Epidemiologi: Aturan Terkait Vaksinasi Jadi Beban Masyarakat

Pemerintah harus bangun komunikasi persuasif bukan represif yang bersifat mengancam.

AP / Marco Ugarte
Seseorang bersiap untuk mendapatkan suntikan vaksin.
Rep: Haura Hafizhah Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menanggapi aturan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Perpres No. 14 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi. Menurutnya, pemerintah harus membangun komunikasi persuasif bukan represif yang bersifat mengancam kontra produktif. 


"Sejak awal pemerintah tidak memadai untuk melakukan 3T. Lalu, komunikasi pemerintah kepada masyarakat juga tidak tepat. Sekarang ditambah lagi ada aturan yang mengancam masyarakat. Ini jadi beban masyarakat. Yang ada anggapan masyarakat banyak yang buruk dengan program vaksinasi," katanya saat dihubungi Republika, Selasa (16/2).

Dikatakannya, prinsip vaksinasi itu voluntary atau secara sukarela. Dalam artian tidak mewajibkan. Dia mencontohkan, negara seperti Amerika Serikat walaupun terpuruk mereka tidak ada aturan yang mewajibkan masyarakat di vaksinasi tetapi mereka berhasil meyakinkan masyarakatnya.

"Mereka bisa meyakinkan masyarakatnya karena komunikasi yang tepat dan tidak menakut nakuti. Untuk saat ini belum melihat vaksin Covid-19 harus wajib. Sehingga pemerintah tidak bisa seenaknya saja dengan mengadakan aturan," kata dia.

Dia menyarankan, agar pemerintah lebih mempelajari tentang vaksinasi ini lewat sains dan riset. Selain itu, juga pemerintah harus memiliki strategi komunikasi yang bagus untuk masyarakat.

Baca juga : IDI Minta Media Ingatkan Perokok Kelompok Rentan Covid-19

"Saya yakin anak-anak muda sekarang kritis. Mereka tahu mana yang baik dan tidak. Belum apa-apa mewajibkan. Apalagi untuk masyarakat yang miskin. Pasti hal ini berat bagi mereka," kata dia.

Sebelumnya diketahui, Presiden Joko Widodo telah menekan Perpres tentang Pengadaan Vaksin serta Pelaksanaan Vaksinasi dalam rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. Dalam Perpres ini disebutkan juga sanksi yang bakal diberikan jika ada warga yang menolak divaksinasi Covid-19. Perpres Jokowi ini ditetapkan di Jakarta pada 9 Februari dan diundangkan pada 10 Februari 2021. 

Poin mengenai pengenaan sanksi administratif bagi penolak vaksin Covid-19 disebutkan dalam Pasal 13A Perpres nomor 14 tahun 2021. Dalam ayat 4 disebutkan, sanksi bisa diberikan berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, serta penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintaha. Opsi saksi ketiga, diberikan dalam bentuk denda.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler