Pemerintah Diminta Sinkronkan Bantuan UMKM, Ini Alasannya
Pemerintah diminta melalukan sinkronisasi data bantuan UMKM
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ketidaksinkronan data penduduk menjadi akar masalah distribusi bantuan pemerintah khususnya di masa pandemi. Sinkronisasi data sangat penting dilakukan agar program dan kebijakan pemerintah menjadi lebih tepat guna dan tepat sasaran.
Hal ini disampaikan Koordinator Perkumpulan Kader Bangsa, Dimas Oky Nugroho, usai bertemu dengan Kepala Desa Kalisari, Cilongok, Kabupaten Banyumas, Endar Susanto, dan mengunjungi usaha pengrajin tahu didesa tersebut, akhir pekan ini, dalam keterangannya Ahad (14/2).
Mantan staf khusus Kantor Kepresidenan ini mengatakan, dengan data yang akurat dan akuntabel pastinya memudahkan pemerintah menjalankan dan mengawasi efektivitas berbagai program bantuan.
"Hal ini sebenarnya telah lama diinginkan Presiden Jokowi. Saya tidak paham bagaimana realisasi dan pengawalannya saat ini,” kata Dimas.
Menurut Dimas, kalau data antarkementerian/lembaga telah terintegrasi, maka berbagai program yang dicanangkan pemerintah dapat tepat guna dan sasaran. Efektivitas bantuan dapat dipantau agar tidak tumpang tindih dan salah sasaran. Problemnya, integrasi data warga masyarakat masih menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi pemerintah.
Endar mengaku terdapat setidaknya dua permasalahan terkait bantuan di desanya. Satu terkait bantuan UMKM dan satu lagi terkait Bansos. Menurut Endar, pihaknya tidak memiliki validasi data penerima Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) Tunai sebesar Rp2,4 juta selama empat bulan atau Rp600 ribu per bulan. Pasalnya, dari 260 pengrajin tahu di Desa Kalisari diketahui hanya delapan UMKM yang mendapatkan bantuan yang disalurkan langsung melalui rekening BRI.
“Tiba-tiba ada transferan BRI ke warga penerima yang sebenarnya tidak semuanya sesuai dengan data faktual kami di lapangan. Kami sendiri sebagai pihak desa telah mengajukan data UMKM yang perlu mendapatkan bantuan," ujar Endar.
Selain itu, kata Endar, minimnya jumlah UMKM penerima bantuan dikarenakan syarat yang ditetapkan tentang kewajiban pemohon tidak memiliki utang di bank atau KUR. Namun, fakta di lapangan ada beberapa penerima bantuan yang masih memiliki pinjaman dari bank.
Dia menyebut banyak pengrajin yang tidak mendaftar karena syarat utamanya tidak memiliki utang atau menerima KUR, sedangkan hampir 90 persen pengrajin memperoleh modal dari pinjaman bank.
“Tapi faktanya banyak juga penerima KUR yang mendapatkan bantuan ini. Saya tidak tahu sistem verifikasi UMKM oleh dinas atau kementerian terkait seperti apa," ujar dia.
Dimas menganjurkan pemerintah pusat harus menggandeng pemerintah daerah untuk melakukan pendataan secara serius dan berkala. Langkah ini harus secara konkret dilaksanakan mengingat urgensi dan situasi penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi saat ini sangat bergantung pada ketersediaan data yang terintegrasi.
Problem lainnya, menurut Dimas, data antarkementerian juga kerap berbeda. Menurut laporan setidaknya terdapat 20 juta data kependudukan yang tidak cocok dengan penerima bansos yang masuk dalam program Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
"Data yang tidak sinkron ini diharapkan segera disempurnakan agar menjadi acuan seluruh Kementerian/Lembaga hingga pemerintah daerah untuk mengambil sebuah kebijakan khususnya dalam penanganan pandemi ini,” ujar Dimas doktor politik alumni UNSW Sydney Australia ini.
Di masa pandemi saat ini, jelas Dimas, terdapat sejumlah institusi pemerintah yang bergerak masing-masing dalam menjalankan program bantuan, seperti Kartu PraKerja, BLT, UMKM, serta program alokasi desa yang ditanggung oleh kementerian yang berbeda-beda.
Dia menyebut akibat perbedaan dan tumpang tindihnya data ini menyebabkan terjadinya kasus satu orang bisa menerima hampir semua bantuan tersebut.
Sementara terdapat masyarakat yang tidak menerima bantuan sama sekali dari pemerintah. Padahal, pemerintah telah menggelontorkan dana untuk penanganan pandemi yang sangat besar.