Beda Fatwa MUI dan NU Soal AstraZeneca
Tidak perlu membenturkan fatwa MUI dan NU soal vaksin AstraZeneca.
Oleh : Nashih Nashrullah*
REPUBLIKA.CO.ID, Ada perbedaan hasil yang cukup signifikan terkait dengan hasil (penting untuk digaris bawahi, adalah kata kunci hasil) kajian status hukum vaksin Covid-19 Komisi Fatwa MU dan Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur. Dalam konteks ini, yang saya maksud adalah AstraZeneca buatan Universitas Oxford Inggris. Vaksin yang oleh sebagian orang dikait-kaitkan, menggunakan teori konspirasinya, dengan gagalnya tim All England kita berlaga di kompetisi bergengsi bulu tangkis dunia. Urusan yang membuat netizen terhormat kita heboh.
Kembali soal urusan fatwa AstraZeneca, beragam respons menyikapi perbedaan signifikan di antara kedua lembaga itu. Sebagian besar tentu mempertanyakan, mengapa bisa beda? Lalu disusul dengan pertanyaan selanjutnya, yaitu ‘saya harus pakai fatwa yang mana?’ Tak sedikit pula yang lantas mengaitkan beda status vaksin Covid-19 ini dengan peta dukungan politik NU pada Pilpres 2019 lalu, meski sebenarnya urusan beda hukum vaksin Covid-19 tidak senjelimet itu.
Bahkan, jika kita membaca konstruksi fatwa dari kedua lembaga, ada beberapa poin kesamaan landasan hukum yang menekankan pada aspek pentingnya menjaga keselamatan jiwa yaitu pentingnya ikhtiar untuk berobat ketika sakit. Sebagai contoh, dalam Fatwa Nomor 14 Tahun 2021 tentang Hukum Penggunaan Vaksin Covid-19 Produksi Astra Zeneca, pijakan argumentasi merujuk pada Alquran surat Al-Baqarah ayat 168, ihwal larangan menjerumuskan keselamatan diri dalam kebinasaan. Sementara, rujukan yang dikutip Bahtsul Masail Syuriyyah PWNU Jatim, yang menguatkan urgensi menjaga keselamatan jiwa, adalah tafsiran atas surat an-Nisa’ ayat ke-71 yang dinukilkan dari kitab Tafsir Marakh Labid, karangan Imam Nawawi al-Bantani.
Kesamaan rujukan istinbath adalah hadits Nabi Muhammad SAW, yang lantas dijadikan sebagai variabel penting dalam kaidah fiqih yaitu la dharara wila dhirara. Yang kurang lebih menekankan prinsip jangan sampe ada petaka dan celah untuk menjerumuskan ke celaka yang sama atau lainnya.
Lantas di manakah letak perbedaan yang memengaruhi pada hasil akhir dari kajian kedua lembaga? Perbedaannya adalah ....
Lantas di manakah letak perbedaan yang memengaruhi pada hasil akhir dari kajian kedua lembaga? Perbedaannya adalah pada istidlal (berargumentasi) menyikapi pemanfaatan atau intifa dengan barang najis, yang dalam hal ini adalah babi, untuk keperluan yang berdampak pada maslahat. Keperluan yang dimaksud dalam hal ini adalah tripsin babi sebagai media pembuat vaksin. Tripsin dari pankreas babi. Tripsin ini bukan bahan baku utama virus, melainkan sebuah bahan yang digunakan untuk memisahkan sel inang virus dengan micro carier virus.
Di sinilah letak krusial dari kontruksi fatwa. Dalam sejumlah fatwa MUI terkait dengan pemanfaatan unsur babi sebagai media virus ke vaksin, MUI lebih memilih pendapat yang mengatakan zat dari babi yang digunakan sebagai perantara tersebut tidak hilang status najisnya, sekalipun sudah melalui proses sterilisasi atau tathhir. Ini diperkuat pula dengan pendapat ulama dari Mazhab Syafii yang menyatakan intifa’ dengan babi dan turunannya tidak diperbolehkan. Ini sebagaimana pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfat al-Muhtaj. Pendapat sama juga disampaikan Imam An-Nawawi dalam Raudhat at-Thalibin.
Sementara itu, Bahtsul Masail PWNU Jatim menukil sejumlah pendapat ulama yang menyatakan najis dari unsur babi yang telah disucikan dan sudah berubah zatnya sama sekali dari semula, maka dia dianggap suci. Ini merupakan pendapat ulama Mazhab Hanafi dan Maliki, serta sebagian riwayat dari Imam Ahmad.
Menariknya, justru dalam rujukan dalam hasil kajian PWNU Jatim itu, yakni Al-Musu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Ensklopedi Fikih Kuwait), ditemukan perbedaan pandapat menyikapi kesucian dzat babi yang telah melalui proses sterilisasi itu. Mazhab Hanafi dan Maliki menyatakan suci dan telah berubah dzat, tetapi mazhab yang lain yaitu Mazhab Syafii dan Hanbali, ditemukan pendapat bahwa zat dari babi itu tetap najis dan tidak berubah, dengan demikian maka bisa dipahami mengapa alasan Imam An-Nawawi dan Al-Haitami di atas melarang pemanfaatan babi dan turunannya.
Dari sini sebenarnya....
Dari sini sebenarnya, menurut hemat saya, tak ada yang perlu dibentur-benturkan antara hasil kajian kedua lembaga itu. Masing-masing mempunyai argumentasi yang kuat dengan rujukan yang sama-sama kredibel. Dalam konteks ini, saya lebih melihatnya sebagai sebuah ikhtiar ijtihad kolektif. Meminjam istilah Syafi’i, masing-masing mempunyai potensi untuk benar, demikian juga sebaliknya, keduanya juga berpotensi salah. Itulah ijtihad.
Kita sebagai orang awam sebenarnya justru dimudahkan dengan adanya perbedaan pendapat itu. Seolah kita diberi opsi untuk ikut yang mana. Apalagi, kedua-duanya juga, pada level rekomendasi toh berkesimpulan serupa yaitu pentingnya vaksinasi Covid-19 di saat darurat pendemi seperti sekarang. MUI memang dalam fatwanya berpandangan AstraZeneca haram, tetapi boleh digunakan dalam kondisi darurat sebagaimana tertuang dalam lima catatan diperbolehkannya AstraZeneca. Selain darurat sebagaimana ditegaskan dalil-dalil syariat dan fakta di lapangan yang ditentukan otoritas dan para ahli.
Dan sampai detik ini, saya masih berbaik sangka dengan para ulama-ulama kita yang di MUI ataupun di PWNU. Mereka adalah orang pilihan yang dianugerahkan kepada kita, orang awam, untuk memilih jalan terbaik. Saya berkeyakinan pula, sampai detik ini, mereka akan bersepakat untuk kebaikan umat, bukan malah sebaliknya. Jadi ya tak perlu dibentur-benturkan.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id