar memberikan ruang kepada pemeluk agama lain untuk meyakini dan menjalankan keyakinan mereka, melainkan menerima (acceptance) eksistensi mereka sebagai bagian dari sunnatullah (keputusan Allah)," kata dia dalam keterangan yang diterima Republika.co.id, Ahad (27/12).
Dalam QS an-Nahl ayat 93, Allah SWT berfirman: وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً "Dan sekiranya Allah menghendaki maka Allah menjadikan kalian semuanya sebagai satu umat.”
Karenanya, menentang eksistensi agama lain atau keberadaan kelompok agama lain berarti penentangan kepada sunnatullah atau keputusan Allah tersebut. Hal ini sungguh sebuah sikap yang tegas dalam mengafirmasi eksistensi “keragaman” dalam ciptaan Allah itu.
Shamsi Ali selanjutnya menegaskan jika Islam memang agama dakwah. Dalam bahasa lain, Islam merupakan agama yang memiliki misi untuk disampaikan. Dan karenanya, menyampaikan Islam adalah kewajiban semua pemeluk agama ini.
"Hanya saja, jangan lagi kata “menyampaikan” ini diplintir dengan kata “memaksakan”. Karena kata pemaksaan selain memang tidak sejalan dengan arti “keyakinan”, yang harusnya merupakan kesadaran hati, juga karena pemaksaan dilarang keras oleh Islam itu sendiri," lanjutnya sembari mengutip QS Al-Baqarah ayat 256 berikut:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Allah SWT berfirman, "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui".
Berdasarkan hal-hal di atas, Alquran kemudian mengafirmasi keberadaan agama lain. Dalam surah Al-Kafiruun dituliskan, "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.
Dari semua ini, Shamsi Ali menyebut bisa disimpulkan jika toleransi adalah menerima (acceptance) akan eksistensi keyakinan lain di sekitar kita. Penerimaan ini berarti menerima “realita eksistensi” dan bukan menerima atau mengakui apalagi memeluk “kebenaran” dari keyakinan orang lain.
"Ada beberapa hal yang perlu disadari dalam proses membangun toleransi itu. Pertama, saling mengenal, belajar untuk mengenal siapa di sekitar kita dan apa serta bagaimana keyakinan mereka," kata dia.
Kedua, saling memahami. Dengan pengenalan tadi, akan terbangun saling memahami (mutual understanding) tentang satu sama lain. Walau berbeda, bahkan secara mendasar, tapi baiknya saling memahami dalam perbedaan itu.
Berikutnya yang ketiga, adalah saling menghormati. Dengan saling memahami akan keadaan masing-masing, bahkan dengan perbedaan yang mendasar sekalipun, akan tetap terbangun saling menghormati (mutual respect).
Keempat, menyambung kasih sayang, sebagaimana Islam sendiri adalah agama “kasih sayang” (rahmah) dan kasih sayang ini ditujukan untuk semua manusia (rahmatan lil-alamin). Toleransi itu terimplementasikan dalam bentuk menyambung kasih sayang. Perbedaan keyakinan bukan alasan untuk membenci dan bermusuhan. Terakhir atau kelima, membangun kerjasama dalam hal-hal yang disepakati.
Pada tataran ini, jelas bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan ubudiyah, semuanya merujuk kepada “lakum diinukum wa liya diin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). "Karenanya kesepakatan ada pada masalah-masalah muamalat kemanusiaan. Termasuk membangun kemakmuran dan keadilan bersama," kata dia.