Arti Kudeta Myanmar Bagi Muslim Rohingya
Para pengungsi khawatir merasakan penganiayaan lebih lanjut.
REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Kekhawatiran meningkat atas nasib Muslim Rohingya setelah kudeta militer Myanmar. Para pengungsi khawatir dikembalikan ke Myanmar dan merasakan penganiayaan lebih lanjut.
"Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan, membersihkan desa Rohingya adalah urusan yang belum selesai dari Perang Dunia Kedua. Jadi, kami khawatir jika kami kembali ke Myanmar akhirnya dia akan menyelesaikan masalah ini," kata seorang pengungsi Rohingya dan salah satu pendiri dari Koalisi Bebas Rohingya, Ro Nay San Lwin, dilansir dari The New Arab, Senin (22/2).
"Kami sudah tahu bagaimana kami akan menderita jika kami kembali. Kami sudah tinggal di penjara terbuka. Kami tidak diakui sebagai warga negara. Kami tidak dapat bepergian. Kami tidak dapat bekerja untuk mata pencaharian kami. Kami memiliki akses terbatas ke perawatan kesehatan. Mereka ingin kami kembali sehingga kami dapat bekerja di pabrik yang dibangun oleh China dan investor lain, itu akan seperti Auschwitz," ujarnya.
Ro Nay San Lwin adalah salah satu dari banyak anggota Rohingya. Rohingya adalah kelompok minoritas Muslim yang telah dianiaya di bawah pemerintahan militer yang brutal di Myanmar sejak tentara mengambil alih kekuasaan pada 1962. Sekjen PBB Antonio Guterres bahkan menggambarkan etnis itu sebagai salah satu dari orang yang paling terdiskriminasi di dunia.
Myanmar memiliki sekitar 140 kelompok etnis yang tinggal di dalam perbatasannya, hasil dari pemerintahan Inggris yang baru berakhir pada 1948 dan masih memiliki konsekuensi hingga hari ini. "Salah satu hal yang dapat dicapai oleh pemerintah demokratis adalah membuka negosiasi damai dengan mayoritas kelompok itu. Kudeta mungkin memicu kebangkitan kembali konflik ini karena pembicaraan damai masih belum selesai," ujarnya.
Amnesty International melaporkan, militer memerkosa dan melecehkan wanita dan gadis Rohingya. Médecins Sans Frontières melaporkan, sekitar 6.700 orang dewasa dan setidaknya 730 anak-anak terbunuh selama periode ini.
Karena alasan ini, lebih dari 700 ribu orang Rohingya terpaksa melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh demi keselamatan, menetap di kamp Kutupalong di Cox's Bazaar-kamp pengungsi terbesar di dunia. Untuk saat ini, upaya yang didukung PBB untuk memulangkan pengungsi Rohingya kembali ke Myanmar telah terhenti dengan kelompok-kelompok hak asasi yang memperingatkan bahaya yang meningkat bagi mereka.
"Suatu kondisi yang diperlukan untuk pemulangan yang aman dan sukarela telah meminta pertanggungjawaban militer," kata Presiden organisasi hak asasi manusia internasional Pusat Keadilan Global, Akila Radhakrishnan.
"Jenderal Senior Min Aung Hlaing, salah satu arsitek utama genosida terhadap Rohingya, sekarang berkuasa. Jadi, saya pikir, sangat sulit membayangkan bagaimana bisa ada pemulangan yang aman ke Myanmar. Risiko kekejaman pasti meningkat," katanya.
PBB sudah menyebut serangan 2017 terhadap Rohingya sebagai genosida. Tetapi, Radhakrishnan yakin, pemerintahan militer perlu dihentikan dengan cara sanksi.
Ro Nay San Lwin mengarahkan upaya Koalisi Bebas Rohingya dan Kampanye Boikot Myanmar untuk menggalang negara-negara di seluruh dunia untuk tidak hanya mengecam kudeta, tetapi juga untuk menuntut pengakuan atas penderitaan yang tidak dapat diatasi.
Kekhawatiran lainnya adalah pembicaraan repatriasi ini dipelopori oleh China yang dituduh melakukan genosida di wilayahnya sendiri karena penganiayaan terhadap warga Uighur di Xinjiang. China juga telah menghentikan upaya Dewan Keamanan PBB untuk mengecam kudeta militer di Myanmar, sehingga penderitaan Rohingya berada di tangan kekuatan politik regional dan global.
"Tanpa China, militer tidak akan melakukan kudeta. Kami menginginkan hak kewarganegaraan dan hak kembali ke desa kami dengan perlindungan yang ditegaskan, terutama oleh komunitas internasional. Tanpa ini kami kembali dalam bahaya karena siklus kekerasan telah terjadi. Berulang kali melawan Rohingya," kata Ro Nay San Lwin.