Pakar: Pemerintah Harus Pulihkan Nama Baik Gus Dur
Pengaitan Gus Dur dalam Bulog Gate tak pernah terbukti hingga sekarang
REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Pemerintah sekarang harus memulihkan nama baik Presiden Abdurrahman Wachid (Gus Dur) dari persepsi publik yang menyatakan, Gus Dur turun dari kursi kepresidenan terbukti bersalah secara hukum.
Pernyataan tersebut disampaikan penulis buku Prof Aom Karomani, yang saat ini menjabat Rektor Universitas Lampung (Unila), dalam bedah bukunya berjudul "Gus Dur Jatuh dari Kursi Presiden dan Keberpihakan Media Massa" di Unila, Rabu (30/12).
Menurut Aom Karomani, Gus Dur tidak bersalah secara hukum, dan hanya kalah secara politik pada kekuasaanya 2001 lalu, tetapi legowo turun dari kursi kepresidenan, dan tidak menimbulkan konflik tumpah darah seperti di Timur Tengah. Hal ini penting untuk diwarisi kepada generasi selanjutnya atas kebijakan dan keputusannya.
"Sebaiknya pemerintah memulihkan nama baik Gus Dur, karena beliau dijatuhkan dari sisi hukum tidak terbukti dan tidak pernah ada kesalahan yang terjadi waktu itu, hanya kalah secara politik. Negara harus memulihkan nama baik beliau. Jangan sampai ada persepsi publik, bahwa Gus Dur turun itu karena terbukti bersalah secara hukum," kata dia.
Menurut dia, isu yang dihembuskan saat ia menjabat presiden seperti kasus Bulog Gate dan Brunai Gate, pada akhirnya tidak terbukti atau tidak ada putusan secara hukum. Selain itu, Gus Dur juga tidak menyalahi konstitusi yang menyebabkan seorang presiden harus turun dari kekuasaannya.
Bedah Buku Prof Aom Karomani ini menghadirkan narasumber Yenny Wahid (putri Gus Dur), Said Aqil Siroj (Ketua PBNU), Prof Dedi Mulyana (Guru Besar Fikom Unpad), Anif Punto Utomo (mantan Redaktur Senior Republika) dan Mohammad Bakir (Wapemred Kompas), Dahlan Iskan (Eks CEO Jawa Pos Grup), dan lainnya.
Menurut Yenny, berkuasanya Gus Dur dan pelengserannya dari kursi kepresidenan menjadi kebutuhan sejarah sekaligus beban dan luka sejarah masa kini. Buku Aom Karomani, ujar dia, merepresentasikan kegelisahan atas beban sejarah kebangsaa itu sekaligus mencoba mencari pemecahan akan persoalan secara akademis.
"Beban sejarah pelengseran Gus Dur bisa dilihat, pertama, pengabaian prinsip negara hukum, tuduhan terlibat Bulog Gate dan Brunei Gate tidak pernah dibuktikan secara hukum di pengadilan. Gus Dur jatuh karena peristiwa politik dan tidak memiliki dukungan cukup di parlemen," katanya secara virtual.
Kedua, dari sisi konsolidasi demokrasi pelengseran Gus Dur di tengah jalan melalui Sidang Istimewa (SI) 2001 menjadi penanda kegagalan konsolidasi politik di era reformasi.
Seharusnya diingat, kata Yenny, di maraknya gerakan mahasiswa melawan rezim orde baru, Gusdur menjadi tuan rumah dan menjadi penggagas Deklarasi Ciganjur pada November 1998 di samping Megawati, Amien Rais, dan Sri Sultan Hamengkubuwono.
Mengenai keberpihakan media pada pelengseran Gus Dur seperti ditulis dalam buku Aom Karomani terhadap dua media Republika dan Kompas, Mantan Redaktur Senior Republika Anif Punto Utomo mengatakan, kedua media (Republika dan Kompas) mendukung SI namun kadar pemberitaannya berbeda.
Mengenai kebijakan redaksi Republika, ujar dia, dari awal sikap Republika mendukung Gus Dur yang maju pada poros tengah. "Saya yang harusnya ditugasi di kantor, tapi saya izin ikut serta masuk dalam SI di DPR saat itu. Jadi, kondisi dan suasana politik saat itu, dapat ketahui di dalam gedung DPR," kata Anif, yang juga banyak menulis buku yang aktual.
Menurut dia, pelengseran Gus Dur menjadi sejarah berulang dari presiden sebelumnya seperti Presiden Sukarno, Soeharto, BJ Habibie, dan Gus Dur, yang tidak selesai hingga masa jabatannya.
Dia mengatakan, dalam perjalanan Gus Dur menjadi presiden banyak kebijakan dan keputusan Gus Dur yang mulai mengecewakan publik. Dan hal itu, lanjut dia, ditangkap semua parlemen kecuali PKB, sehingga muncullah wacana mengakomodasi SI dengan mencari alasan kasusnya, seperti Bulog Gate, Brunei Gate, penunjukkan Chairuddin sebagai kapolri, dan lainnya.
Padahal, Gus Dur banyak memberikan hal positif seperti TNI kembali ke barak, adanya toleransi antarumat beragama dan entitas masyarakat, masalah Papua, dan lainnya. "Untuk memperkuat sikap media (berpihak atau tidak), dilihat dari tajuk media di halaman opini. Ini masalah politik bukan masalah hukum," ujarnya.
Mohammad Bakir (Wapemred Kompas) menanggapi, untuk melihat koran atau media tidak hanya membidik satu screenshoot saja atas satu masalah.
Menurut dia, problem Gus Dur saat itu problem politik bukan problem hukum. Artinya, banyak hal perlu diekplorasi sehingga tidak hanya dilihat dari satu segmen saja, tapi banyak bertalian masalah politik.
"Setiap peristiwa dari berbagai sisi, lalu diambil angelnya, ini yang membedakan koran satu dengan koran lain. Wartawan mengetahui semuanya, tapi tidak semua dicurahkan, tetap mempertimbangkan stabilitas, keamana, dan lainnya yang lebih penting," ujarnya.
Mengenai framing, tentu tidak terlepas dari fakta yang ada. Dia mengilustrasikan sebuah botol minuman mineral, kalau dilihat dari plastik tentu sampahnya merusak lingkungan, tapi dilihat dari yang mengkonsumsi, justru hal tersebut menguntungkan. "Intinya, faktanya harus ada, frammingnya bisa dibuat," jelasnya.