4 Etika Istri yang Keluar Rumah untuk Bekerja
Para ulama fikih berbeda pendapat dalam menetapkan hukumnya.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang istri yang hidup di kota-kota besar biasanya banyak yang keluar rumah untuk bekerja, dan tidak bisa sepenuhnya mengurus rumah dan anak-anak. Terkait hal ini, para ulama fikih berbeda pendapat dalam menetapkan hukumnya.
Bagi istri yang mencari nafkah untuk keluarganya, terutama jika mengharuskan mereka keluar dari rumah, menurut sebagian ulama membolehkan dengan memberikan syarat-syarat atau ketentuan yang harus mereka laksanakan.
Karena itu, ada beberapa etika bagi seorang istri yang akan bekerja ke luar rumah. Dalam buku Istri Bekerja Mencari Nafkah? terbitan Rumah Fiqih Indonesia, Isnawati menjelaskan beberapa etika bagi seorang istri yang keluar rumah untuk bekerja.
Harus mendapat izin dari suami
Jika seorang istri ingin bekerja mencari nafkah, maka para ulama mengharuskan, yang pertama harus mendapat ijin dari suaminya. Jika suaminya tidak mengijinkan, maka istri tidak boleh membantahnya dan melakukannya.
Menurut Isnawati, mematuhi suami merupakan ketaatan utama untuk sang istri setelah ketaatan terhadap Allah Rasulnya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah disebutkan:
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci,” (HR. An-Nasa’i).
Tidak mengabaikan urusan di rumah
Seorang istri yang bekerja mencari nafkah, baik dilakukan di rumah, apalagi yang keluar rumah, harus memastikan dia telah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri apalagi jika telah menjadi ibu.
Menurut Isnawati, seorang istri harus ingat perannya di rumah, pekerjaan yang dia lakukan tanpa mengabaikan kewajiban dan tanggung jawabnya di rumah. Jadi, harus memastikan suami dan anak-anaknya tetap terurus, urusan di rumah tetap dijalankan.
Harus bisa menjaga diri
Kewajiban harus dilakukan seorang istri yang mencari nafkah, baik di rumah atau di luar adalah hendaklah senantiasa menjaga diri dan kehormatan dirinya, keluarganya dan agamanya. Jika dia keluar rumah harus berpakaian yang menutup aurat, sopan, dan tidak berlebihan.
Seorang istri yang akan keluar rumah juga tidak boleh berhias yang berlebihan, memakai wewangian yang dapat mengundang syahwat laki-laki yang bukan mahramnya, serta tetap menjaga pergaulannya dari pergaulan yang buruk.
Dalam sebuah hadits, Nabi menyebutkan: “Jika seorang wanita selalu menjaga sholat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka,” (HR. Ahmad).
Tidak ada yang terdzalimi
Seorang istri yang bekerja keluar rumah, harus memastikan tidak mendzalimi seorang pun dengan dia bekerja. Seperti mendzalimi orang tuanya, dengan menitipkan anak-anaknya pada orang tuanya, apalagi orang tuanya telah sepuh.
Dengan dia bekerja, harus dipastikan juga, tidak akan mendzalimi anaknya. Misalkan sang anak masih bayi, hanya bisa menyusu dari ibunya, maka jika dia bekerja, sang ibu harus memenuhi ASI anaknya terpenuhi.
Sebelum istri bekerja yang tidak memungkinkan dapat menemui sang anak dalam setiap waktu, maka hendaklah menstok susu atau makanan terlebih dahulu yang mencukupi kebutuhan sang anak, dan menitipkan anaknya pada baby sitter atau pembantu yang bisa menggantikan peran ibunya di rumah.
Kemudian sang istri harus memastikan suaminya tidak terdzalimi dengan dia bekerja, rumah tangganya tetap terurus dan berjalan harmonis. Jika dengan bekerjanya sang istri ada pihak yang terdzolimi, maka hal ini tidak dibenarkan. Syariah Islam tidak membenarkan adanya kedzaliman, mendzalimi atau terdzalimi.