Junta Deklarasi Darurat Militer di Beberapa Kota Myanmar
Puluhan orang tewas akibat tindakan keras pasukan Myanmar
REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Situasi di Myanmar semakin tak kondusif menyusul kekerasan aparat terhadap pendemo damai di seluruh negeri, hingga Ahad (15/3) waktu setempat. Sekurangnya 38 orang tewas dalam kekerasan selama demonstrasi. Sementara junta memberlakukan darurat militer.
Seperti dilansir laman CNN, junta memberlakukan darurat militer di Hlaing Thayar, salah satu distrik terbesar di kota yang menampung banyak pekerja pabrik yang terbilang miskin. Media lokal melaporkan bahwa darurat militer juga telah diberlakukan di distrik Shwe Pyi Thar, Yangon.
Pada Senin (15/3), militer juga mengumumkan darurat militer di empat kota kecil Yangon, North Dagon, North Okkalapa, South Dagon dan Dagon Seikkan. Daerah tersebut tempat sebagian besar pabrik kota berada.
Sebelumnya, orang-orang tak dikenal membakar pabrik-pabrik yang didanai China di wilayah Hlaingthaya. Menurut laman Myanmar Now, darurat militer di bawah rezim junta berarti komandan militer wilayah Yangon diberikan kewenangan administratif dan yudisial penuh di distrik-distrik di mana darurat militer diberlakukan.
Sementara itu, jaringan seluler tetap dinonaktifkan secara nasional meski konektivitas internet pulih pada Senin setelah pemadaman selama 29 malam berturut. Para pengunjuk rasa dan jurnalis mengandalkan ponsel mereka untuk melakukan streaming langsung demonstrasi dan mendokumentasikan tindakan keras polisi.
Ketika protes berlanjut di seluruh Myanmar, pemimpin sekelompok anggota parlemen yang digulingkan oleh militer berjanji untuk melakukan revolusi untuk menggulingkan junta yang berkuasa. Berbicara di depan umum untuk pertama kalinya pada Sabtu, Mahn Win Khaing Than, yang merupakan ketua majelis tinggi Parlemen sebelum kudeta, mengatakan dalam sebuah pidato video di Facebook akan melawan junta. "Ini adalah masa paling gelap bangsa dan fajar akan menyingsing," kata dia.
Mantan anggota parlemen telah membentuk pemerintahan sipil paralel yang disebut Komite Mewakili Pyidaungsu Hluttaw (CRPH) yang mendorong pengakuan internasional sebagai pemerintah yang sah. "Untuk membentuk demokrasi federal, yang benar-benar diinginkan oleh semua etnis bersaudara, yang telah menderita berbagai jenis penindasan dari kediktatoran selama beberapa dekade, revolusi ini adalah kesempatan bagi kita untuk menyatukan upaya kita," ujar Mahn Win Khaing Than, yang merupakan etnis Karen.
Dia juga mengatakan bahwa pemerintah sipil akan berusaha untuk membuat undang-undang yang diperlukan sehingga rakyat memiliki hak untuk membela diri terhadap tindakan keras militer. Reuters melaporkan bahwa militer menganggap CRPH ilegal dan telah memperingatkan bahwa siapa pun yang ditemukan bekerja sama dengan mereka akan menghadapi dakwaan makar. Sementara CRPH telah menyatakan militer Myanmar sebagai organisasi teroris.
Pada Ahad (14/3), Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener merilis pernyataan yang mengutuk pertumpahan darah yang berkelanjutan di negara itu karena militer menentang seruan internasional, termasuk dari Dewan Keamanan, untuk menahan diri, berdialog, dan menghormati sepenuhnya hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.
"Utusan Khusus secara pribadi telah mendengar dari kontak di Myanmar tentang pembunuhan yang memilukan, penganiayaan terhadap demonstran dan penyiksaan terhadap tahanan selama akhir pekan," katanya.
Hingga Ahad (14/3), 2.156 orang telah ditangkap, didakwa atau dijatuhi hukuman sehubungan dengan kudeta militer. Sementara, sekitar 100 pengunjuk rasa termasuk pelajar dan pemuda ditangkap dalam tindakan keras pada Ahad saja.