Survei: Pengguna Medsos tak Ingin Bagi Data Keuangan
Pengguna medsos lebih suka menyimpan data keuangannya secara offline.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan berjudul “Making Sense of Our Place in the Digital Reputation Economy” oleh Kaspersky mengungkapkan beberapa jenis informasi pribadi yang dianggap kritikal bagi para pengguna media sosial di Asia Tenggara tidak ingin mereka bagikan atau simpan secara online.
Informasi keuangan, seperti detail kartu kredit atau debit, menempati urutan teratas dengan mayoritas (76 persen) dari 861 responden di wilayah tersebut mengungkapkan mereka ingin menjaga data keuangan dengan baik dari internet. Sudut pandang ini tertinggi di antara Baby Boomers (85 persen), diikuti oleh Gen X (81 persen) dan Millenials (75 persen). Gen Z, generasi termuda, mencatat persentase terendah dengan hanya 68 persen memilih untuk tidak menyimpan kredensial keuangan mereka secara online.
Hal ini tidak mengherankan karena beberapa penelitian mengutip bahwa populasi muda Asia Tenggara adalah faktor kunci dalam mendorong pembayaran elektronik, selain dari persentase signifikan penduduknya yang masih belum atau tidak memiliki rekening bank, penggunaan seluler yang tinggi dan dorongan pemerintah untuk mengadopsi pembayaran digital yang lebih besar.
Di platform jejaring sosial, masyarakat Asia Tenggara juga memilih untuk tidak membagikan informasi identitas pribadi mereka di media sosial (69 persen), informasi tentang keluarga dekat (64 persen), keberadaan mereka (geotag) (54 persen) dan pekerjaan (47 persen). Selain itu, responden dari Asia Tenggara hampir dengan suara bulat mengungkapkan khawatir jika data berharga ini akan dilihat atau dicuri oleh para pelaku kejahatan siber (73 persen) dan orang tidak dikenal secara online (61 persen).
Managing Director untuk Asia Pasifik di Kaspersky, Chris Connell mengatakan krisis kesehatan yang terjadi telah mempercepat upaya non-tunai di Asia Tenggara dengan signifikan, paralel dengan perubahan offline-ke-online dari sebagian besar aktivitas di kawasan ini sejak tahun lalu. Fenomena ini patut disambut dengan baik melihat para pengguna kini mulai mempertimbangkan data mana yang dapat mereka bagikan dan tidak secara online.
“Sebagian besar masyarakat ini juga menyadari bahwa para pelaku kejahatan siber dan orang asing seharusnya tidak pernah boleh mendapatkan informasi penting. Namun bagaimanapun, kesadaran online juga harus dapat dibuktikan dengan tindakan,” komentar Connell, melalui siaran pers yang diterima republika.co.id, Senin (3/5).
Sementara sebagian besar (71 persen) responden di Asia Tenggara menggunakan kata sandi untuk melindungi laptop atau ponsel mereka, hanya 5 dari 10 (54 persen) yang memeriksaa dan mengubah pengaturan privasi perangkat, aplikasi atau layanan yang digunakan dan hanya empat dari 10 (47 persen) menghindari penggunaan perangkat lunak dan aplikasi ilegal atau bajakan. Survei yang sama, yang dilakukan pada November 2020 lalu, juga mengungkapkan bahwa hanya setengah (53 persen) responden dari wilayah tersebut telah memasang perangkat lunak keamanan internet di perangkat mereka.
“Sebagai wilayah dengan pertumbuhan tercepat di Asia Pasifik dalam hal adopsi internet, kami melihat bahwa ini menjadi awal dari perjalanan digital Asia Tenggara. Dapat dimaklumi bahwa beberapa orang mungkin masih merasa takut dan tidak yakin ketika mereka menggunakan layanan seperti pembayaran digital karena relatif baru, dan ya, tentu segala jenis perubahan ada risikonya. Inilah mengapa sangat penting untuk mewujudkan kesadaran dalam bentuk tindakan,” tambah Connell.