Legislator: Perlu Pengawasan Ketat BPJS Ketenagakerjaan

Saat ini BPJS Ketenagakerjaan mengelola Rp 400 triliun anggaran buruh.

BPJS Ketenagakerjaan
Rep: Febrianto Adi Saputro Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR Obon Tabroni menyoroti terkait adanya indikasi korupsi di BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp 43 triliun. Obon meminta agar ada pengawasan intensif terhadap BPJS Ketenagakerjaan.

"Harus ada kontrol yang lebih besar terhadap lembaga tersebut sehingga indikasi korupsi, kemudian hal-hal yang lain itu bisa dihilangkan karena ini menyangkut trust," kata Obron dalam rapat paripurna kemarin, Rabu (10/2).

Ia mengatakan BPJS Ketenagakerjaan merupakan lembaga yang besar. Saat ini  lembaga tersebut mengelola Rp 400 triliun anggaran buruh. Namun ia menyayangkan kontribusi pelayanan BPJS Ketenagakerjaan terhadap peserta masih jauh dari harapan.

"Ketika peserta mengalami PHK akibat covid, yang berjuta-juta orang mengalami itu, mereka sulit untuk mendapatkan haknya dalam hal ini mengambil JHT yang dimaksud," ujar politikus Partai Gerindra tersebut.

Selain itu ia melihat benefit yang didapatkan jaminan hari tua (JHT) masih rendah. "Saya berharap bahwa kita bisa mengontrol lewat OJK, untuk melakukan pengawasan yang lebih intens termasuk juga melakukan pengawasan-pengawasan yang lain," tuturnya.

Sementara itu Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyikapi terkait temuan adanya dugaan salah pengelolaan keuangan dan investasi di Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Presiden KSPI Said Iqbal mendesak agar DPR segera membentuk panitia khusus (pansus) terkait dugaan adanya megakorupsi di BPJS Ketenagakerjaan.

"Jangan panja, pansus berarti lebih luas," kata Said dalam konferensi pers yang digelar KSPI secara daring, Rabu (10/2).

Said berharap gabungan komisi-komisi di DPR seperti Komisi III, Komisi IX, dan Komisi VI, bisa sama-sama menelusuri adanya dugaan rasuah di BPJS Ketenagakerjaan yang potensi kerugiannya mencapai hingga Rp 43 triliun. Rencana KSPI akan mengirim surat kepada DPR hari ini terkait hal tersebut.

Selain itu Said mengatakan bahwa KSPI juga telah mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memperhatikan kasus di BPJS Ketenagakerjaan tengah diusut Kejaksaan Agung kemarin. "Tentu kami berharap beliau bapak presiden selalu dalam keadaan sehat, selalu dalam keadaan tetap kuat di tengah pandemi corona ini untuk memperhatikan persoalan korupsi, karena beliau keras sekali kami tahu kalau permasalahan korupsi," ujarnya.

Said mengatakan KSPI juga mengapresiasi langkah Kejagung yang sigap memeriksa kasus tersebut. KSPI meminta Kejagung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk terus mengawasi kasus tersebut.

"Jangan berhenti pada tingkat isitlah resiko bisnis seperti kasus 2020 yang potensi kerugian waktu itu disampaikan Rp 13 triliun di BPJS Ketenagakerjaan, jangan berhenti di situ, gali lagi," tegasnya.

Baca Juga


Sebelumnya Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah mengungkapkan, nilai seluruh investasi Badan Pengelola Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Naker) mencapai Rp 400 triliun. Namun, dikatakan Febrie, yang menjadi fokus penyidikan timnya dalam pengungkapan dugaan korupsi, dan penyimpangan hanya terkait, dengan nilai investasi saham, dan reksadana yang nilainya mencapai Rp 43 triliun.

"Kalau besaran (seluruh) investasinya total 400-an triliun. Di saham dan reksadana, itu 43 T (triliun),” kata Febrie kepada Republika, di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Kejaksaan Agung (Kejakgung), Jakarta, Rabu (20/1).

“Yang dalam penyidikan ini, hanya (investasi) saham, dan reksadana,” kata Febrie menambahkan.

Febrie menerangkan, nilai Rp 43 triliun investasi saham, dan reksadana yang dalam penyidikan tersebut, belum dapat disimpulkan sebagai estimasi kerugian negara. Pun Febrie menambahkan, nilai investasi BPJS Naker pada dua instrumen permodalan tersebut, belum tentu seluruhnya terjadi penyimpangan.

Karena, Febrie mengatakan, dalam rangkaian penyidikan saat ini, timnya baru berjalan untuk mendalami setiap proses transaksi. “Dengan BPK (Badan Pemeriksa Keuanga), kita sudah berjalan. BPK nanti yang melihat transaksi-transksi itu, mana yang masuk ke dalam penyimpangannya," terang Febrie.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler