PDI Perjuangan Belajarlah pada India, Korsel dan Yugoslavia?
Selamat ulang tahun PDI Perjuangan
REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Hari-hari ini partai terbesar di Indonesia, PDI Perjuangan berulang tahun. Tentu saja kita ulurkan ucapan selamat ulang tahun dengan sepenuh takzim.
Apalagi bagaimanapun partai yang dipimpin Ibu Megawati Soekarnoputri adalah penentu ‘merah dan putihnya’ Indonesia sebagai bangsa.
Jadi bagaimanapun peran partai berlambang kepala banteng ini sangat mutlak bagi eksistensi bangsa ini di tengah perubahan sosial-politik baik di dalam negeri, kawasan regional, bahkan internasional.
****
Beberapa hari lalu, seorang sahabat yang aktif dalam partai PDI Perjuangan meminta pandangan orang luar terkait soal partainya, terutama keinginan partai ini agar bisa membangkitkan budaya bangsa secara mandiri.
Mendengar permitaan dia, maka ingatan ini langsung tertuju pada peristiwa di mana pendiri partai ini, Bung Karno menjadi presiden di tahún 1960-an.
Saat itu sejarah mencatat betapa kerasnya Bung Karno menggebah anak-anak muda agar jangan terlanda arus budaya asing. Kata beliau yang terkenal dan amat sakti adalah seruan agar anak-anak remaja tidak terlelap pada euforia budaya barat yang dijuluki budaya 'ngak-ngik ngok'.
Bung Karno murka bukan kepalang ketika anak muda berjingrakan ala The Beatles dengan memakai rambut gondrong serta bercelana model tutup botol.
Dan tak tanggung-tanggung, Bung Karno pun mewujudkan sikapnya itu. Kala itu dia majukan musik khas Indonesia, yakni musik keroncong sebagai musik tandingan. Maka keroncong pun popular sekali dan menguasai peta musik Indonesia. Penyanyi yang dijuluki para ‘buaya keroncong’ menguasai jagad hiburan Indonesia. Berbagai jenis dalam musik ini menguasai pasaran.
Tapi putaran sejarah kemudian berkehendak lain. Kekuasaan Bung Karno takluk digantikan Orde Baru. Kini budaya asing (barat) betu-betul menguasai Indonesia. Musik keroncong secara perlahan surut. Bahkan mulai menghilang dan di masa kini seakan hanya menjadi semacam artefak belaka.
Pada saat yang sama, perlahan tapi pasti identitas sosok Indonesia menghilang. Jadilah bangsa ini seakan terombang-ambing tanpa kepribadian. Kata jati diri budaya seperti terbuang ke laut luas yang sunyi.
Kisah India, Korea Selatan hingga Yugoslavia
Lalu pada situasi mutakhir, pada hari-hari ini dunia terperangah pada sosok dua negara yang ternyata tetap bisa tampil dengan identitas budayanya sendiri. Kedua negara itu adalah India dan Korea Selatan.
Bahkan, untuk India ada pelajaran yang bisa dipetik. Betapa mereka bisa maju dengan cara mengayuh pada dua karang antara budaya kebesaran masa lalu dań kegemilangan masa kini. Budaya India, meski kadang dipandang sinis karena serba melankolis, ternyata bisa eksis serta memperbaharui diri secara terus menerus.
Bahkan, setidaknya tercermin dalam perubahan cara mengatur negara. Perubahan politik dahysat di India sana telah terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Tak ada lagi dominasi keluarga dalam politik India. Ini dicerminkan dalam hadirnya kekuatan politik baru di luar klan Jawaharlal Nehru. India kini lebih dinamis, meski harus diakui di sana-sini masih terjadi banyak letupan.
Namun, di sisi lain, kualitas penguasaan teknologi, pendidikan, hingga industri India, bahkan sampai ekpresi keseniannya, terbukti solid dan tetap berpengaruh pada budaya kawasan Asia Selatan hingga Asia Tenggara. Bahkan saking ‘pede’-nya misalnya ada guraun dari sang mega bintang India, Sah Rukh Khan, mengatakan India tak butuh Hollywood atau Disney ketika harus membuat film, musik, dan media budaya dan kesenian lain.
Bila berkunjung ke India, suasana kecintaan rakyatnya terhadap budaya sendiri sangat luar biasa. Dengan penduduknya yang besar mereka bisa menghidupi budaya sendiri. Bahkan di era digital, India kini jadi penguasa para kaum kreatif yang mencari uang melalui media sosial. Ini misalnya mereka menguasai konten yang ada di Youtube. Segala ekspresi kegemilangan India tampak jelas di sana.
Bercermin pada Korea Selatan
Kalaulah Bung Karno masih hidup sampai sekarang, beliau pasti terkejut bila Korea Selatan bisa melompat menjadi negara maju. Bukan hanya dałam bidang teknologi, mereka juga menjadi panglima dunia dalam penciptaan budaya dunia. Wajah Korea Selatan yang serba miskin dan ketinggalan zaman di tahun 1970-an kini tak berbekas. Kota-kota di Korea yang dahulu kumun kini menghilang penuh bermandi cahaya.
Mengapa ini bisa dilakukan? Jawabnya, karena ada pengorbanan sangat besar pada rezim atau pemerintahannya terdahulu. Pemimpin Korea yang dahulu otoriter dan militerlistik, mulai pertengahan tahun 1980-an merubah gayanya. Jejak ini sangat terlihat dalam penampilan media film yang menjadi alat paling 'genuine' untuk melihat perubahan budaya yang terjedi. Korea Selatan kala itu mendandani diri, tak sekedar hanya polesan ‘gincu budaya’ luarnya, tapi menjadi lebih menujukkan keasliannya.
Sikap anti korupsi dicontohkan sangat tegas oleh pemimpinnya. Bahkan, seorang pemimpinnya berani menyatakan mundur dan hidup menjadi biarawan ketika merasa tak becus mengurus negara karena terlibat berbagai skandal suap dan korupsi.
Di pusat industri Korea misalnya, dalam papan pengumuman mereka secara jelas berani mengakui bahwa Korea Selatan adalah negara yang miskin sumber daya alam. Mereka mengatakan bahwa hanya dengan kerja keraslah semua ketertinggalan itu bisa diatasi.
Contoh yang paling beradab dari budaya Korea Selatan terakhir adalah mereka dengan percaya diri —melalui sebuah putusan pengadilan — meminta Jepang membayar ganti rugi atas penderitaan perempuan Korea Selatan yang menjadi Jugun Ianfu kala Jepang mengorbarkan perang Asia Timur Raya. Korea Selatan mengancam kalau tidak dibayar, maka aset perusahaan Jepang yang ada di Korea Selatan akan disita sebagai jaminan. Korea Selatan di sini menunjukan diri punya kepribadian.
Bercermin dari itu semua, maka jelaslah bahwa perubahan budaya satu bangsa yang paling cepat terjadi bila dilakukan oleh sebuah kelompok politik yang berkuasa. Semua tahu, selama Indonesia Merdeka hingga sekarang, segala soal ini terlihat masih serba samar jejaknya. Celakanya, bangsa yang tercinta ini sekarang malah dilanda perpecahan yang akut dan tampaknya hanya tinggal tunggu waktu untuk terjadi ledakan besar kalau tidak segera di atasi. Dan kini tugas mengatasi itu semua berada di pundak PDI Perjuangan. Kalau gagal, taruhannya sangat besar.
Belajar dari kepahitan Yugoslavia
Pada soal pertaruhan tersebut, seorang sahabat dari Serbia pada suatu perbincangan sempat kami tanya mengenai penyebab Yugoslavia dahulu pecah jadi banyak negara? Bukankah Yugoslavia sebuah bangsa yang besar yang berani melawan fasisme Hitler Jerman? Mengapa bisa menjadi berantakan?
Jawab sang teman itu mengejutkan. Yugoslavia yang dahulu menjadi sekutu Bung Karno dalam membangun gerakan Non Blok terpecah bukan karena kejatuhan atau krisis ekonomi semata. Tapi ada satu hal yang sangat fundamental, yakni perasaan persatuan bangsa yang tercabik. Kala itu kelompok politik mayoritas menguasai hingga soal remeh-temeh seperti penunjukan anggota tim sepakbola atau pun hingga penunjukan delegasi pemusik yang akan pergi ke luar negeri. Katanya, Serbia yang menjadi kekuatan mayoritas Yugoslavia ingin menguasai segalanya. Mereka tak mau berbagai.
Maka orang-orang di luar etnis Serbia yang jumahnya minoritas jadi enggan bersatu. Maka mereka kemudian seiring terjadinya krisis ekonomi mereka memutuskan melepaskan diri, walau harus dibayar dengan perang saudara sekalipun!
Konsep Berkepribadian Soekarno di Era Masa Kini
Pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla hari ini telah jelas menggaungkan kembali konsep Tri Sakti Bung Karno. Konsep ini ingin Indonesia menjadi sebuah bangsa merdeka dan berdaulat. Yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan.
Dan untuk mewujudkan konsep ini Bung Karno jelas mensyaratkkan penguasaan ilmu pengetahuan modern dan mengerti sejarah kebudayaan Indonesia.
Namun, segala konsep yang bagus itu belum kunjung terwujud sampai sekarang. Bahkan terasa menjauh. Penguasaan teknologi belum tampak. Bahkan anak-anak Indonesia yang pintar lebih memilih bekerja di luar negeri.
Berbagai proyek penguasaan teknologi dari pembuatan pesawat terbang mandeg. Bahkan kemampuan membuat vaksin di masa kolonial yang sempat menghasilkan Hadiah Nobel terkait soal penyakit biri-biri kini tak jelas. Anak bangsa kini tak kunjung bisa membuat vaksin. Teknologi dan industri kesehatan ini tetap dikuasai bangsa asing.
Dalam bidang kebudayaan, kesenian generasi Indonesia masa kini dikuasai drama dan musik Korea. Penetrasi sudah sampai ke kamar pribadi rakyat di rumah melalui televisi. Atau juga melalui jaringan internet yang bisa dikonsumsi dalam genggaman tangan melalui 'hand phone'.
Memang ada budaya baru pada bidang kesenian Indonesia masa kini. Misalnya dahulu ada musik yang khas Indonesia merdeka yakni dangdut, sekarang hadir bentuk baru musik campur sari. Tapi sayang syair lagunya cenderung memakai bahasa Jawa sebagai bahasa suku mayoritas Indonesia.
Akibatnya, ide Sumpah Pemuda 1928 yakni menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia seolah terlupakan. Padahal kecenderungan ini terlihat hanya sekedar ekpresi kaum kapitalis yang menguasai industri hiburan dan televisi dengan melihat besarnya potensi ekonomi dari rakyat yang sebagian besar berpenutur bahasa Jawa. Demografi ini makin jelas karena 60 persen penduduk luar Jawa Indonesia masa kini adalah beretnis Jawa.
Begitu juga dalam kemandirian soal pangan. Hampir semuanya kini kebutuhan bangsa dicukupi dengan impor. Produksi beras yang bisa swasembada di tahun 1980-an, kini harus dicuku[i dengan mendatangkannya dari luar negeri. Celakanya lahan sawah subur di Jawa yang sudah eksis sejak zaman Majapahit, perlahan tapi pasti terus menyusut. Sementara percetakan sawah baru masih jauh dari maksimal.
Begitu juga dengan komoditi garam dan ikan asin. Bahkan yang terakhir kedelai yang bikin heboh, juga merupakan komoditi impor. Beban rakyat jelas yang keseharian mengkonsumsi tempe dan tahu makin terhimpit, apalagi kini datang badai krisis kesehatan dan krisis ekonomi sekaligus. Rakyat hidup semakin ketakutan.
Memang seperti dikatakan Bung Karno untuk mengatasi itu semua itu tak gampang. Dahulu dikatakan penyebabnya akibat akibat kerusakan moral yang panjang dari penjajahan. Tapi apakah itu masih bisa dijadikan alasan bagi bangsa ini?
Bukankah India dan Korea Selatan meski juga hidup dalam masa kolonial yang panjang bisa memperbaiki keadaan. Terlebih dengan Korea Selatan negara ini bia memperbaiki diri secara dahsyat hanya selang sekitar dua dasa warsa setelah perang. Hanya Yugoslavia yang berakhir tragis dan menghilang dari peta sejarah serta terpuruk sebagai negara yang berstatus paling paria di kawasan Eropa.
Maka memang jalan keluarnya seperti dinyatakan Bung Karno lagi adalah dengan 'Revolusi'. Seperti pernyataan gagahnya dahulu:” Revolusi adalah suatu hal yang harus dijalankan dengan aksimu dan idemu sendiri. Perjalanan rakyat yang berjuang tidak pernah berhenti!"
Keadaan itulah yang juga terjadi di Indonesia masa kini. Dan PDI Perjuangan selaku partai yang berkuasa mempunyai tugas yang amat berat, sekaligus mulia. Konflik peradaban dan apa yang disebut Bung Karno sebagai kolonialisme baru sudah terjadi dan ada di depan mata.
Bila dahulu kekuatan dunia berebut minyak bumi dengan perang di Timur Tengah, kini mereka mulai berebut 'energi masa' depan yang bernama Nikel yang akan mereka pakai untuk membuat baterei. Dan komoditi itu tempatnya ada di sini, di negeri kita tercinta..!
Selamat ulang tahun PDI Perjuangan. Merdeka!