Kudeta Militer Diprediksi Rusak Perekonomian Myanmar

Kudeta militer telah membahayakan investasi asing senilai miliaran dolar AS.

AP/@benjaminsmall
Kendaraan polisi diparkir di Jalan Pagoda Sule di Yangon, Myanmar, Senin, 1 Februari 2021 setelah militer melakukan kudeta dan menahan politisi senior termasuk peraih Nobel dan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Sejumlah analis bisnis memperkirakan bahwa kudeta militer di Myanmar akan merusak perekonomian negara. Kudeta militer telah membahayakan investasi asing senilai miliaran dolar AS.

Baca Juga


Vriens & Partners adalah konsultan pemerintah yang saat ini menangani proyek investasi asing senilai 3 miliar dolar AS hingga 4 miliar dolar AS di Myanmar. Proyek investasi asing tersebut mencakup bidang energi, infrastruktur dan telekomunikasi. Managing Partner Vriens & Partners, Hans Vriens mengatakan, saat ini semua investasi asing di Myanmar sangat berisiko.

"Negara ini telah terpukul oleh pandemi Covid-19 dan berkurangnya keinginan untuk berinvestasi. Dan sekarang kita punya masalah yang lebih besar lagi," ujar Vriens, dilansir BBC, Selasa (2/2). 

Amerika Serikat (AS) mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi kepada Myanmar. Sanksi ini dapat berdampak signifikan pada investasi asing. Perusahaan Barat dan Jepang mulai ragu untuk melanjutkan proyek mereka di Myanmar. Sementara, Vriens mulai mempertimbangkan untuk mengalihkan investasi ke China. 

"Ini (China) satu-satunya negara yang bisa mereka (investor) tuju," ujar Vriens.

Seorang pengusaha yang berbasis di Yangon mengatakan, kondisi Myanmar ketika terjadi kudeta militer sejauh ini masih stabil karena tidak diwarnai dengan kerusuhan. Namun kudeta dapat berdampak besar pada perekonomian, terutama efek sanksi dari barat. Namun, efek sanksi dapat dibatasi karena sebagian besar investasi asing berasal dari Asia.

Baca juga : Militer Myanmar Serahkan Kekuasaan Setelah Masa Darurat Usai

"Ini akan berdampak psikologis, tetapi kami tidak pernah bergantung pada investasi barat," ujar pengusaha yang tidak mau disebutkan namanya itu. 

Menurut Bank Dunia, Singapura adalah investor asing terbesar di Myanmar pada tahun lalu. Investasi Singapura menymbang 34 persen dari keseluruhan investasi asing yang diizinkan. Kemudian, negara terbesar kedua adalah Hong Kong dengan 26 persen. 

Komitmen Investasi Asing Langsung (FDI) ke Myanmar bernilai 5,5 miliar dolar AS pada tahun fiskal 2020, yang berakhir pada September. Real estate dan manufaktur masing-masing menyumbang sekitar 20 persen. Namun, angka-angka tersebut diperkirakan turun pada tahun ini karena pandemi Covid-19.

 

Kudeta telah berdampak pada satu perusahaan yang terdaftar yakni Yoma Strategic Holdings. Perusahaan tersebut telah menghentikan perdagangan di Singapura, di mana perusahaan tersebut terdaftar. Yoma memiliki minat dalam real estate, makanan dan minuman, otomotif, dan jasa keuangan di Myanmar. Kepala Eksekutif Yoma Strategic Holdings Melvyn Pun mengatakan, kurangnya informasi dari Myanmar membuat perdagangan perlu dihentikan.

"Sulit untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Tidak ada telekomunikasi masuk atau keluar dari Yangon (pada Senin pagi)," ujar Pun. 

Angka terbaru Bank Dunia menunjukkan bahwa ekonomi Myanmar akan tumbuh lambat 2 persen pada tahun fiskal ini, sementara tingkat kemiskinan diperkirakan akan meningkat dari 22,4 persen pada akhir 2019 menjadi 27 persen. Anita Basu dari firma data keuangan Fitch Solutions mengatakan, sebelum kudeta militer pertumbuhan ekonomi Myanmar diharapkan bisa tumbuh 6 persen. Menurut Basu belum bisa dipastikan apakah kudeta akan berdampak signifikan pada penurunan investasi asing. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler