Australia Mulai Kehabisan Pasokan Daging Sapi
Industri daging sapi Australia mengalami masa sulit setelah bertahun-tahun kekeringan
REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Pasokan daging sapi Australia kemungkinan mulai menipis dari menu makanan global jika para produsen tidak mempercepat pembangunan kembali kawasan peternakan secara nasional.
Dikutip dari Bloomberg, Selasa (2/3) jumlah populasi sapi mendekati angka terendah sejak awal 1990-an. Produsen sapi nasional Australia menghadapi kemungkinan kehilangan predikat sebagai posisi eksportir kedua di dunia setelah Brasil.
Sebab, tak punya stok yang cukup untuk memenuhi permintaan pasar global yang meningkat akibat Covid-19. Alih-alih memelihara sapi betina untuk diternakkan, risiko meningkat karena beberapa peternak terus mengirim sapi betina ke rumah potong hewan.
Data resmi terbaru menunjukkan rasio sapi betina yang diproses sebagai proporsi dari total pemotongan sebesar 48,2 persen. Angka itu tidak cukup untuk memenuhi syarat untuk rekonstruksi teknis peternakan sapi nasional di Australia yang harus berada di bawah 47 persen.
Meskipun masih ada waktu untuk menurunkan rasio tersebut, hal itu perlu dilakukan sejak dini karena proses penyetokan ulang membutuhkan waktu bertahun-tahun dari mulai usia anak sapi, penyembelihan, dan industrialisasi yang juga menghadapi berbagai hambatan.
“Kami harus meningkatkan angka-angka itu sehingga kami tidak kehilangan pangsa pasar ke pasar ekspor,” kata Manajer Pasar Komoditas di Thomas Elder Market, Matt Dalgleish dilansir dari Bloomberg.
Industri daging sapi Australia telah mengalami masa sulit setelah bertahun-tahun kekeringan. Situasi itu memaksa para petani yang tidak mampu harus menjaga populasi sapi di padang rumput yang kering.
Selanjutnya, kelebihan pasokan yang diakibatkannya di pasar menyebabkan harga sapi Australia anjlok pada tahun 2019 menjadi setengah dari level yang terlihat saat ini.
Peternak juga menghadapi masa depan yang kurang pasti dengan meningkatnya permintaan protein alternatif karena masalah lingkungan dan kesehatan mendorong konsumen ke produk seperti burger atau nugget daging tiruan.
Setelah musim penghujan kembali memulihkan kondisi padang rumput tahun lalu yang dilanjutkan pembangunan kembali kawasan peternakan, para peternak menahan pasokan, menekan persediaan, dan membuat harga melonjak dan mencatat rekor.
Bank Perkreditan Rakyat memproyeksi harga tersebut akan tetap bertengger pada tahun ini. "Para petani harus berjuang antara memelihara ternak demi pemulihan populasi atau mengirim ternaknya untuk disembelih demi mendapatkan uang sekarang," kata Dalgeish.
Menurutnya, peternak dihadapkan pada tawaran yang menggiurkan bagi beberapa orang yang ingin melunasi hutang besar yang timbul selama tahun-tahun kekeringan.
Harga sapi Australia biasanya mengikuti negara-negara Amerika Selatan, tetapi kondisi kekeringan selama 2014–2015 memperketat pasokan Down Under. Itu menyebabkan harga melonjak dan tidak pernah pulih dengan baik.
Dengan nilai dolar Australia yang mencapai hampir 80 sen AS, produk sapi dari Aussie menjadi tidak terjangkau oleh banyak importir. Harga bahkan telah melampaui AS, yang secara tradisional menyandang gelar daging sapi termahal di dunia.
Harga yang tinggi juga mendapat tanggapan dari Indonesia, di mana pemogokan oleh penjual daging lokal atas harga daging sapi Australia mendorong pemerintah untuk memperingatkan bahwa mereka akan mencari pemasok lain, menurut laporan media Australia. Indonesia adalah pasar ekspor sapi dan jeroan sapi terbesar di Australia.
Meskipun Australia hanya menyumbang 4 persen dari produksi daging sapi global, negara ini adalah salah satu pengirim terbesar di dunia, dengan pasar utama di China, Jepang, dan Korea Selatan. Volume ekspor turun 15 persen tahun lalu karena rekor harga menurunkan permintaan.
Dalgeish menuturkan, posisi Australia di pasar tersebut semakin berisiko, diperparah oleh perjanjian perdagangan bebas yang melihat tarif yang lebih tinggi pada pengiriman negara versus daging sapi Amerika.
“Situasi perdagangan sedemikian rupa sehingga produk AS lebih disukai,” katanya.
Untuk sapi Australia yang, tidak seperti sapi di AS, kebanyakan memakan rumput daripada biji-bijian. Perubahan iklim dapat menambah tekanan untuk membangun kembali ternak dengan cepat.
Dengan kekeringan yang tak kunjung usai, ditambah dengan frekuensi kejadian cuaca ekstrem yang lebih tinggi, sangat penting untuk menambah jumlah populasi saat padang rumput sedang tumbuh.
“Australia kemungkinan akan kembali mengalami kekeringan dalam beberapa tahun,” kata Dalgleish.
“Ini tidak menyisakan banyak waktu bagi kita untuk menambah populasi menjadi 28 juta hinga 29 juta ekor. Dan, kemudian anda seperti terjebak lagi, tergantung seberapa lama skenario kekeringan terlihat," ujarnya.