Erdogan: PM Italia Sangat tak Sopan dan tidak Hormat
Draghi dinilai telah merusak hubungan antara Turki dan Italia.
REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menuduh Perdana Menteri Italia, Mario Draghi, berperilaku kurang ajar dan tidak hormat, Rabu (14/4). Pernyataan ini menjadi balasan setelah pemimpin Italia itu menyebut Erdogan sebagai sosok diktator.
"Pernyataan yang dibuat oleh perdana menteri Italia adalah sangat tidak sopan dan tidak hormat," kata Erdogan.
Dalam komentar publik pertama tentang masalah ini, Erdogan mengatakan pada sebuah acara di Ankara, bahwa Draghi telah merusak hubungan antara Turki dan Italia. Dia menegaskan bahwa Perdana Menteri Italia itu tidak memiliki legitimasi demokratis untuk membuat kritik semacam itu.
"Di saat kami berharap hubungan Turki-Italia bisa mencapai titik yang baik, dengan membuat pernyataan ini, pria bernama Draghi ini sayangnya telah merusak hubungan di antara kami," kata Presiden Turki ini.
Pekan lalu, Draghi mengatakan Erdogan telah mempermalukan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, selama kunjungannya ke Ankara. Dia menegaskan penting bersikap berterus terang terhadap sosok diktator.
"Agar Anda dapat membuat pernyataan seperti itu tentang Tayyip Erdogan, Anda harus terlebih dahulu mengetahui sejarah Anda sendiri. Namun, kami melihat bahwa Anda tidak demikian," kata Erdogan dengan merujuk pada diktator fasis Benito Mussolini.
Draghi merupakan mantan presiden Bank Sentral Eropa dengan menerima jabatan tanpa pemilihan. Dia direkrut oleh presiden Italia pada Februari untuk memimpin pemerintahan baru setelah koalisi sebelumnya runtuh di tengah pertikaian partai.
Von der Leyen dan Presiden Dewan Eropa, Charles Michel, bertemu Erdogan di Ankara minggu lalu dan menyampaikan keprihatinan Uni Eropa tentang catatan Turki tentang hak asasi manusia. Pada pertemuan tersebut, von der Leyen jelas terkejut ketika kedua pria itu duduk di dua kursi yang disiapkan, menyingkirkannya ke sofa berdekatan.
Hubungan antara sekutu NATO Turki dan Italia sebagian besar positif dalam beberapa tahun terakhir. Keduanya telah mengadakan pembicaraan tentang konflik di Libya, ketegangan di Mediterania timur, dan kerja sama pertahanan. Namun, hubungan yang lebih luas antara Turki dan UE telah lama tegang, terutama setelah kudeta yang gagal di Turki pada 2016 memicu tindakan keras yang menyebabkan penangkapan ribuan orang.