Nafkah Anak yang Orang Tuanya Bercerai, Siapa Wajib Nafkahi?

Ayah masih mempunyai kewajiban nafkah meski sudah bercerai

Republika/Rakhmawaty La'lang
Ayah masih mempunyai kewajiban nafkah meski sudah bercerai. Pendaftaran gugatan cerai di pengadilan (ilustrasi).
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Seorang suami bercerai dengan istrinya dan meninggalkan anak-anak kandungnya yang masih kecil. Setelah bercerai, siapa yang wajib menafkahi anak-anak tersebut? Bagaimana tuntunan syariah terkait nafkah anak setelah orang tuanya bercerai?  

Baca Juga


Mengutip Harian Republika, berikut ini penjelasan dosen Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta, Ustadz Oni Sahroni:  

Nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah selama masa iddah, setelah selesai masa iddah, atau setelah si ibu menikah lagi. Nafkah tersebut mencakup seluruh kebutuhan anak sesuai kelaziman dan kemampuan ayah. 

Dalam praktiknya, musyawarah dengan mantan istri itu menjadi salah satu pilihan. Kesimpulan tersebut bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut. 

Pertama, nafkah anak menjadi tanggung jawab si ayah, baik selama masa iddah, setelah selesai masa iddah, ataupun setelah mantan istri menikah lagi. Seluruh ulama sepakat bahwa saat ia menalak istrinya dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil, biaya (nafkah) anak-anak tersebut menjadi kewajiban si ayah. Ketentuan itu baik si istri dalam kondisi berkecukupan maupun tidak.

Lebih lanjut Syekh 'Athiyah Shaqr menjelaskan, "Jika suami memiliki anak dari istri yang diceraikan dan istri yang mengasuhnya maka suami menyedia kan nafkah terhadap anaknya, baik anak-anak tersebut bersamanya atau pun tidak." (Maushuat al-Usrah, 6/353). 

Sebagaimana dijelaskan regulasi terkait, "Dalam hal terjadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibu nya sebagai pemegang hak pemeliha raannya. Sedangkan, biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya." (Kompilasi Hukum Islam, pasal 105).

Begitu pula dijelaskan dalam undang-undang, "Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: Baik-ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya." (UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Kedua, walaupun nafkah tersebut menjadi kewajiban ayah, besarannya didasarkan pada kelaziman dan kemampuan suami. Di antara kebutuhan asasi setiap anak adalah biaya tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya. Sebagaimana firman Allah SWT: 

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya ...." (QS At Talaq: 7).

Hal itu juga sesuai analogi besaran nafkah tersebut terhadap besaran nafkah istri, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW: 

وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ "Dan hak mereka (istri-istri) atas kalian adalah menafkahi mereka dan menyandangi mereka dengan cara-cara yang baik". (HR Muslim).

Ketiga, musyawarah pembagian tugas. Dalam praktiknya, musyawarah dengan mantan istri itu menjadi salah satu pilihan. Misalnya, ibu berfokus pada pembinaan anak tersebut, sedangkan seluruh biaya anak tersebut itu menjadi tanggung jawab ayah (mantan suami).

Begitu pula dengan besaran nafkahnya, musyawarah antara ayah dan ibu untuk menentukan kebutuhan finansial anak itu merupakan adab terbaik.

Keempat, saat ayah enggan memberikan nafkah anak, maka pengadilan berhak untuk mewajibkan kepadanya. Sebagaimana ditegaskan regulasi terkait, "Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri." (UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Hal itu juga senada dengan beberapa penjelasan ahli fikih yang menyiratkan kewajiban tersebut, yaitu penjelasan Ibnu Qudamah, "Kewajiban untuk menyusui anak itu kewajiban seorang ayah, dan ia tidak bisa memak sa si ibu untuk menyusuinya saat ia diceraikan. Kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam masalah ini." (Lihat Al Mughni, 11/430).

Begitu juga dengan penjelasan Ibnu Taimiyah, "Sesungguhnya upah menyusui itu menjadi hak si ibu sebagaimana kesepakatan para ulama." (Lihat Al Fatawa Al Kubra, 3/347). Wallahu a'lam.   

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler