Jelang Buka Kedutaan, Israel Tunjuk Diplomat untuk UEA
Israel telah menunjuk Eitan Na'eh sebagai diplomat untuk Uni Emirat Arab
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV--Pemerintah Israel telah menunjuk Eitan Na'eh, mantan duta besarnya untuk Turki, sebagai diplomat untuk Uni Emirat Arab (UEA). Penunjukkan ini sebagai rangkaian persiapan pembukaan kedutaan Israel di negara kaya minyak tersebut.
Dilansir dari Middleeast Eye, Selasa (5/1), Kementerian luar negeri Israel mengumumkan bahwa Na'eh akan menjadi diplomat resmi pertama yang bertugas di UEA. Rencananya ia akan tiba di Abu Dhabi dalam beberapa hari mendatang.
Penempatan Na'eh diperkirakan hanya sementara sampai duta besar resmi ditunjuk oleh pemerintah, yang kemungkinan besar akan dilakukan setelah pemilihan umum pada Maret mendatang. Na'eh disebut akan bekerja sementara untuk Israel di UEA, sementara misi jangka panjang sedang dibentuk.
Seperti diketahui, UEA dan Israel menandatangani perjanjian yang ditengahi AS untuk menormalkan hubungan pada September lalu selama upacara di Gedung Putih di Washington DC.
Sementara UEA telah menyatakan bahwa kesepakatan itu didasarkan pada Israel yang akan menghentikan rencananya untuk mencaplok sebagian besar wilayah Tepi Barat yang diduduki. Meskipun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu secara terbuka mengatakan bahwa aneksasi masih didiskusikan.
Selama bertahun-tahun, Palestina telah mengatakan bahwa normalisasi dengan Israel akan melemahkan posisi negara-negara Arab yang telah lama ada. Palestina meyakini hanya penarikan Israel dari wilayah Palestina dan penerimaan kenegaraan Palestina yang dibutuhkan negaranya.
Mengikuti jejak UEA, Bahrain, Sudan dan Maroko juga setuju untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Sebagai bagian dari kesepakatan Rabat, AS setuju untuk mengakui kedaulatan Maroko atas keseluruhan Sahara Barat, wilayah sengketa yang dianeksasi pada tahun 1975 setelah berakhirnya kekuasaan kolonial Spanyol.
Klaim Maroko tidak diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang selama beberapa dekade menyerukan referendum yang memungkinkan masyarakat asli Sahrawi untuk memilih bagaimana mereka ingin diperintah.