Seperempat Spesies Lebah Menghilang 20 Tahun, Ada Apa?

Aneka lebah sedang berjuang untuk mengatasi kombinasi ancaman lingkungan.

ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Lebah madu kerdil (Apis florea) berada di dalam kotak di Oxbow Bojongsoang, Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Rabu (21/10). Kegiatan budi daya lebah madu kerdil di kawasan tersebut bertujuan untuk memberikan edukasi serta sarana percontohan bagi masyarakat sekitar yang ingin memulai bisnis budi daya guna menambah penghasilan di tengah pandemi Covid-19. Foto: Abdan Syakura/Republika
Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut sebuat survei baru  yang diterbitkan Jumat (22/1) di Jurnal One Earth, sekitar seperempat spesies lebah yang diketahui belum muncul dalam catatan publik selama lebih dari 20 tahun. Hilangnya catatan ilmiah bukalah bukti kepunahan.

“Dengan citizen scientist dan kemampuan untuk berbagi data, catatan meningkat secara eksponensial, tetapi jumlah spesies yang dilaporkan dalam catatan ini menurun,” kata penulis pertama, ahli biologi di Pollination Ecology Group dari Institute for Research on Biodiversity and Environment, Eduardo Zattara dalam rilis berita, seperti yang dilansir dari UPI, Ahad (24/1).

Baca Juga


Ada kalanya, spesies yang hilang akan ditemukan kembali 30,40, 50 tahun kemudian. Namun, temuan terbaru menunjukkan sebagian besar keanekaragaman lebah sedang berjuang untuk mengatasi kombinasi ancaman lingkungan, termasuk hilangnya habitat, polusi, parasit dan perubahan iklim.

“Ini belum menjadi bencana lebah, tapi apa yang bisa kami katakan adalah lebah liar tidak benar-benar berkembang,” ujar Zattara.

Diketahui, selama ini sebagian besar penelitian berfokus pada spesies atau habitat lebih tertentu. Survei terbaru mengambil pendekatan yang lebih makro. Survei menggabungkan dan menganalisis data base tentang melimpahnya dan keanekaragaman lebah untuk mengidentifikasi tren global.

“Mencari tahu spesies mana yang hidup di mana dan bagaimana keadaan masing-masing populasi menggunakan kumpulan data yang kompleks bisa sangat berantakan. Kami ingin mengajukan pertanyaan yang lebih sederhana : spesies apa yang telah tercatat, di mana pun di dunia, dalam periode tertentu?” katanya.

Untuk studi mereka, Zattara dan rekan-rekananya sangat mengandalkan Global Biodiversity Information Facility, sebuah jaringan kumpulan data internasional yang menampilkan lebih dari 300 tahun museum dan catatan akademis. Mereka juga menganalisa data yang dikumpulkan oleh citizen scientists. Basis daya berisi catatan lebih dari 20.000 spesies lebah yang diketahui dari seluruh dunia.

Ketika para ilmuwan menganalisis kumpulan data untuk tren global dalam pengamatan keanekaragaman dan sangat besar, mereka menemukan kelompok lebah tertentu mengalami penurunan yang nyata.



Data menunjukkan catatan lebah halictid, keluarga lebah terbanyak kedua, telah menurun 17 persen sejak 1990-an. Keluarga Melittidae yang lebih sulit ditangkap telah menurun 41 persen.

“Penting untuk diingat bahwa lebah tidak berarti hanya lebah madu, meskipun lebah madu adalah spesies yang paling banyak dibudidayakan. Jejak masyarakat kita juga berdampak pada lebah liar, yang menyediakan layanan ekosistem tempat kita bergantung,” ujar Zattara.

Menurut penulis studi tersebut, pekerjaan mereka tidak dimaksudkan untuk menunjukkan dengan tepat hilangnya spesies tertentu. Mereka ingin mengkonfirmasi apa yang diamati oleh para ilmuwan secara lokal tampaknya sesuai dengan apa yang terjadi secara global.

“Sesuatu sedang terjadi pada lebah, dan sesuatu perlu dilakukan. Kita tidak bisa menunggu sampai kita memiliki kepastian yang mutlak karena kita jarang sampai di sana dalam ilmu pengetahuan alam. Langkah selanjutnya adalah mendorong pembuat kebijakan untuk bertindak sementara kita masih punya waktu. (Masalah) lebah tidak bisa menunggu,” katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler