Iron Dome, Sang Penjaga Nyawa Sipil Israel

Satu rudal Iron Dome Israel yang halau rudal Palestina habiskan dana Rp 572 juta.

EPA-EFE/ABIR SULTAN
Sistem pertahanan Israel, Iron Dome, sedang bekerja melawan rudal yang ditembakkan dari Jalur Gaza, di Kota Ashkelon, Israel, 11 Mei 2021. Lembaga Pertahanan Israel mengatakan sudah menembak lebih dari 100 target Hamas di Jalur Gaza.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari, Andrian Saputra, Rizky Jaramaya

Selama hampir 10 hari lamanya, ribuan rudal balasan sudah ditembakkan ke arah Israel. Dan, tiap hari pula rudal Palestina ditantang oleh rudal dari sistem pertahanan Israel bernama Iron Dome.

Dalam cicitan Twitter Lembaga Pertahanan Israel, Selasa (18/5), dipaparkan sistem pertahanan udara Israel Iron Dome memiliki satu tujuan. "Untuk menahan laju rudal di udara sebelum bisa jatuh dan membunuh warga sipil Israel. Kami tidak akan meminta maaf karena berupaya menyelamatkan nyawa," sebut Lembaga Pertahanan Israel dalam cicitannya, dikutip dari CNN, Rabu (19/5).

Militer Israel mengatakan rudal Iron Dome bekerja menahan 90 persen dari roket yang ditargetkan lawannya. Tapi Iron Dome tidak bisa mengejar setiap roket. Faktanya, menurut data Lembaga Pertahanan Israel, sistem Iron Dome hanya merusak kurang dari separuh rudal yang ditembakkan kelompok Hamas.

Akhir Ahad lalu, Angkatan Udara Israel mengatakan sekitar 3.100 rudal sudah ditembakkan dari Gaza sejak awal konflik, yaitu lebih dari sepekan lalu. Sebanyak 450 rudal jatuh dan gagal masuk ke wilayah Israel. Sisanya, dari 2.650 rudal sekitar 1.210 di antaranya berhasil dicegat masuk Israel.

Iron Dome bekerja dengan menentukan rudal mana yang diperkirakan memiliki ancaman besar bagi kawasan urban dan infrastruktur. Ketika rudal yang ditembakkan jumlahnya masif, Iron Dome akan menghiraukan rudal yang menuju kawasan tidak padat penduduk atau mengarah ke laut.

Lembaga Pertahanan Israel mendata ada sekitar 13 ribu hingga 14 ribu rudal di Gaza sebelum eskalasi meningkat. Sehingga upaya Iron Dome memilih target rudal mana yang akan dihalau secara selektif sangat penting.

Iron Dome Israel agaknya bisa disebut berhasil. Karena dalam konflik Palestina-Israel saat ini, ribuan rudal dari Gaza baru bertanggung jawab atas 12 kematian di sisi Israel. Sedangkan data mencatat sudah lebih dari 200 nyawa gugur di sisi Palestina.

Iron Dome yang dikembangkan perusahaan Israel, Rafael Advanced Defense Systems, bersama perusahaan Amerika, Raytheon, mulai beroperasi 10 tahun lalu. Iron Dome dilengkapi radar untuk mendeteksi roket, sistem komando yang menganalisa data yang diberikan radar, dan rudal yang lalu bisa diarahkan untuk menangkal rudal lawan. Setiap rudal Israel yang ditembakkan dari Iron Dome bernilai 40 ribu dolar AS atau sekitar Rp 572 juta. Sehingga upaya melawan 1.200 rudal yang menuju Israel adalah langkah yang sangat mahal.

Kebanyakan sistem pertahanan udara di dunia dirancang untuk melawan rudal balistik. Iron Dome menargetkan rudal yang mengarah tak tentu yang melaju di ketinggian rendah. Sistem Iron Dome efektif hingga jangkauan 70 km. Di saat yang sama militer Israel mencoba menemukan dan menghancurkan penghulu rudal di dalam Gaza termasuk pabrik rudal yang menciptakannya.

Iron Dome sudah berulang kali diperbarui untuk bisa menghalau ancaman, termasuk dari mortar yang bisa bertahan di udara lebih lama dari roket. Iron Dome juga kini bisa menghalau drone.

Analis militer Israel menganggap Iron Dome sebagai bagian dari kesuksesan melindungi warga sipilnya. Tapi mereka melihat Iron Dome sebagai satu upaya saja. Israel meyakini memerlukan strategi militer yang luas untuk melindungi dirinya.

Aktivis asal Palestina yang kini menjadi pengajar di salah satu kampus di Indonesia, Ahmed Mohammed Omar al Madani, mengatakan tekanan dan kekerasan yang ditunjukan Israel telah mempersatukan warga Palestina dari berbagai penjuru. Terlebih orang-orang Palestina yang berada di Yerusalem, Tepi Barat dan jalur Gaza. Menurut Omar serangan Hamas yang meluncurkan roket ke wilayah Israel adalah respons sebagai pembelaan terhadap orang-orang Palestina yang diserang Israel karena melawan ketika hak-hak mereka dirampas.

Pada sisi lain, menurut Omar banyak anak-anak yang menjadi korban karena tak bisa menyelamatkan diri ketika rudal menghujani kota Gaza. Serangan Israel kali ini yang diklaim menargetkan pasukan Hamas, menurut Omar berbeda dengan serangan sebelumnya. Sebab tanpa adanya peringatan kepada warga sipil untuk meninggalkan gedung atau wilayah sekitar.

Omar melihat banyak negara telah bereaksi atas banyaknya korban warga Palestina yang berjatuhan. Berkali-kali PBB pun menggelar pertemuan membahas penyelesaian konflik Palestina-Israel. Tak terkecuali Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-bangsa (UNICEF) yang menyoroti semakin bertambahnya angka kematian anak Palestina akibat serangan Israel.

Namun menurutnya itu semua masih belum menemui hasil karena besar dan kuatnya kendali Amerika Serikat pada dunia Internasional. Sementara itu Omar juga menilai pertemuan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) beberapa waktu lalu dinilai belum cukup efektif dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina.

"Tidak, tidak efektif. Karena Anda bisa melihat apa yang terjadi di lapangan. Anda dapat melihat situasi sebenarnya di Gaza, di Tepi Barat dan Yerusalem. Yang benar-benar menyerang adalah alat berat. Ya, mereka (OKI) membantu kami, mereka mendukung Palestina secara finansial, medis, makanan, air. Tapi bisakah menekan Israel, menghentikannya di Gaza? mereka tidak bisa. Mohon maaf saya katakan, mereka tidak bisa," katanya, kepada Republika.

Baca Juga


Sistem pertahanan udara Iron Dome Israel mencegat roket di dekat kota Ashkelon, Israel, Selasa (18/5). - (EPA-EFE/ABIR SULTAN)





Pengamat Negara-negara Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Abdul Muta'ali memaparkan serangan Israel ke Gaza yang banyak mengarah ke warga sipil dan fasilitas umum adalah strategi Israel untuk memancing para pejuang Hamas keluar. Karena itu menurutnya ratusan rakyat Palestina yang tewas lebih banyak didominasi anak-anak dan perempuan.

"Jelas yang dilakukan Israel adalah sebuah kejahatan perang. walaupun perang ini adalah perang yang sangat tidak berimbang. sebuah negara dengan teknologi militer yang sangat maju melawan satu bangsa Palestina yang belum merdeka, itu dilakukan Israel dengan membunuh masyarakat sipil. Artinya, Israel sudah pada level yang sangat paranoid," kata Abdul kepada Republika.

Abdul mengatakan dunia internasional harus tahu secara benar bahwa serangan Israel kepada Palestina adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Abdul mengatakan warga Palestina terisolasi akibat penguncian wilayah oleh Israel sehingga sulit menerima bantuan kemanusiaan.

Konflik yang tak kunjung berakhir, mendorong Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mendesak Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan pejabat tinggi Israel lainnya untuk menghentikan pemboman Gaza. Hal ini diungkapkan oleh seseorang yang mengetahui diskusi tersebut pada Selasa (18/5), ketika ada tekanan terhadap Biden untuk bergerak lebih kuat dalam menghentikan pertempuran di Gaza.

Menurut pejabat yang tidak mau disebutkan namanya, pejabat tinggi pemerintahan Biden menggarisbawahi kepada Israel bahwa waktu tidak berpihak pada mereka, terkait keberatan internasional terhadap sembilan hari serangan udara Israel dan roket dari kelompok Hamas. AS memiliki kepentingan untuk menghentikan operasi itu dengan segera.

Pejabat itu mengatakan, Presiden Biden telah melakukan panggilan telepon kepada Netanyahu pada Senin (17/5). Dalam rilis yang diungkapkan oleh Gedung Putih, Biden menyatakan dukungan untuk gencatan senjata di Gaza. Namun Gedung Putih tidak mengungkapkan bahwa AS mendesak Israel untuk mengakhiri pertempuran.

Duta Besar Palestina untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Riyad Mansour, pada Selasa menantang pemerintah Biden untuk menunjukkan hasil upaya diplomasi diam-diam, dalam menghentikan pertempuran Israel-Hamas. Mansour menuding AS telah menghalangi Dewan Keamanan PBB untuk bertindak dalam mengatasi kekerasan dan pemboman di Gaza.

"Jika pemerintahan Biden dapat mengerahkan semua tekanan mereka untuk mengakhiri agresi terhadap rakyat kami, tidak ada yang akan menghalangi mereka," kata Mansour.

Gedung Putih sejauh ini menolak seruan untuk meningkatkan tekanan publik terhadap Netanyahu. Menurut seseorang yang akrab dengan diskusi pemerintah, Gedung Putih telah membuat perhitungan bahwa Israel tidak akan menanggapi resolusi internasional atau tuntutan publik oleh AS. Sumber itu mengatakan bahwa pengaruh terbesar adalah tekanan di balik layar.

Sumber itu menambahkan, Israel telah memberi isyarat bahwa ada kemungkinan kampanye militer mereka dapat berakhir dalam hitungan hari. Peningkatan eskalasi antara Israel dan Palestina menguji keengganan Presiden Biden untuk secara terbuka mengkritik Israel, dan tekad pemerintahannya untuk tidak menghentikan fokus kebijakan luar negerinya di titik-titik panas Timur Tengah, dilansir dari AP.



BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler