AS Pertimbangkan Batasi Bantuan ke Myanmar

Bantuan kemanusiaan AS, termasuk untuk minoritas Muslim Rohingya akan dilanjutkan

AP/STR
Kendaraan pengendali kerusuhan polisi dan truk pengangkut diparkir di jalan menuju gedung parlemen pada Selasa, 2 Februari 2021, di Naypyitaw, Myanmar. Ratusan anggota Parlemen Myanmar tetap dikurung di dalam perumahan pemerintah mereka di ibu kota negara itu pada Selasa, sehari setelah militer melancarkan kudeta dan menahan politisi senior termasuk peraih Nobel dan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi.
Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) akan melakukan peninjauan atas bantuan luar negerinya ke Myanmar. Pertimbangkan tersebut diambil setelah pengambilalihan kekuasaan oleh militer di negara Asia itu pekan ini.

Baca Juga


Juru bicara Departemen Luar Negeri, Ned Price, mengatakan AS memberikan hampir 135 juta dolar AS bantuan bilateral kepada Myanmar pada 2020. Hanya sebagian kecil total bantuan tersebut yang langsung diberikan kepada pemerintah.

Meski begitu, para pejabat sedang meninjau bantuan itu. Namun, bantuan kemanusiaan, termasuk untuk minoritas Muslim Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan di Myanmar dan program-program yang mempromosikan demokrasi atau menguntungkan masyarakat sipil akan terus berlanjut.

"Perhatian pertama kami saat kami melakukan peninjauan itu adalah untuk memastikan bahwa kami tidak melakukan apa pun yang akan mempengaruhi orang-orang Burma yang telah lama menderita, termasuk Rohingya,” kata Price dalam sebuah penjelasan singkat.

Baca juga : Pemimpin Kudeta: Pengambilalihan Kekuasaan tak Terelakkan

 

Price menyatakan, pejabat AS juga melakukan peninjauan sanksi terhadap para pemimpin militer Myanmar dan perusahaan yang terkait dengan mereka. Langkah itu sesuai dengan ancaman Presiden Joe Biden yang akan memberikan sanksi baru terhadap para jenderal yang menahan para pemimpin terpilih, termasuk Aung San Suu Kyi pada Senin (1/2) pagi.

Washington belum melakukan kontak langsung dengan para pemimpin kudeta di Myanmar atau para pemimpin pemerintah sipil yang digulingkan. Namun, pejabat AS mengatakan, atas permintaan Gedung Putih, perwira tinggi militer AS, Jenderal Angkatan Darat Mark Milley, berusaha menelepon militer Myanmar setelah kudeta, tetapi dia tidak dapat terhubung. Pejabat AS pun mencoba untuk bekerja dengan sekutu Eropa dan Asia yang memiliki kontak dengan militer Myanmar, tetapi tidak membuat banyak kemajuan.

Hukum AS menyatakan kudeta akan secara otomatis membatasi bantuan. Kudeta tersebut pun merupakan pukulan signifikan bagi pemerintahan Biden dan upayanya untuk membentuk kebijakan Asia-Pasifik yang kuat untuk melawan China. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler