Jadi Kontroversi di India, Apa Itu 'Love Jihad'?
Gagasan jihad cinta mengakibatkan ancaman dan tindak kekerasan terhadap Muslim India.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah negara bagian di India telah memberlakukan undang-undang yang melarang jihad cinta ('love jihad') karena dinilai membahayakan pasangan antaragama. Menurut teori konspirasi, jihad cinta berarti para pria Muslim bersepakat merayu atau bahkan menculik seorang wanita Hindu untuk kemudian dinikahi hingga masuk Islam dan memiliki keturunan seorang Muslim.
Apa sebenarnya jihad cinta? Profesor Ilmu politik Universitas Cincinnati yang juga penulis kebebasan beragama dan konversi massa di India, Laura Dudley memaparkan tentang jihad cinta dalam sebuah artikelnya seperti dikutip The Washington Post, Kamis (31/12).
Dudley menjelaskan dalam bukunya Religious Freedom and Mass Conversion in India, ia banyak mengeksplorasi tentang dimensi politik dari teori konspirasi 'love jihad'. Ia menjelaskan ungkapan 'love jihad' semakin menonjol dalam kasus Pengadilan Tinggi Kerala 2009 yang diprakarsai oleh orang tua Hindu setelah putri mereka kawin lari, meski akhirnya bercerai.
Istilah ini menyebar selama dekade berikutnya melalui pidato para politikus dan aktivis nasionalis Hindu, media sosial, dan Whatsapp. Dudley mengatakan berdasarkan penelusuran Google, untuk 'love jihad' melonjak selama pemilihan umum India.
Itu menunjukkan peningkatan keingintahuan dan arti penting politik. Politikus dan aktivis BJP Yogi Adityanath memperingatkan tentang hal itu untuk memotivasi pemilih Hindu yang menjadikan jihad cinta sebagai masalah kampanye, sekarang Adityanath menjadi menteri utama di negara bagian terpadat di India, Uttar Pradesh, yang menjadi tempat undang-undang baru pertama yang menargetkan jihad cinta telah disahkan.
"Gagasan jihad cinta telah mengakibatkan ancaman dan tindak kekerasan terhadap umat Islam dan pasangan beda agama. Salah satu video viral menampilkan pembunuhan mengerikan seorang pria Muslim dengan peringatan ini akan terjadi pada siapa pun yang terlibat dalam jihad cinta," ujarnya.
Dudley mengatakan selama dekade terakhir, gagasan jihad cinta terkadang memudar setelah dibantah oleh polisi atau penyelidikan hukum, hanya untuk muncul kembali di waktu, wilayah, atau komunitas yang berbeda. Bahkan telah menyebar ke diaspora India dan kelompok minoritas non-Muslim di India. Umat Kristen, Sikh, dan Budha juga mengeluhkan ancaman jihad cinta.
Menurut Dedley, kekuatan hoaks sebagai ancaman gender (ancaman yang mempermainkan stereotip gender seperti gagasan perempuan tidak berdaya dan membutuhkan perlindungan) dapat dilihat di bagian komentar menanggapi opini baru-baru ini dari kontributor Washington Post Rana Ayyub melawan penyebaran teori jihad cinta.
Seorang komentator kritis memperingatkan tentang pria Muslim di mana pun secara aktif mencari gadis muda non-Muslim yang mudah terpengaruh. Kekuatan ancaman demografis (ketakutan minoritas akan segera melebihi mayoritas) dapat dilihat di komentar lain yang membela gagasan cinta jihad dengan mengklaim ada formula romantis politik yang berpola jelas dan sinis oleh umat Islam untuk meningkatkan pijakan mereka.
Apakah teori konspirasi cinta jihad akan bertahan?
Menurut Dedley, menyelidiki untuk melihat apakah suatu pasangan sebenarnya berkumpul secara sukarela tetap penting, tetapi pemeriksaan fakta seperti itu mungkin tidak akan mengakhiri teori konspirasi ini. Semakin dibuat konspirasi, menurutnya, semakin memperkuat identitas politik seseorang untuk menyatakan dukungannya, mengurangi dampak bantahan faktual.
Ia mengatakan terkadang pemeriksaan fakta berhasil, terkadang tidak. Inilah yang membuat perbedaan.
"Lebih jauh lagi, undang-undang negara bagian baru yang diusulkan memberantasnya mungkin akan membantu menjaga agar fitnah cinta jihad tetap hidup, memberikannya gravitasi yang tidak diperoleh, katanya.
Dudley menambahkan, UU ini sebanding dengan pengesahan undang-undang anti-Syariah dari badan legislatif negara bagian AS yang konon mencegah Muslim memperkenalkan hukum Islam atau hukum asing di Amerika Serikat. Undang-undang ini juga menanggapi teori konspirasi lain yang telah dibantah bahwa syariah sedang merayap ke dalam sistem hukum AS, mengancam hak-hak orang Amerika.
Undang-undang palsu semacam itu merugikan Muslim dengan melegitimasi gagasan palsu tentang mereka. Bahwa mereka merayu dan mengubah perempuan yang mudah tertipu atau mendorong undang-undang fundamentalis yang mengancam Konstitusi AS.
Dedley mengatakan penelitian tentang penyebaran teori konspirasi seringkali berfokus pada jaringan media sosial pinggiran. Sedangkan fitnah tersebut tertanam dalam peraturan perundang-undangan formal.