Jejak Peyoratif Kolonial Terhadap Islam dalam Kata Lanun
Jejak peyoratif kolonial terhadap Islam.
REPUBLIKA.CO.ID -- Dalam bahasa Indonesia banyak sekali bertebaran kosakata berbahasa Arab. Nuansa tersebut jelas sekali karena asal-usul bahasa ini berasal dari etnis Melayu yang sangat terpengaruh dengan ajaran Islam.
Tak hanya itu, kosakata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab setidaknya mencapai 40 persen. Bahkan, ada satu kata yang tidak ada dalam bahasa di etnis lain di Nusantara yang lestari sampai sekarang. Ini misalnya terlihat jelas pada jejak kata adil, adab, rakyat, hikmah, musyawarah, dan wakil yang ada dalam Pancasila. Kata yang lain, misalnya, masa, kursi, saat, walau, miskin, juga fakir.
Namun, ada jejak Islam dan Arab dalam bahasa Indonesia masa kini yang mengalami peyorasi atau berubah dari pengertian positif menjadi negatif. Salah satunya bisa dilihat pada kata 'lanun'. Kata tersebut kini diartikan sebagai perompak laut (bajak laut). Padahal, 'lanun' memiliki arti seorang pahlawan perempuan atau mujahidah.
Nasib kata ini persis dengan nasib Kapten Borbosa dalam film Hollywood Pirates and Caribean yang dibintangi Johnny Deep. Kapten Borbosa yang sebenarnya adalah seorang pelaut Muslim yang ulung karena selalu berhasil melumpuhkan armada laut Eropa. Namun, hal itu diubah dari seorang pahlawan menjadi penjahat.
Kasus sama juga terjadi pada sosok drakula yang di Eropa disebut sebagai hantu haus darah dan hanya bisa mati bila terkena sinar matahari serta dibunuh menggunakan pedang bertanda salib. Padahal, 'Drakula' aslinya adalah seorang pahlawan dan panglima tempur bala tentara Ottoman kala menaklukkan Eropa.
Pada masa kolonial juga kita memberikan sebutan buruk, seperti teroris, ekstremis, dan kaum radikal untuk para pejuang dan pahlawan kemerdekaan. Pangeran Diponegoro pada 1825-1830 dan para ulama di Banten pada 1888 yang mengobarkan perlawanan kepada kolonial, misalnya, disebut seperti itu.
Nah, kini, budayawan Melayu Riau, UU Hamidy, membahas soal perubahan kata 'lanun' yang bermakna buruk (peyorasi). Begini tulisannya:
Mujahidin Iranun Sabah; Pembela Martabat Riau, Dicap Penjahat
Mungkin, banyak orang tak menyangka bahwa kata lanun yang diartikan perompak atau bajak laut itu rupanya berasal dari nama suku Iranun atau Ilanun. Di negeri asalnya yang dulu pernah menjadi kerajaan bernama Tempasuk (Tempasok), puak ini disebut Iranun. Sedangkan, di Riau disebut Ilanun.
Namun, kata paling populer ialah lanun yang kemudian disematkan sebagai penjahat. Ini terjadi karena Belanda (dan juga penjajah Barat lainnya) tidak berdaya melumpuhkan serangan mereka di lautan. Karena itu, dicaplah sebagai perompak dengan maksud agar pejuang Islam ini dipandang jahat (dalam buku soal pelaut Indonesia, mereka juga menyebut pelaut Bugis dan Makasar sebagai perompak, red).
Kata lanun yang dicap sebagai penjahat dengan mudah dapat dibandingkan dengan kata teroris yang dicapkan kepada kaum Muslimin yang ingin menegakkan syariat Islam dewasa ini. Kaum Muslimin yang sejati takkan pernah surut semangatnya untuk menegakkan syariat Islam. Sebab, ini adalah pokok ajaran Islam yang mulia.
Orang yang memburukkan syariat Islam hanyalah alat tipu daya setan. Dan Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya. Tatanan dunia dewasa ini benar-benar sudah babak belur oleh ulah demokrasi sekuler dengan tingkah laku kapitalis yang serakah. Tak ada pilihan lain lagi untuk menyelamatkan umat manusia selain surut kepada aturan yang telah diberikan oleh Maha Pencipta itu.
Keterangan foto: Sultan Riau tahun 1911 (foto:Gahtena.nl)
Pembela Martabat Riau
Keperkasaan mujahidin Iranun membela Riau dalam rangka jihad fi sabilillah dapat disingkapkan oleh kitab Tuhfat al-Nafis karangan Raja Ali Haji yang ditulis tahun 1865 dan dilengkapi oleh karya Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX, tahun 1989.
Setelah Belanda menguasai Batavia, kemudian menduduki Melaka, ketegangan antara Riau dengan Belanda tak terhindarkan lagi. Mula-mula, bagaikan api dalam sekam. Kemudian, menjadi perang terbuka, adu kekuatan dan martabat. Riau telah mempertahankan martabatnya paling kurang dengan tiga babak peperangan melawan Belanda.
Keterangan foto: Raja Ali Haji.
Pada tahun 1778 Raja Haji menjadi Yang Dipertuan Muda Riau IV berkedudukan di Kota Piring, Pulau Biram Dewa, dekat Pulau Bintan sekarang ini. Masa itu, perdagangan Riau amat maju sehingga di pusat pemerintahan itu tercatat penduduk 90 ribu jiwa. Suatu jumlah yang luar biasa masa itu.
Pada 18 Juni 1783 kapal Belanda dibawah pimpinan Togar Abo memasuki perairan Riau diiringi dengan pernyataan perang. Pada 21 Juni Raja Haji menjawab pernyataan perang itu. Pada 23 Juni laskar Riau dengan Panglima Raja Haji memulai perang dengan menyerang 15 kapal Belanda dengan 1.500 personel. Pada 17 Januari 1784 perang babak pertama di perairan Riau berakhir.
Pada 13 Februari 1784 perang babak kedua dimulai dengan mendaratnya pasukan Riau di Teluk Ketapang Melaka. Riau dapat dukungan dari orang Selangor dan Rembau. Secara beruntun, kubu Belanda di Semabuk, Bunga Raya, Bandar Hilir, dan Bukit Cina dikuasai oleh laskar Riau.
Pada 4 Maret 1784 Jacob Pieter van Bram tiba di Betawi dengan enam kapal perang, 326 meriam, dan 2.130 personel. Armada ini diarahkan untuk membantu Belanda di Melaka melawan Riau. Dalam pada itu, Yang Dipertuan Besar Riau Sultan Mahmud mendatangi Yang Dipertuan Muda Raja Haji di Teluk Ketapang.
Dalam pertemuan itu Raja Haji menyatakan bahwa dia telah siap untuk mendapat “fadhilat syahid”. Pada 18 Juni pasukan Belanda berlabuh di Teluk Ketapang. Terjadilah pertempuran habis-habisan Riau melawan Belanda. Panglima perang Riau Raja Haji tewas digelar orang Raja Haji Fi Sabilillah.
Perang Riau lawan Belanda babak ketiga dipimpin oleh Raja Ali ibnu Daeng Kamboja. Pada 27 Oktober 1784 Riau menyerang Belanda. Pada 1 November 1784 Surat Perjanjian Riau dengan Belanda ditandatangani oleh Sultan Mahmud. Raja Ali dan pengikutnya bergerak keluar Riau. Dari pantai Kalimantan, serangan terhadap kapal-kapal VOC (Belanda) tetap berlanjut. Sementara itu, Belanda membuat garnizun dengan kekuatan 254 serdadu di Tanjung Pinang.
Pada tahun 1786 Sultan Mahmud mengirim utusan dengan pimpinan Encik Talib kepada Raja Tempasuk (di Sabah Malaysia sekarang) minta bantuan mengamok (mengusir) Belanda di Riau. Raja Ismail dibantu tiga putranya menyiapkan bantuan dengan 30 perahu perang bersama pasukannya.
Pasukan dari Tempasuk itu terdiri atas orang Iranun, Sulu, Jolo, Belangingi, dan lainnya. Pasukan ini di Riau disebut lanun. Sebab, mungkin orang Iranun yang paling besar jumlahnya atau paling hebat melawan Belanda. Pada 1787 sampailah bantuan ini ke Riau.
Panglima besar Raja Ismail langsung memimpin perang. Pasukan lanun mengamuk tentara Belanda di Tanjung Pinang. Kubu Belanda diharu-biru sehingga dapat direbut. Akibatnya, tidak ada lagi orang Belanda tinggal di Riau.
Di Mana Keturunan Iranun?
Berdasarkan keterangan kitab Raja Ali Haji itu, Raja Tebok dan Raja Alam putra Raja Ismail yang disebut juga raja lanun telah berhasil dangan pasukannya membela martabat Riau. Mereka mendapat sambutan baik dari pihak Riau dengan memperbaiki hatinya (dihibur) dipelihara, dipermuliakan sepatutnya. Kemudian, raja-raja lanun itu bermohon balik ke Tempasuk dan hanya Raja Muda Okma yang tetap tinggal di Riau. Tidak lama kemudian, Sultan Mahmud pindah ke Lingga.
Pada 2-7 November 2010 datanglah ke Riau (Tanjung Pinang dan Pekanbaru) dua orang tokoh Iranun Sabah, yakni OKK Hj Masrin Hj Hassin Yang Dipertua dan Abd Naddin Hj Shaiddin Ketua Penerangan Persatuan Bahasa dan Kebudayaan Iranun Sabah (BKI). Mereka ingin menjumpai keturunan Iranun di Riau dan hendak menyambung tali persaudaraan (silaturrahim) kembali dengan suku Iranun di Sabah.
Dengan merujuk pada kitab Raja Ali Haji tersebut, keturunan Iranun yang tinggal di Riau tentulah anak-cucu Raja Muda Okma. Mereka ini tentu saja telah nikah-kawin dengan penduduk setempat di Kepulauan Riau. Tapi, mungkin saja di antara mereka ada yang masih ingat bahwa mereka keturunan Iranun atau lanun, baik melalui ranji Raja Muda Okma maupun laskar lanun lainnya yang juga sudah nikah-kawin dan menetap di Kepulauan Riau atau Riau.
Kalau Raja Muda Okma dan anak buahnya mendapat tempat bermukim di Riau dari Sultan Riau, semisal, suatu pulau, tentulah keturunan ini akan mudah dikenal. Keturunan Iranun yang sudah 200 tahun terpisah dengan negeri Tempasuk Sabah yang sekarang berada di Kepulauan Riau atau Riau dapat menjalin persaudaraan kembali dengan kaum kerabatnya di Sabah, Malaysia.
Jika ini terjadi, tentu amat beharga bagi kepentingan ekonomi, sosial, dan budaya. Lebih dari itu, adalah rahmat Allah yang tiada terhingga. Mereka ini dapat menghubungi dua tokoh tadi melalui alamat OKK Haji Masrin Hj Hassin Yang Dipertua Persatuan Bahasa dan Kebudayaan Iranun Sabah (BKI) PO Box 1, 89157 Kota Belud Sabah, Malaysia. Semoga, Allah mempertemukan mereka dengan rahmat-Nya.*