Cerita dari Zona Merah Covid-19 di Kamboja

Banyak rumah sakit di Kamboja yang mengalami kelebihan kapasitas akibat pandemi

AP/Heng Sinith
Anggota staf membagikan formulir kepada penduduk desa sebelum dosis kedua mereka di lokasi vaksin COVID-19 Sinopharm, di luar Phnom Penh, Kamboja, Rabu, 28 April 2021.
Rep: Puti Almas Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH - Somal Ratanak, seorang pria asal Kamboja yang tinggal di Ibu Kota Phnom Penh telah menghabiskan seluruh gajinya sesaat setelah aturan karantina wilayah (lockdown) diberlakukan pada 12 April lalu. Ia tidak dapat meninggalkan rumahnya, termasuk untuk pergi bekerja sebagai kasir, profesi yang dijalaninya selama ini.

Saat itu, lingkungan tempat tinggalnya di Phnom Penh dinyatakan sebagai zona merah akibat angka kasus infeksi Covid-19 yang tinggi. Somal mengungkapkan bagaimana dirinya berjuang memikirkan makanan sehari-hari yang bisa ia dapatkan.

Awal bulan ini, Somal mendapatkan paket bantuan dari pemerintah berupa beras, mi, kecap, dan ikan kalene (sarden). Namun, pemberian ini tidak rutin, membuat ia merasa tidak dapat terus mengandalkannya.

Dilansir BBC, tak hanya Somal, aturan lockdown yang lebih ketat di Kamboja dengan tujuan mengendalikan wabah Covid-19 pada akhir Februari telah menyebabkan puluhan ribu orang terperangkap di rumah mereka. Masalah kerawanan pangan kemudian menjadi satu hal nyata.

Meski Kamboja sempat dipuji karena memberlakukan aturan pembatasan yang ketat dan jumlah kasus Covid-19 yang relatif rendah pada 2020, saat ini kondisi di negara itu tidak demikian. Ada sekitar 400 kasus terbaru setiap harinya dan secara keseluruhan tercatat ada 20.000 kasus dan 131 kematian.

Banyak rumah sakit di Kamboja yang mengalami kelebihan kapasitas. Kondisi ini memaksa pihak berwenang untuk membuat rumah sakit sementara di stadion dan pusat perawatan lainnya. Beberapa orang yang membutuhkan perhatian medis juga diminta untuk melakukan karantina di rumah.

Sebagai cara untuk menahan penyebaran, pemerintah telah memberlakukan pembatasan mobilitas yang semakin ketat seperti penguncian distrik dan zonasi berkode warna.

Baca Juga


Diperkirakan, ada 120.000 orang yang tinggal di zona merah di Phnom Penh. Di wilayah yang dianggap sebagai hotspot Covid-19 ini, dilakukan penutupan, lengkap dengan barikade dan pengawasan tentara.

Phnom Penh saat ini memiliki empat distrik dengan bagian individu yang masih memberlakukan lockdown, yang dijadwalkan hingga 19 Mei mendatang. Warga di zona merah Kamboja terpaksa tetap tinggal di rumah mereka di bawah ancaman penangkapan, denda, atau bahkan kekerasan. Situasi tersebut mendorong organisasi bantuan untuk menyatakan keprihatinan atas pelanggaran hak asasi manusia.

Terlebih, ada aturan yang disebut berbeda-beda dari petugas keamanan dan tindakan tidak konsisten membuat warga tidak memiliki pemahaman yang jelas tentang apa yang harus dilakukan. Beberapa orang di Kamboja dilaporkan dapat pergi untuk mencari makanan dan perawatan kesehatan darurat, sementara yang lainnya terjebak di dalam tempat tinggal masing-masing.

Kementerian Perdagangan Kamboja telah mengirim bus yang berlipat ganda sebagai toko makanan keliling di beberapa lingkungan untuk menebus penutupan massal toko-toko kecil dan pasar. Namun, beberapa lainnya hampir tidak mampu membeli kebutuhan pokok.

Penduduk yang tinggal di zona merah Kamboja dilaporkan melihat harga berbagai barang naik sebanyak 20 persen tapi di saat bersamaan pendapatan mereka turun. Seluruh LSM di negara itu juga juga telah dilarang memasuki zona merah yang membuatnya semakin sulit untuk menjangkau mereka yang membutuhkan.

Wakil Direktur Regional untuk Kampanye Amnesty International Ming Yu Hah mengatakan tanggapan Pemerintah Kamboja sejauh ini ‘serampangan’. Sebagai contoh, paket bantuan pemerintah misalnya, bersifat sporadis dan hanya menjangkau sebagian kecil dari orang-orang yang berada di zona merah.

Sebaliknya, pemerintah memutuskan untuk mengirimkan bahan makanan. Akan tetapi para kritikus mengatakan paket tersebut bernilai jauh lebih rendah daripada pembayaran bantuan sebesar 75 dolar AS. Lebih dari 20.000 keluarga di Kamboja telah menerima bantuan, tetapi kebutuhan individu di negara itu masih sangat banyak.

"Pemerintah harus memastikan akses ke makanan yang memadai dan bergizi, perawatan kesehatan, dan bantuan sosial dasar bagi warga Kamboja yang paling berisiko selama masa kritis ini," ujar direktur Human Rights Group Licadho Naly Pilorge.

Chhai Boramey, seorang yang bekerja di dealer kasino dan sekarang terjebak di zona merah mengatakan rumah tangganya adalah salah satu yang belum menerima bantuan pemerintah. Ia menyebut tiga dari anggota keluarganya menganggur dan di saat bersama harus membayar penuh sewa rumah, listrik, dan pinjaman.

“Kami juga tidak mampu membayar kenaikan harga makanan,” jelas Boramey.

Amnesty International serta lainnya yang melayani di sektor nirlaba telah menerima laporan bahwa penduduk yang berbicara melalui media sosial atau melalui protes diperingatkan bahwa mereka dapat ditolak bantuannya. Namun, tak sedikit yang khawatir bahwa tanggapan bantuan lambat, di mana kondisi ini telah membuat mereka lebih kelaparan daripada ketakutan.

"Saya juga takut untuk berbicara. Namun karena saya tidak punya makanan, saya harus protes,” kata Boramey.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler