Suara Kekecewaan Senior Partai Demokrat Terhadap AHY
Di bawah AHY, senior melihat tidak ada kemajuan dari Partai Demokrat.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Zainur Mahsir Ramadhan, Nawir Arsyad Akbar, Antara
Tuduhan adanya internal dalam Partai Demokrat yang hendak melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono membuka tabir ketidakkompakan dalam partai. Kini, giliran sejumlah senior Partai Demokrat buka suara tentang Partai Demokrat di bawah kepemimpinan sosok yang populer dengan sebutan AHY tersebut.
Mantan Ketua Komisi Pengawas Partai Demokrat, Ahmad Yahya, mengatakan pernyataan AHY yang melibatkan pihak eksternal partai adalah langkah tidak tepat. "Untuk meluruskan pernyataan AHY yang melibatkan eksternal adalah tidak tepat, padahal ini urusan internal partai," kata Ahmad Yahya, saat membacakan sikap pendiri dan senior Partai Demokrat dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (2/2).
Dia menjelaskan, para pendiri dan senior Partai Demokrat telah mendengarkan dan mengkaji pengaduan serta keluh kesah kegundahan kekecewaan para kader di daerah terkait pelaksanaan Kongres Demokrat pada Maret 2020. Menurut dia, para kader tersebut menilai Kongres tersebut menghasilkan demokrasi semu, cacat hukum karena tidak sesuai dengan Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat.
"Tidak memenuhi tata cara Kongres partai, tidak ada LPJ (Laporan Pertanggung Jawaban), terkesan kongres jadi-jadian. Pengangkatan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono dipaksakan," ujarnya.
Ahmad Yahya mengatakan, para senior Demokrat juga menerima aduan bahwa selama kepemimpinan AHY, DPP Partai Demokrat meminta dan memungut iuran dari tiap fraksi di DPD dan DPC Demokrat di daerah sehingga menambah beban partai di daerah. Dia menilai langkah tersebut sebelumnya tidak pernah terjadi di era Ketua Umum Partai Demokrat sebelumnya yaitu Budi Santoso, almarhum Hadi Utomo, dan Anas Urbaningrum.
"Lalu proses penentuan pasangan calon kepala daerah di provinsi, kabupaten/kota yang diusulkan Demokrat pada era Ketua Umum sebelumnya, diserahkan penuh kepada pengurus DPD dan DPC. Namun saat ini sepenuhnya ditarik ke DPP dan tidak memperhatikan usulan atau aspirasi daerah khususnya kabupaten/kota," katanya.
Dia mengatakan, harapan kader Demokrat secara umum menginginkan adanya perubahan lebih baik ke depan dan partai tersebut kembali menjadi partai besar. Kader juga berharap kesan negatif sebagai parpol eksklusif dan milik keluarga harus dihilangkan.
Ahmad Yahya menjelaskan, harapan kader Demokrat secara khusus adalah tantangan meningkatnya ambang batas parlemen menjadi 7 persen. Namun faktanya perolehan suara partai tersebut dalam dua kali Pemilu terakhir terus menurun.
"Fakta lain adalah hasil Pilkada banyak yang gagal. Sehingga kader Demokrat di daerah berharap dapat dipimpin figur yang sudah matang, memiliki ekstra kemampuan kepemimpinan, pengalaman dan ketokohan untuk mengembalikan kejayaan Demokrat seperti di tahun 2009," ujarnya.
Dia juga menjelaskan terkait kedudukan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat, itu bukan hal yang inkonstitusional namun telah diatur dalam AD/ART partai. Menurut dia, usulan KLB sepenuhnya adalah hak DPC dan DPD Partai Demokrat sebagai pemegang hak suara sedangkan DPP hanya memiliki satu hak suara.
"Apabila dilarang atau jadi hal tabu (KLB) maka tentu yang melarang tidak memahami aturan dan asas demokrasi," ujarnya.
Dia menegaskan bahwa KLB adalah konstitusional karena sudah diatur AD/ART sebagai salah satu alternatif untuk menguji kemampuan atau kepiawaian seseorang dalam membesarkan partai. Menurut dia, dengan adanya aturan itu maka Ketua Umum harus hati-hati dalam menjalankan tugasnya agar tidak terjadi usulan KLB.
Hadir dalam konferensi pers tersebut antara lain para mantan Wakil Sekjen Partai Demokrat yaitu M. Darmizal, Yus Sudarso, Sofwatillah Muzaid, dan Tri Yulianto. Darmizal disebut sebagai salah satu sosok Demokrat yang bertemu mantan Panglima TNI (Purn) Moeldoko di Hotel Aston pada Rabu (27/1). Pembicaraan tersebut konon membahas upaya pengambilalihan Partai Demokrat.
Saat ditanya soal kebenaran kabar itu, Darmizal tidak secara tegas membantah. "Jadi kalau ada pertemuan beliau dengan berbagai pihak, yang kemudian dikonotatifkan dengan hal lain, jika itu adalah cerita tentang Partai Demokrat biarlah Partai Demokrat sendiri yang menjelaskannya. Karena, kami sebagai senior Partai Demokrat ingin melihat partai ini semakin baik semakin besar," kata Darmizal.
Dia mengaku memiliki hubungan baik dengan Moeldoko. Hubungan keduanya terjalin sejak 1996. Bahkan dirinya kerap bertemu di acara seperti kegiatan olahraga dan pengajian.
"Seperti saya, tadi saya katakan. Kadang-kadang kami bertemu dalam pengajian, kadang-kadang kita bertemu dalam satu event olahraga, kadang-kadang kita bertemu dalam satu pertemuan sambil makan siang atau apa di saat beliau di luar jam kerja, saya kira itu," ujarnya.
Terkait kabar pertemuan dengan Moeldoko, Darmizal menyerahkan hal tersebut ke Partai Demokrat untuk memvalidasi informasi itu sendiri. Menurutnya hal tersebut menjadi tugas Partai Demokrat untuk memvalidasi kabar tersebut.
"Terkait dengan cerita yang berhubungan dengan Partai Demokrat, saya tidak ingin menjelaskannya kepada publik, biarlah itu menjadi urusan internal Partai Demokrat yang mereka selesaikan sendiri. Mereka bisa melakukan validasi, mereka bisa menjelaskan pascaklarifikasi atau tabayyun," tutur Darmizal.
Selain itu eks politikus Partai Demokrat Darmizal juga menilai sosok Moeldoko merupakan tokoh yang tepat memimpin Partai Demokrat ke depan. Menurutnya Moeldoko merupakan seorang jenderal yang tidak membatasi diri dan terbuka untuk bertemu dengan siapa saja.
"Saya pribadi mungkin tokoh seperti ini, berperilaku seperti ini yang sangat baik untuk menjadi pemimpin Partai Demokrat saat ini dan ke depan. Ya itu salah satunya," tuturnya.
Eks Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Demokrat, Max Sopacua, juga menampik tuduhan ia termasuk kelompok yang akan melakukan kudeta. Menurutnya, tak ada bukti jika dirinya bersama yang lain, termasuk Moeldoko, terlibat dalam upaya pengambilalihan secara inkonstitusional.
‘’Mana buktinya? dia bisa membuktikan tidak bahwa saya bergabung dengan Moeldoko?’’ tanyanya.
Max justru menuding AHY tidak memiliki tujuan untuk membesarkan partai. Sebaliknya, tujuan AHY ia sebut hanya satu, agar kekuasaanya di partai tidak direbut pihak lain.
"Kenapa kok jadi penakut, selesaikan sebagai orang muda yang disebut sebagai kekuatan tadi dong,’’ keluhnya.
Ia menyebut, AHY justru tidak bisa memimpin. Hal itu, dinilainya berlawanan saat AHY ingin memimpin Partai Demokrat beberapa waktu lalu. "Awalnya, ketika dia (AHY) mau memimpin, statement dia ‘muda adalah kekuatan’. Bahasanya selalu muda, muda, muda. Kok kalian tiba-tiba cengeng, letoy, lebay?’’ ujar dia ketika dihubungi Republika, Selasa (2/2).
Dia mengenang, saat AHY hendak memimpin partai, hanya ada generasi muda yang boleh berpartisipasi. Sehingga, generasi senior dan tua di badan partai, yang bahkan ikut mendirikan Partai Demokrat disebutnya harus tersingkir semua.
‘’Terbukti, baru dikutik dikit saja panik dia. Kalau sudah panik, selesaikan dengan cara anak muda dong. Cara intelektual, jangan libatkan orang lain,’’ tambah dia. Max mengaku semakin kecewa, ketika urusan internal partai itu melibatkan Presiden Joko Widodo.
Pertemuan sejumlah kader Demokrat dengan Moeldoko diungkap oleh politikus Partai Demokrat, Rachland Nasidik. Ia membantah pernyataan Moeldoko yang mengatakan kader Demokrat menemuinya di kediamannya.
"Jangan bohong. Pertemuan itu bukan di kediaman tapi di hotel Aston Rasuna lantai 28, Rabu tanggal 27 Januari 2021 Pukul 21.00. Anda datang ke situ, bukan mereka mendatangi Anda," cicit Rachland di akun Twitter pribadinya yang sudah dikonfirmasi.
Ia mempertanyakan sikap Moeldoko yang menemui mantan kader Demokrat di sebuah hotel. Padahal, mantan Panglima TNI itu tak pernah berkontribusi apapun pada partai berlambang bintang mercy itu.
"Soalnya, Jenderal, bukan kenapa mereka menemui Anda. Tapi apa keperluan Kepala Staf Presiden menemui mereka--segelintir kader yang tersingkir?" cicit Rachland.
Sebelumnya, AHY, menyebutkan jika gerakan yang ingin mengkudeta Demokrat diinisiasi lima orang. Lima orang tersebut, kata dia, terdiri dari satu orang kader aktif Demokrat. Satu lainnya adalah kader yang tidak aktif selama 6 tahun belakang. Lalu, seorang mantan kader yang diberhentikan sejak sembilan tahun lalu karena kasus korupsi. Satu lainnya merupakan mantan kader yang keluar dari partai tiga tahun lalu. "Sedangkan satunya adalah non kader partai dan seorang pejabat tinggi pemerintahan. Sedang kami mintakan konfirmasi kepada Presiden Joko Widodo," tambah dia.