Seberapa Efektif Terapi Plasma Konvalesen?
Terapi plasma konvalesen menjadi terapi tambahan Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil atau bukti keamanan dan efektivitas terapi plasma konvalesen di Indonesia belum terungkap. Dokter spesialis pulmonologi dan respirasi paru RS Cipto Mangunkusumo, dr Nastiti Kaswandani SpP, mengatakan, saat ini penelitian terapi tambahan Covid-19 dengan plasma konvalesen masih terus berjalan.
"Penelitian di Indonesia masih berjalan, terapi plasma konvalesen bisa diberikan jika indikasi terpenuhi sesuai yang ada dalam buku standar pengobatan Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi," ujarnya saat dikonfirmasi, Selasa (19/1).
Namun, Nastiti menyatakan tidak bisa menjelaskan mengenai penelitian terapi plasma konvalesen yang masih berjalan tersebut, termasuk jumlah pasien maupun kategorinya. Uji klinis Plasma Konvalesen sebagai terapi tambahan Covid-19 dilakukan pada orang dewasa di sejumlah rumah sakit di bawah koordinasi Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan sejak September 2020 dan ditarget selesai dalam tiga bulan.
Terapi plasma konvalesen adalah salah satu jenis pengobatan yang digunakan di banyak negara untuk menangani pasien Covid-19. Caranya ialah dengan memanfaatkan plasma darah dari pasien Covid-19 yang telah sembuh, karena dianggap memiliki antibodi terhadap virus.
Palang Merah Indonesia (PMI) bahkan menyiapkan unit donor darah (UDD) untuk menampung plasma darah dari penyintas Covid-19. PMI juga mengajak penyintas Covid-19 mendonorkan plasma darahnya untuk mengurangi angka kematian akibat virus corona.
Sementara itu, menurut dokter Adam Prabata, plasma darah tidak menurunkan angka kematian dan tidak menunjukkan perbaikan kondisi klinis pada penerimanya. Dokter umum dan juga kandidat PhD di bidang Medical Science Kobe University, Jepang merujuk pada beberapa hasil penelitian di luar negeri yang telah dipublikasikan di jurnal medis.
"Diduga karena kerusakan paru yang sudah terlalu parah pada pasien Covid-19 berat sehingga plasma konvalesen tidak memberikan efek," ujarnya melalui unggahan foto di akun Instagram-nya @adamprabata.
Hal yang sama juga berlaku bagi pasien Covid-19 bergejala sedang yang dirawat inap. Plasma konvalesen tidak mencegah perburukan kondiri pasien. Bahkan, di Inggris, menurut Adam, metode terapi plasma konvalesen dihentikan.
"Penelitian plasma konvalesen skala besar (melibatkan lebih dari 10 ribu pasien) di Inggris dihentikan, karena tidak terbukti menurunkan angka kematian," kata dia.
Plasma darah, menurut Adam, tidak bisa menggantikan vaksin. Plasma darah diberikan kepada orang yang sudah terinfeksi, sedangkan vaksin ditujukan untuk orang yang sehat demi mencegah infeksi.
Meski demikian, Adam menyebut, hasil penelitian Infectious Diseases Society of America (IDSA) dan National Institutes of Health pada 2021 mengungkap bahwa plasma darah dengan titer antibodi yang tinggi akan bermanfaat bila diberikan pada fase awal penyakit. Terapi plasma konvalesen terbukti bermanfaat untuk mencegah munculnya Covid-19 berat bila diberikan kepada pasien usia tua dan sakit ringan.
"Pemberiannya kurang dari 72 jam setelah gejala muncul," jelasnya.
Karena itu, menurut Adam, sudah saatnya Indonesia mengevaluasi kebijakan terhadap pemberian plasma konvalesen untuk pasien Covid-19 berat dan kritis.
Pada Agustus 2020, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mengumumkan Otorisasi Penggunaan Darurat (EUA) untuk plasma pemulihan pada pasien Covid-19. Berikutnya, pada 23 September 2020, FDA mengeluarkan pembaruan tentang terapi plasma konvalesen untuk Covid-19.
Pembaruan termasuk analisis yang mendukung konsep efek respons dosis antibodi. FDA menyimpulkan, plasma penyembuhan "mungkin efektif". Sementara itu, pedoman Infectious Diseases Society of America (IDSA) merekomendasikan untuk membatasi penggunaan plasma untuk pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit dalam konteks uji klinis.
Menurut publikasi laman sehatnegeriku.kemkes.go.id pada 8 September 2020, terapi plasma konvalesen pada Covid-19 hingga kini hanya boleh digunakan untuk kodisi kedaruratan dan dalam penelitian. Manfaat terapi ini masih kontroversial karena masih belum cukup bukti yang menunjukkan efektifitasnya.
Dikutip dari laman yang sama, peneliti senior Lembaga Biologi Molekuler Eijkman David H Muldjono menuturkan, pemberian plasma konvalesen sebagai terapi tambahan Covid-19 hanya diberikan untuk pasien derajat sedang yang mengarah kegawatan (pneumonia dengan hipoksia) di samping pasien derajat berat. Terapi ini juga bukan bagian dari pencegahan, melainkan pengobatan pasien.
“Kita tidak memberikan ini untuk pencegahan, karena ini adalah terapi dan belum diuji coba di seluruh dunia dan belum ada protokolnya, sehingga kami tidak memberikan dalam konteks pencegahan,” kata David.