Soeharto dan Penyelewengan Dana Yayasan Supersemar
Awalnya Yayasan Supersemar memberikan beasiswa untuk para pelajar.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada tahun 1974, Soeharto saat itu membentuk Yayasan Supersemar dengan modal Rp 10 juta. Untuk menopang kebutuhannya, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 15/1976 Soeharto yang saat itu masih menjadi presiden RI ke-2, mewajibkan bank-bank pelat merah menyetor setengah dari lima persen sisa laba bersih ke yayasan tersebut.
Dengan modal dana dan PP tersebut, yayasan Supersemar yang mulai tumbuh sejak 1976-an hingga lengsernya Soeharto, diketahui menuai pendapatan sekitar 420 juta dolar AS. Awalnya, dana dan pendapatan Yayasan Supersemar memang ditujukan demi kepentingan mulia, membiayai dana pendidikan para pelajar potensial Indonesia. Namun demikian, waktu berselang, dana tersebut malah diselewengkan.
Berdasarkan laporan wartawan Time ,Zamira Loebis, uang keuntungan dari yayasan itu memiliki dua tujuan. Selain dari pendanaan biaya pendidikan, dana itu, malah digunakan demi tujuan yang tidak baik. Di antaranya, banyak dana mengalir kepada beberapa perusahaan seperti PT Bank Duta, PT Sempati Air, PT Kiani Lestari, dan PT Kiani Sakti.
Dari tahun ke tahun, dana yang ditujukan bagi pendidikan siswa atau mahasiswa Indonesia memang meningkat. Namun, tidak signifikan.
Dalam sebuah laporan dengan judul ‘Pendidikan dan kebudayaan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh selama 10 tahun’ yang disusun oleh Depdikbud Kanwil Provinsi Aceh, dana memang mengalir terbatas dari Yayasan Supersemar itu. Dituliskan, pada 1975, setahun pascayayasan dibentuk, tidak ada penerima beasiswa yang dialokasikan. Baru setahun kemudian, ada 7 orang dari STM Negeri setempat yang menerima beasiswa.
Jumlah tersebut, masih kalah dibanding beasiswa Bakat dan Prestasi Pemprov Aceh yang jumlahnya konstan meningkat dan menyeluruh di periode tersebut. Masih di Aceh, tepatnya pada 1977, ada peningkatan beasiswa untuk 65 orang. Dengan rincian, 55 orang dari STM Negeri dan 10 lainnya dari SMEA Negeri.
Pada 1978, Yayasan Supersemar memberikan beasiswa pada 96 orang. Dengan rincian, 85 orang dari STM Negeri dan 11 SMEA Negeri.
Di periode dua tahun 1979/1980, yayasan memberikan beasiswa pada sekitar 129 orang. Seratus delapan belas di antaranya berasal dari STM Negeri dan 11 lainnya, untuk dua tahun itu, masih berasal dari SMEA Negeri. Dalam periode lima tahun itu, tidak ada yang diberikan pada SMKK atau mahasiswa asal Aceh.
Menurut laporan, Yayasan Supersemar dalam menjaring target pelajar untuk dibiayai melakukan seleksi. Jika lolos, para penerima berhak mendapat uang sekitar Rp 12.500 hingga 15 ribu untuk biaya hidup dan atau pendidikan. Jumlah itu untuk mahasiswa.
Secara umum, pada 1976, Yayasan Supersemar mulai membidik para siswa SMK untuk penyaluran beasiswa. Terhitung 667 orang siswa dari STM Negeri di berbagai wilayah menerima dana beasiswa sekitar Rp 5.500 hingga Rp 6 ribu setiap bulannya.
Indikasi Penyelewengan Mencuat
Waktu berselang, indikasi penyelewengan Yayasan tersebut mulai mencuat. Tepatnya pasca reformasi, awal September tahun 1998.
Pada saat itu, Kejaksaan Agung (Kejakgung) mulai sadar adanya indikasi penyelewengan dari yayasan-yayasan keluarga Soeharto. Termasuk yayasan Supersemar itu sendiri.
Setahun kemudian, tim Kejakgung mulai menemukan unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto terkait yayasan-yayasan yang dipimpinnya. Pemeriksaan lanjutan langsung dilakukan, di antaranya pada Siti Hardiyanti, Bob Hasan dan Yohanes Mulia.
Kendati demikian, di tahun tersebut Soeharto terserang Stroke. Baru, di tahun 2000, Soeharto dijadikan tersangka atas penyalahgunaan dana yayasan sosial. Ia, juga mangkir dari panggilan pertama Kejaksaan Agung (Kejakgung) pada awal 2000.
Mengutip tulisan Republika, pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Kejakgung dan menghukum Yayasan Supersemar untuk membayar ganti rugi kepada pemerintah sebesar 105 juta dolar AS dan Rp 46 miliar. Pengadilan tingkat banding pun kemudian menguatkan putusan PN Jakarta Selatan lewat putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 19 Februari 2009.
Namun, saat Mahkamah Agung (MA) menguatkan kembali putusan banding di tingkat kasasi pada Oktober 2010, terdapat salah ketik jumlah ganti rugi. Jumlah yang seharusnya ditulis Rp 185 miliar menjadi hanya Rp 185 juta. Akibat salah ketik itu, putusan tidak dapat dieksekusi.
Kejakgung pun kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan salah ketik tersebut pada September 2013. Pada akhirnya, MA memutuskan mengabulkan PK yang diajukan negara. Nilai denda yang harus dibayar Yayasan Supersemar pun melonjak menjadi Rp 4,4 triliun setelah disesuaikan dengan kurs saat ini.
Eksekusi dan Pembelaan
Pada akhir 2015, Kejaksaan Agung sudah mengirim surat permohonan eksekusi Yayasan Supersemar ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menyusul dikabulkannya peninjauan kembali (PK) perkara penyelewengan dana beasiswa dengan denda Rp 4,4 triliun. Namun di tahun yang sama, Pengacara keluarga Cendana, Juan Felix Tampubolon, menilai, putusan MA yang mengabulkan permohonan Jaksa Agung atas gugatan Soeharto dan Yayasan Supersemar kurang tepat.
Menurut dia, putusan MA juga sangat aneh. "Menurut saya kurang tepat dan aneh," kata Juan, 2015.
Felix mengatakan, fakta-fakta dan bukti di persidangan sama sekali tidak mendukung posita, apalagi petitum kejaksaan pada saat itu. Menurut dia, semua bukti dokumen yang digunakan hanya berupa fotokopi.
Juan menjelaskan, hingga saat ini, pihak keluarga Cendana belum memutuskan langkah apa yang akan dilakukan terkait putusan MA tersebut. "Sampai sekarang kami belum terima putusan dan belum dihubungi klien," kata Juan.
Tetapi, tetap, pada saat itu, MA mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Kejaksaan Agung dalam perkara penyelewengan dana beasiswa Supersemar dengan tergugat Yayasan Beasiswa Supersemar.