Sertifikasi Halal di Australia, Diaspora RI Harus Aktif
Ini ada kepentingan komunitas, umat, bangsa dan negara.
REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Dengan ekspor produk pangan dari Australia ke Indonesia yang cukup besar dan terus meningkat, terdapat peluang besar bagi kalangan diaspora Indonesia di Australia untuk mengambil peran yang lebih aktif lagi, khususnya dalam bentuk lembaga sertifikasi halal. Demikian takeaway utama dari seminar “Potensi Pengembangan Lembaga Sertifikasi Halal oleh Diaspora Masyarakat Indonesia di Australia” yang diselenggarakan di Wisma Indonesia, Canberra, Australia, Sabtu (10/4) lalu.
Seminar tersebut terselenggara atas kerja sama Pengurus Wilayah Khusus Masyarakat Ekonomi Syariah (PWK MES) Australia, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Canberra, dan Australia-Indonesia Muslim Foundation in Australian Capital Territory (AIMFACT). Dihadiri oleh puluhan masyarakat Indonesia yang bermukim di ibukota Australia, seminar ini juga diikuti oleh peserta dari sejumlah negara secara online, serta menghadirkan dua narasumber secara online dari Melbourne dan Jakarta.
Ketua Umum MES Australia, Shaifurrokhman Mahfudz, dalam sambutannya menggarisbawahi pentingnya sinergi dan bahu-membantu membangun bangsa. Hal ini juga merupakan misi dari perkumpulan MES yang didirikan di Tanah Air lebih dari 20 tahun yang lalu.
“Nilai-nilai yang diusung ekonomi syariah adalah nilai-nilai universal dan humanisme, mengusung kebaikan bagi semesta alam. Semoga dengan seminar hari ini, kita dapat mengoptimalkan upaya umat dan bangsa untuk memberikan kemaslahatan sebanyak-banyaknya,” ungkap pimpinan pertama MES Australia yang baru disahkan pada tahun 2020 lalu seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Harapan senada disampaikan oleh Presiden AIMFACT, Marpudin Azis. Potensi ekonomi syariah dan industri halal yang demikian besar juga disinggung oleh Eva Nisa, dosen senior di Australian National University, yang didapuk memberikan ceramah tarhib Ramadhan dalam kesempatan tersebut.
Bertindak sebagai keynote speaker seminar ini adalah Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu, Y Kristiarto S Legowo. Pria yang menjabat Duta Besar di Canberra sejak 2017 ini menuturkan, datangnya bulan Ramadhan menjadi momentum yang tepat untuk mendapatkan pencerahan yang lebih mendalam mengenai ekonomi syariah dan sertifikasi halal.
“Ini saat yang tepat bagi kita untuk melakukan refleksi, apakah kita sudah melakukan sesuatu yang memberikan kemaslahatan. Beribadah pada bulan Ramadhan bukan berarti kita berhenti melakukan sesuatu yang berdampak besar serta berinovasi,” demikian Dubes Legowo.
Berbicara sebagai narasumber pertama adalah Neil Siregar, Chairman dari Global Australian Halal Certification (GAHC) yang berkantor di Sydney. Diungkapkan pria Indonesia yang telah lama menetap di Negeri Kanguru ini, GAHC merupakan salah satu dari banyak lembaga sertifikasi halal yang beroperasi resmi di Australia, namun masih menjadi satu-satunya lembaga yang diinisiasi dan dikelola oleh komunitas Indonesia di Australia.
Di awal paparannya, Neil menyampaikan prosedur sertifikasi halal yang berlaku di Australia yang dijalankan oleh lembaga-lembaga sertifikasi halal resmi, termasuk GAHC. Sertifikasi halal ini dilakukan untuk memberikan sertifikasi kehalalan produk yang akan dijual di pasar dalam negeri Australia maupun yang diekspor ke negara-negara lain.
“Terdapat tiga kategori sertifikasi halal, yaitu raw materials (bahan mentah, misalnya garam dan kopi), flavour (produk makanan, minuman, obat, dan kosmetik), dan slaughtering (penyembelihan daging),” papar Neil.
Untuk masing-masing kategori terdapat serangkaian prosedur yang diikuti, misalnya terkait halal assurance system, pengawasan, audit triwulanan, dan perpanjangan sertifikasi halal.
Selanjutnya Neil menyoroti peran Negeri Kanguru sebagai salah satu eksportir daging sapi terbesar di dunia, dan Indonesia sebagai negara tujuan terbesar kelima ekspor daging sapi Australia. Bagi Indonesia sendiri, Australia menjadi negara pemasok daging sapi terbesar dengan total nilai sekita 1,2 miliar dolar Australia pada tahun 2018-2019. Angka ini belum termasuk ekspor dalam bentuk sapi hidup.
Dengan demikian, ekspor daging sapi halal ke Indonesia menjadi potensi bisnis yang besar bagi Australia. “Sertifikasi halal menjadi kunci mengapa Indonesia mau mengimpor daging dari Australia. Hal ini sejalan dengan program Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH),” kata Neil.
Bisnis ekspor daging sapi halal yang sangat prospektif ini tentu memerlukan keberadaan lembaga sertifikasi halal yang kredibel di Australia. Hanya saja, sebagaimana dijelaskan Neil, peran diaspora Indonesia di Australia dalam sertifikasi halal ini dirasa masih kurang. “Dari tujuh lembaga yang mengeluarkan lembaga sertifikasi halal untuk daging sapi yang diekspor ke Indonesia, hanya satu yang dikelola oleh diaspora Indonesia, yaitu GAHC,” ungkapnya.
Tantangan lainnya adalah, sesuai perizinan yang ada, GAHC baru bisa menangani sertifikasi halal untuk abattoir (rumah penyembelihan hewan) di negara bagian New South Wales saja, sehingga tidak bisa meng-cover negara bagian Queensland dan Victoria yang produksi daging sapinya lebih besar daripada New South Wales. Hingga saat ini, belum ada lembaga sertifikasi halal yang dikelola diaspora Indonesia dan mencakup kedua negara bagian tersebut.
Di akhir paparannya, Neil menyampaikan harapannya agar komunitas diaspora Indonesia bisa berperan lebih besar lagi dalam ekosistem sertifikasi halal di Australia, khususnya terkait produk Australia yang diekspor ke Indonesia. Dengan peran yang lebih aktif, hasilnya akan kembali ke komunitas dan dapat dinikmati manfaatnya pula oleh anggota komunitas. “Perlu kerja sama dan peran yang lebih aktif lagi dari Pemerintah Indonesia maupun kalangan diaspora Indonesia di Australia. Dengan demikian, keuntungannya akan masuk ke warga kita juga,” tutupnya.
Selanjutnya, berbicara dari Jakarta, narasumber kedua adalah Mastuki, yang awal tahun ini diangkat sebagai Plt Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Kementerian Agama RI. Diungkapkan oleh Mastuki, Indonesia sangat berkepentingan untuk menjadi global hub ekonomi syariah. “Key point pertama menuju sasaran tersebut adalah pengembangan industri produk halal, di mana diperlukan koordinasi antar kementerian/lembaga yang berkaitan langsung dengan penguatan dan pengembangan industri halal,” jelasnya.
Mastuki juga menggarisbawahi ketentuan-ketentuan baru yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. “Penyediaan produk-produk yang terjamin kehalalannya menjadi sangat krusial, terlebih banyak bahan dan produk yang diimpor,” demikian Mastuki.
Kemudian berbicara mengenai mengenai potensi dan peran diaspora Indonesia yang tersebar di berbagai negara di dunia, Mastuki menyoroti beberapa area, di antaranya terkait penyelia (supervisor) halal bersertifikat, auditor halal profesional, dan lembaga pemeriksa halal. Khusus untuk area lembaga pemeriksa halal (Halal Certification Bodies atau HCB), selain didirikan oleh berbagai elemen masyarakat di Tanah Air, lembaga serupa juga dapat didirikan oleh diaspora Indonesia di luar negeri. “Karena kita melihat di luar negeri ini ada kebutuhan akan adanya lembaga sertifikasi halal, khususnya untuk produk-produk yang akan diekspor ke Indonesia,” terangnya.
Adapun peran diaspora Indonesia yang lain, sebagaimana diuraikan Mastuki, antara lain terkait kerja sama internasional dalam hal pengakuan sertifikat halal. Sebelumnya, sejumlah lembaga sertifikasi halal di luar negeri, termasuk Australia, telah menjalin kerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ke depan, sesuai ketentuan PP Nomor 39 Tahun 2021, skema tersebut akan diperbarui menjadi kerjasama dengan BPJPH. “Area lain yang bisa dijalankan oleh kalangan diaspora Indonesia adalah sebagai mediator antara BPJPH dan lembaga-lembaga penerbit sertifikat halal di negara setempat,” paparnya.
Dengan diselenggarakannya seminar ini, yang menjadi bagian dari agenda “Inter-State Islamic Ekonomi Roadshow” MES Australia, diharapkan akan terbangun keterlibatan yang lebih aktif lagi dari diaspora Indonesia dalam hal lembaga sertifikasi halal. “Karena di sini ada kepentingan komunitas, kepentingan umat, juga kepentingan bangsa dan negara. Jadi, sudah sepatutnya pihak-pihak terkait mengupayakan sekuat tenaga agar ke depan kita bisa melihat lebih banyak lagi lembaga-lembaga sertifikasi halal di Australia ini yang dikelola oleh diaspora Indonesia,” pungkas Shaifurrokhman.