Vonis Bersalah Polisi Pembunuh George Floyd yang Belum Cukup

Vonis bersalah Chauvin tak tutup fakta ketidakadilan ras masih terjadi di Amerika.

EPA-EFE/ERIK S. LESSER
Masyarakat bereaksi di dekat mural George Floyd, Rabu (21/4), setelah mantan anggota kepolisian Minneapolis, Derek Chauvin, dinyatakan bersalah atas semua tuduhan terkait pembunuhan Floyd di Atlanta, Georgia.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Lintar Satria, Rizky Jaramaya, Indira Rezkisari

Pengadilan memutuskan polisi kulit putih tersangka pembunuhan laki-laki kulit hitam George Floyd yang memicu gelombang unjuk rasa anti-rasialisme, Derek Chauvin, bersalah atas tiga dakwaan. Putusan ini disambut gembira oleh banyak masyarakat Amerika Serikat (AS).

Kegembiraan ini meninggalkan kesadaran masih banyak yang perlu dilakukan untuk mengatasi rasisme dan brutalitas polisi. Rabu(21/4) keluarga Floyd bersorak gembira setelah hakim membacakan putusan juri.

Di sebuah pemukiman di; Houston tempat Floyd tumbuh, sekelompok orang berkumpul di dekat dinding mural Floyd untuk mendengarkan hakim membacakan putusan. Orang-orang yang melewat menekan klakson dan berteriak 'keadilan'.

Namun sorak kemenangan ini diwarnai kekhawatiran dan kesadaran keadilan bagi satu orang kulit hitam pada Rabu ini. Tidak cukup untuk memberikan keadilan bagi masyarakat kulit hitam lainnya.

"Kami lega tapi tidak merayakannya karena pembunuhan terus berlanjut," kata Pendeta Jesse Jackson yang datang ke Minneapolis untuk mendengar putusan pengadilan.

Pada bulan Mei tahun lalu Chauvin mencekik leher Floyd dengan menekan lehernya ke trotoar. Proses pengambilan putusan ini membutuhkan 10 jam.

Gedung pengadilan dijaga ketat dengan penghalang semen dan kawat baja. Pasukan Garda Nasional dan polisi berjaga-jaga di sekitar pengadilan. Sejumlah toko menutup pintu dan kaca dengan kayu, dilansir dari AP.

Mantan Presiden Barack Obama dan istrinya, Michelle, memuji vonis bersalah atas Chauvin. Keduanya namun menekankan masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mencapai keadilan.

"Keadilan sejati membutuhkan kita untuk sampai pada kondisi di mana faktanya adalah warga kulit hitam Amerika diperlakukan berbeda, setiap hari," ujar Obama, dalam pernyataannya, dikutip dari CNN. "Kita butuh mengenai bahwa jutaan teman kita, keluarga, dan sesama masyarakat hidup dalam ketakutan bahwa setiap berhadapan dengan aparat hukum, maka ini akan menjadi hari terakhir kita."

Obama mengatakan, keputusan bersalah atas Chauvin mungkin diperlukan sebagai langkah menuju perbaikan sistem. "Tapi perbaikan itu masih jauh dari cukup."

"Kita tidak bisa berhenti. Kita butuh menindaklanjuti reformasi yang konkret yang akan mengurangi dan akhirnya menghilangkan bias rasialisme di sistem hukum dan kriminal kita. Kita harus meningkatkan usaha untuk pengembangan kesempatan berusaha secara ekonomi bagi komunitas yang sudah terlalu lama dimarjinalisasi," ujar Obama.

Pascavonis tersebut Presiden Joe Biden akhirnya bersuara. Biden mengatakan, keputusan pengadilan adalah langkah besar menuju keadilan di Amerika. Ia menambahkan pula Amerika masih tetap harus bekerja keras untuk mencapai keadilan bagi semua.

"Itu adalah pembunuhan di siang bolong dan aksi tersebut membuka penutup jendela bagi semua dunia untuk melihat," kata Biden, tentang pembunuhan Floyd.

Wakil Presiden Kamala Harrus mengatakan meski hasil vonis melegakan, Amerika masih tetap menghadapi rasisme sistemik. Katanya, ketidakadilan ras di Amerika menghalangi negara tersebut mencapai potensi optimalnya.

"Hari ini kita merasa lega. Tapi, tetap tidak menghilangkan luka itu. Tindakan keadilan, tidak sama dengan mencapai keadilan yang setara. Putusan ini membawa kita selangkah lebih maju, dan faktanya kita masih punya banyak pekerjaan. Kita masih harus mereformasi sistem," ujar Harris. Ia pun memanggil Senat untuk segera mengesahkan George Floyd Justice in Policing Act, sebagai bagian dari upaya menghormati Floyd.








Baca Juga


Mantan petugas polisi Minneapolis Derek Chauvin terbukti bersalah telah membunuh George Floyd pada Mei tahun lalu. Chauvin mengakui perbuatannya dalam persidangan pada Selasa (20/4).

Chauvin dinyatakan bersalah atas tuduhan pembunuhan tingkat dua, pembunuhan tingkat tiga, dan pembunuhan tingkat dua secara tidak sengaja. Setelah menjalani sidang selama tiga pekan dan 10 jam bermusyawarah selama dua hari terakhir, 12 orang juri yang terdiri dari enam orang kulit putih dan enam orang kulit hitam atau multiras menyimpulkan bahwa Chauvin bersalah atas ketiga dakwaan.

Jaminan Chauvin segera dicabut dan dia dikawal keluar dari ruang sidang dengan tangan yang diborgol. Dia akan menghadapi hukuman selama delapan minggu dan bisa mendekam di penjara selama beberapa dekade. Massa yang berkumpul di Minneapolis bersorak saat putusan bersalah dibacakan.

Para massa yang berkumpul meluapkan kegembiraan dengan meneriakkan, "Sebut namanya! George Floyd!" dan "Bersalah atas ketiganya!".

Jaksa Steve Schleicher berpendapat bahwa Chauvin menggunakan kekerasan berlebihan saat menahan Floyd, setelah menangkapnya karena diduga menggunakan uang palsu senilai 20 dolar AS untuk membeli rokok. Penuntut berhasil meyakinkan juri bahwa Chauvin yang menekan lututnya di leher Floyd selama sembilan menit 29 detik, bertanggung jawab atas kematian Floyd.

"Anggota komunitas secara acak, semua bertemu dengan takdir pada satu saat untuk menyaksikan sesuatu, menyaksikan sembilan menit dan 29 detik penyalahgunaan wewenang yang mengejutkan, untuk menyaksikan seorang pria mati. Penggunaan kekerasan oleh Chauvin tidak masuk akal. Itu berlebihan. Itu sangat tidak proporsional. Ini bukan kepolisian. Ini pembunuhan," ujar Schleicher, dilansir Aljazirah.

Jaksa memanggil 38 saksi dan memutar video kematian Floyd pada 25 Mei 2020. Video tersebut diputar sebanyak puluhan kali selama 11 hari. Pengacara Chauvin, Eric Nelson gagal menanamkan keraguan yang masuk akal di benak para juri. Nelson sebelumnya menyatakan bahwa Floyd memiliki masalah dengan penggunaan narkoba dan masalah kesehatan. Nelson juga berargumen bahwa Chauvin bertindak sesuai dengan standar operasional kepolisian.

“Sepanjang uji coba ini, negara telah memfokuskan perhatian Anda pada sembilan menit dan 29 detik. Analisis yang tepat adalah mengambil sembilan menit dan 29 detik itu, dan memasukkannya ke dalam konteks totalitas keadaan yang akan diketahui oleh petugas polisi yang berakal sehat," kata Nelson dalam argumen penutupnya.

“Dalam kasus ini, totalitas keadaan yang diketahui oleh petugas polisi yang wajar pada saat yang tepat dari penggunaan kekuatan tersebut menunjukkan bahwa ini adalah penggunaan kekuatan yang sah, meskipun tidak semenarik mungkin. Dan ini adalah keraguan yang masuk akal," ujar Nelson menambahkan.

Chauvin kemungkinan akan mengajukan banding atas putusan pengadilan tersebut. Kematian Floyd memicu aksi protes keadilan rasial di seluruh Amerika Serikat dan dunia. Aksi protes itu tak jarang berujung pada kekerasan. Kematian Floyd memunculkan gerakan Black Lives Matter yang digaungkan di seluruh dunia.

Peristiwa penting dari protes kematian George Floyd - (Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler