Penjelasan Mengapa Ayat Alquran Multimakna

Ayat Alquran yang diturunkan Allah berkaitan dengan berbagai sebab.

pxhere
Penjelasan Mengapa Ayat Alquran Multimakna. Ilustrasi Alquran
Rep: Imas Damayanti Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ulama kerap menyebutkan Alquran datang dengan kalimat yang ringkas namun membawa unsur-unsur gaya (uslub) bahasa yang padat makna. Keragaman makna Alquran pun memunculkan pertanyaan, bagaimana bisa itu terjadi?

Baca Juga


Dalam buku Tema Kontroversial Ulumul Quran karya Nur Faizin dijelaskan, multimakna teks Alquran muncul dari berbagai latar belakang. Pertama, akibat tidak adanya nash (kepastian) atau ijma (konsesus) ulama yang dapat membatasi teks-teks yang memiliki potensi makna beragam.

Dalam hal ini Imam Izzuddin bin Abdissalam berkata: “Jika Allah SWT menghendaki satu makna saja yang dipakai, nisacaya Allah akan menerangkannya dengan suatu dalil yang membatasi makna tersebut,”.

Kedua, yakni adanya ayat-ayat Alquran yang diturunkan Allah berkaitan dengan berbagai sebab dan dalam konteks yang berbeda-beda. Ketiga, keterangan Rasulullah SAW atau penafisran beliau terhadap suatu ayat Alquran yang berbeda mengandung arti lebih dari satu.

Keempat, turunnya sebuah ayat lebih dari satu kali dikarenakan sebab-sebab yang berbeda. Sehingga hal itu mengundang penafsiran makna yang berbeda pula. Ini merupakan pendapat dari Imam As-Suyuthi dan Imam Ibnu Taimiyah.

Kelima, membuang sebagian makna atau mengabaikan sebuah kalimat yang terkandung dalam teks Alquran adalah tindakan yang tidak benar dalam menafsirkan Alquran. Sementara menggunakan kalimat tersebut dalam usaha memahami, maka sebuah teks Alquran adalah sikap yang lebih selamat.

Ketujuh, klaim sebuah hadis atau atsar yang menyatakan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui secara pasti bahwa suatu teks Alquran hanya terbatas pada satu makna tertentu. 

 

Kedelapan, takwilan para ulama yang berbeda dan kadang saling kontradiktif terhadap suatu redaksi yang beraneka ragam dan mempunyai makna berbeda-beda. Serta adanya kemungkinan untuk menggabungkan makna-makna tersebut atau kemungkinan untuk merajihkan salah satunya.

Dalam menyikapi teks-teks seperti ini, para ulama pun berbeda pandangan. Perbedaan ini disebabkan adanya takwil dan tarjih yang merupakan dua metode yang membuka adanya perbedaan tersebut.

Kesembilan, diperbolehkannya memakai makna-makna yang dicakup oleh sebuah kalimat teks. Akan tetapi harus sesuai dengan maksud mutakallim (pemilik teks atau autor) dan bukan hanya melihatnya dari segi bahasanya saja. Hal ini merupakan pendapat dari Imam Al-Ghazali dan Imam Hasan Al-Bashri.

Kesepuluh, munculnya makna kedua yang terlahir dari makna asli pertama sebuah lafadz. Hal ini karena adanya susunan kalimat (tarkib) yang tidak menunjukkan arti sebenarnya. Seperti bentuk ungkapan kinayah (menginginkan kelaziman maknanya) dan ta’rid (menginginkan sesuatu yang tidak diungkapkan).

Kesebelas, pengaruh dari susunan (tarkib). Kedudukan kalimat dalam sebuah ungkapan atau teks dan dilalah sebuah kalimat. Bagian ini meliputi kalimat-kalimat musytarak, majaz dan haqiqah, sharih dan kinayah, badi, washal, dan waqaf bacaan tidak bertentangan dengan susunan yang dimaksud.

Keduabelas, taklid kepada ulama yang memperbolehkan multimakna secara mutlak. Seperti Imam Syafii, Imam Sibawaih, dan juga mayoritas mu’tazilah. Ketigabelas, redaksi yang memiliki sifat-sifat umum.

 

Seperti dalam kalimat: “Wa man jaahada fa innama yujaahidu linafsihi,”. Yang artinya: “Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri,”. Ayat ini dapat diartikan sebagai orang yang teguh jiwanya dalam melaksanakan syariat Islam atau dapat ditafsirkan orang yang berperang di medang perang melawan kafir.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler