Mengenal Ko Panyi, Desa Terapung Muslim di Thailand

Sejarah Ko Panyi dimulai pada akhir abad ke-18.

Wikipedia/Diego Delso
Mengenal Ko Panyi, Desa Terapung Muslim di Thailand. Desa terapung Ko Panyi di Thailand yang dihuni mayoritas Muslim.
Rep: Alkhaledi Kurnialam Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Saat membicarakan tentang kota atau desa, kita terbiasa membayangkan wilayah dengan jalan, mobil, bangunan. Namun ternyata ada bentuk lain dari kota atau desa yang jarang terpikirkan, yakni desa terapung.

Baca Juga


Desa terapung Ko Panyi jelas tidak cocok dengan gambaran kota atau desa yang biasanya ada di benak orang. Desa ini tersembunyi di sebuah teluk di Selatan Thailand dan dilindungi oleh formasi batuan kapur yang sangat besar setinggi sekitar 20 meter.

Akan lebih mudah untuk menggambarkan desa ini jika dalam novel fantasi seperti yang ditulis Italo Calvino. Namun, desa ini benar-benar ada dengan konstruksi yang muncul dari air yang ditopang oleh panggung ramping menyerupai kaki flamingo, menampung lebih dari 360 keluarga dan total 1.680 orang.

Dilansir di Arch Daily, Rabu (27/1), sejarah Ko Panyi dimulai pada akhir abad ke-18. Orang-orang di Ko Panyi saat ini dulunya mengikuti undang-undang yang membatasi kepemilikan tanah hanya untuk orang-orang yang berasal dari negara Thailand.

Hal ini yang mendorong nelayan Melayu nomaden untuk memulai pemukiman yang dibangun di atas panggung, memanfaatkan perairan teluk yang tenang dan kaya. Dengan meningkatnya kekayaan masyarakat karena industri pariwisata yang berkembang di Thailand, saat ini menjadi mungkin untuk membeli tanah di pulau itu sendiri.

Mereka kemudian membangun sekolah, pusat kesehatan, dan masjid. Di Ko Panyi, alam menetapkan aturan, dan manusia memahami serta mematuhinya. Saat air sedang pasang dan gelombang yang berbahaya selama musim hujan, mereka akan melakukan emigrasi dari desa.

 

Dasar rumah Ko Panyi strukturalnya dibangun di atas panggung, dan rumah-rumahnya dibangun dengan kayu dan bambu. Salah satu tantangan utama hidup di atas air adalah berurusan dengan permukaan keras yang sangat terbatas, yang menunjukkan kurangnya area umum dan tempat berkumpul.

Karena itu, warga Ko Panyi berupaya secara kolektif menciptakan ruang untuk rekreasi dan permainan. Terinspirasi oleh Piala Dunia 1986, sekelompok anak memutuskan untuk membangun lapangan terapung, yang menantang tantangan geografis di lokasi tersebut. 

Anak-anak mulai bekerja sepulang sekolah untuk menyelesaikan permukaan permainan dengan kayu, paku, dan rakit pancing. Lapangan dengan lebar 16 meter dan panjang 25 meter yang terletak di sebelah dermaga ini menjadi kekayaan nasional, meski sudah diganti dengan yang lebih baik karena dampak ceritanya yang besar.

Mencontoh orang Melayu, banyak permukiman lain yang dibangun di atas air.  Misalnya, di Danau Titicaca, Peru, di mana orang-orang Uru pra-Inca tinggal di 42 pulau terapung yang terbuat dari totora, buluh asli yang tebal dan apung yang tumbuh subur di perairan dangkal danau. Contoh lain adalah desa Amazon di Manaus, ibu kota negara bagian Amazonas, Brasil di mana fondasinya dibangun dengan kayu dari pohon Sandbox, yang sangat tebal dan tahan air, berfungsi sebagai alat apung.

Ko Panyi jauh dari mewakili masa depan tetapi masih menghadirkan cara hidup alternatif dalam komunitas, menghormati, dan memahami alam apa adanya. Ini adalah contoh yang mendorong kita menyadari betapa banyak yang harus kita pelajari dari berbagai bentuk permukiman selain pola stereotip yang berlaku saat ini.

 

Meninjau dan mengenali berbagai bentuk permukiman, dengan pro dan kontranya merupakan latihan yang sangat menarik, terutama di saat ketidakpastian saat ini yang penuh dengan tantangan sosial dan lingkungan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler