Pemerintah Diminta Perbaiki Komunikasi Soal Vaksin Covid-19

Informasi yang sampai ke masyarakat sangat terbatas, tidak tuntas, dan tak sistematis

ANTARA/Muhammad Adimaja
Petugas kesehatan memberikan contoh cara memvaksin seorang pasien saat simulasi pemberian vaksin Covid-19 Sinovac di Puskesmas Kelurahan Cilincing I, Jakarta, Selasa (12/1/2021). Simulasi tersebut digelar sebagai persiapan penyuntikan vaksinasi COVID-19 yang rencananya akan dilakukan oleh pemerintah pada 13 Januari 2021.
Rep: Fauziah Mursid Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Sitorus meminta, pemerintah memperbaiki cara mengomunikasikan vaksin Covid-19 kepada publik. Dia menilai, pemerintah dalam hal ini Satgas Covid-19 dan Kementerian Kesehatan masih lemah dalam melakukan manajemen komunikasi publik soal vaksin dan vaksinasi.


Dia pun menyoroti informasi yang sampai kepada masyarakat sangat terbatas, tidak tuntas, dan tidak sistematis. “Saya meminta kepada Kementerian dan Satgas Covid-19 serta lembaga terkait lainnya untuk tidak menganggap remeh kebutuhan masyarakat akan informasi yang akurat, tuntas dan berkelanjutan,” ujar Deddy Deddy dalam keterangannya, Selasa (12/1). 

Deddy mengatakan, komunikasi semacam itu justru membuat masyarakat bingung dan ragu, sehingga mencari sumber informasi lain. Dia khawatir, hal itu justru menambah kebingungan serta memunculkan polemik penentangan terhadap proses vaksinasi di masa akan datang.

 

 

Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan itu meminta, agar pemerintah mampu menjelaskan secara rinci ke masyarakat tentang sumber, alasan, jumlah, dan kelebihan masing-masing vaksin yang akan digunakan Pemerintah. Sebab, menurutnya, masyarakat, bahkan anggota DPR sekalipun saat ini belum mendapat penjelasan detil soal manfaat vaksin Sinovac yang sudah mendapat izin BPOM, sasaran vaksinasi, kerangka waktu, lokasi vaksinasi, serta metode vaksinasi massal dan jadwal di daerah masing-masing.

Begitu juga berapa jenis vaksin yang akan didatangkan berikutnya, apakah Pfizer, AstraZeneca, Pfizer, Moderna, Sputnic Sinopharm. Deddy mengingatkan, bahwa prakondisi, sosialisasi, dan simulasi harus dilakukan secara sistematis dan konsisten agar masyarakat dapat siap ketika proses vaksinasi massal dilakukan pada saatnya nanti. 

“Informasi terkait harus terus menerus disampaikan secara terpadu dan berjenjang agar tidak terjadi bias informasi ketika sampai ke masyarakat bawah,” kata Deddy.

Dia menilai, tidak ada salahnya jika pemerintah merangkul organisasi-organisasi masyakarat baik di bidang keagamaan, sosial, profesi hingga perguruan tinggi untuk melakukan sosialisasi secara intens.

Untuk itu, Deddy mengusulkan, agar pemerintah segera mengumpulkan dan duduk bersama dengan para Kepala Daerah untuk melakukan briefing, sharing informasi dan identifikasi masalah agar proses vaksinasi massal terlaksana dengan baik.

Sebab, dia meyakini, proses vaksinasi massal tidak akan berhenti dengan menjadikan Presiden sebagai orang yang pertama divaksin. Polemik akan tetap terjadi dan komunikasi, sosialisasi dan edukasi serta simulasi skenario vaksinasi per daerah harus dilakukan dengan maksimal.

“Jangankan vaksinasi Covid-19 yang terhitung baru dan menimbulkan silang pendapat, vaksin yang sudah lama seperti meningitis dan yang lainnya pun masih ada penolakan hingga hari ini,” kata anggota DPR dari Dapil Kalimantan Utara ini.

 

“Pemerintah harus memperhatikan soal ini sehingga dapat dilakukan langkah mitigasi yang tepat,” katanya lagi. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler