Kisah Rabi Pencari Sumbangan Yahudi Miskin di Batavia
Israel Cohen, Rabi Pencari Sumbangan Yahudi Gembel di Batavia
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Selepas siang menjelang Ashar, saya berbincang melalui telpon dengan jurnalis senior mantan wartawan Republika, Teguh Setiawan. Kami berdua berbicara mengenai kedigdayaan Israel yang bisa berdiri tegak di tengah ancaman seteru yang ada di sekelilingnya, yakni berbagai negara Arab.
''Israel memang keren. Bahkan ada teman saya dari agama tertentu berbicara panjang lebar mengenai kemajuan Israel kala berkunjung ke Yerusalem melalui Mesir. Menurut dia, ketika masih berada di Mesir terasa banget bahwa negara itu tidak makmur. Tapi ketika memasuki wilayah Israel beda berbalikan. Wilayah yang masih sesama gurun pasir itu terlihat makmur sekali,'' ujarnya.
Mendengar perkataan sang teman, Teguh lalu berkata dan bertanya apakah dia tahu sosok orang Yahudi di wilayah yang disebut Israel seratus tahun silam.
''Perlu kamu tahu ya, sertaus tahun lalu -- sekitar tahun 1920-an, kondisi orang Yahudi di Yerusalem itu miskin dan gembel. Orang Israel yang kaya itu datang kemudian yakni dari para Yahudi pendatang serta pendukung zionime dari Eropa. Merekalah yang kaya, sedangkan penduduk Yahudi asli yang tinggal di Yerusalem hidup layaknya gembel. Kebanyakan hidup dengan meminta-minta sumbangan,'' kata Teguh.
Menurut dia, bila hari ini orang Yahudi Israel kaya dan makmur, sedangkan seabad silam hidup 'keblangsak' merupakan fenomena biasa saja. "Sebuah bangsa yang dalam seratus tahun berubah miskin menjadi kaya atau sebaliknya, itu soal yang bisa."
''Jadi itu hukum dunia, yang tak abadi. Sejarah banyak yang menceritakan nasib sebuah bangsa yang berbolak-balik dari ekstrim ke ekstrim,'' tegasnya.
Terkait soal itu, dia lalu menyaranlan agar membuka arsip tulisannya di Republika yang berkisah seorang rabi Yahudi yang berkeliling dunia untuk meminta sumbangan bagi para orang Yahudi miskin yang hidup di Palestina kala itu. Peristiwa itu terjada pada tahun 1920-an. Si rabi itu namanya Israel Cohen.
"Dalam rangka mencari sumbangan untuk gembel Yahudi di Palestina, kala itu dalam perjalannya dia juga singgah di Batavia dan Surabaya, sebelum melanjutkan perjalannya menceri sedekah ke Australia. Kamu harus tahu itu,'' tegasnya.
Dan ketika dicari arsip tulisan Teguh Setiawan di Republika ternyata dia sudah menulis sepek terjang sosok rabi Israel Cohen kala berada di Batavia dan Surabaya untuk cari sumbangan.
Teguh menulis begini selengkapnya:
Ketika Israel Cohen—penyandang dana gerakan Zionist—tiba di Batavia pada 1921, orang-orang Yahudi di Hindia-Belanda bergelimang kemewahan, dengan koleksi jongos, babu, dan tukang kebun (semuanya inlander) sekian banyak.
Shoshana Lehrer, yang meninggalkan Indonesia setengah abad lalu, menulis pendapatan per kapita orang Yahudi di Hindia-Belanda kala itu mencapai 4.017 gulden. Ini jelas tak seimbang bila dibandingkan dengan pendapatan kaum pribumi. Jaraknya seperti bumi dan langit. Pendapatan per kapita inlander hanya 78 gulden per tahun.
Dr Eli Dwek, Yahudi Azhkenazim asal Surabaya, mengenang kemewahan hidup di Hindia-Belanda dengan satu kalimat, “Saat masih kanak-kanak, ayah memberikan saya mobil sport.”
Cohen datang ke Hindia-Belanda untuk mencari dana bagi gerakan Zionist, sekaligus menularkan gagasan kembali ke tanah yang dijanjikan kepada orang-orang Yahudi. Di Batavia, ia bertemu masyarakat Yahudi di Theosopical Hall. Di Semarang dan Surabaya, Cohen berbicara di loji Freemason.
Saat bertemu Yahudi yang beristri penduduk lokal, Cohen secara terbuka mengutarakan kekhawatiranna. Menurutnya, kelak seluruh Yahudi di Hindia-Belanda melebur total dengan masyarakat besar dan akan kehilangan keyahudiaannya.
Namun, kemudian dia bisa berlega hati ketika menemukan cabang Keren Hayesod, organisasi Yahudi internasional yang bergerak mengumpulkan dana bagi orang-orang Yahudi miskin di Palestina.
Keren Heyesod hadir di Hindia-Belanda pada 1920, dan memiliki cabang di Batavia, Semarang, Surabaya, Malang, Bandung, Medan, Padang, dan Yogyakarta.
Di Surabaya pula Cohen melihat keragaman asal-usul Yahudi, tidak hanya dari Belanda dan Irak, tapi banyak yang berasal dari Rusia, Rumania, Austria. Mereka mengembangkan identitas Yahudi Hindia-Belanda, atau Indies Jews, dengan segala atribut yang membedakan dari Yahudi lainnya.
Keterangan foto: Upacara bar mitzvah di Surabaya sebelum datangnya masa perang kemerdekaan di rumah keluarga Mussry. Acara ini dihadiri oleh orang-orang Yahudi dari Eropa dan Baghdad.
------------
Pada akhir kunjungan lima hari ke Hindia-Belanda, Cohen memperkirakan hanya ada sekitar 2.000 Yahudi di Nusantara. Rob Cassuto membantah klaim ini. Menurutnya, jumlah riil Yahudi di Hindia-Belanda jauh lebih tinggi, tapi tidak teridentifikasi.
Argumentasi Cassuto diperkuat pengakuan beberapa anggota keluarganya yang secara sadar menyembunyikan identias keyahudian karena tidak ingin berbeda dari pemukim kulit putih lainnya. Jeffrey Hadler punya pendapat lain. Menurutnya, ada diskriminasi tak kentara terhadap Yahudi yang diterapkan pemerintah Hindia-Belanda.
Misal, tidak ada Yahudi menempati posisi penting di Nederlandse Handelmaatschappij sampai 1936. Javasche Bank, Nederlandse Indische Handelsbank, dan perusahaan-perusahaan pelayaran (scheepvaartmatschappijen) baru membuka diri terhadap Yahudi tahun 1925.
Keterangan foto: Jacob Saphir, orang yahudi yang singgah ke Batavia dalam perjalanannya ke Australia 1861. Ia mencatat keberadaan orang-orang Yahudi di Batavia. Repro buku Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda (1861-1942). (sumber foto:Alinea.id)
Setelah Cohen pulang, dua organisasi Yahudi; Association for Jewish Interest in Dutch East Indies dan World Zionist Conference (WZC) terbentuk di Bandung, Yogyakarta, Batavia, Surabaya, Semarang, Padang, Medan, dan Malang.
Kemunculan kedua organisasi itu membawa sedikit pengaruh bagi penemuan kembali jati diri keyahudian dengan sistem kepercayaannya.
Di Bandung, misalnya, muncul perayaan Hanukkah. Di Batavia dan Semarang, orang-orang Yahudi lebih suka terlibat dalam pertemuan Freemason dan kelompok-kelompok Theosofi. Menariknya, justru di loji Masonic hari besar Hanukkah dan Yom Kippur dirayakan.
Sedikit Yahudi lainnya terlibat dalam klub drama yang disebut Soos.
Cassuto memperkirakan orang-orang Yahudi menjadikan loji Freemason untuk membangun jaringan, dan arena diskusi teologis yang tidak mempertentangkan agama. Mereka tidak pernah benar-benar menjadi Masonic, tapi merindukan suasana religius.
Di Padang, pengaruh kedatangan Cohen mulai muncul enam tahun kemudian. Sebuah majalah bulanan bernama Erets Israel, ditulis dalam bahasa Ibrani, muncul pada 1926 dan terbit secara teratur.
Majalah tersebut dikonsumsi keluarga Yahudi di Padang, dan didistribusikan ke Semarang, Bandung, dan Batavia, namun diberangus Jepang pada 1942.
Sepuluh tahun setelah kedatangan Cohen, Pemerintah Hindia-Belanda menggelar sensus. Berbeda dengan sebelumnya, sensus kali ini mencantumkan kata Yahudi dan asal dalam kolom white (kulit putih) non-Belanda.
Hasilnya, 1.095 secara sadar mengaku sebagai Yahudi, dengan berbagai asal negara; Belanda, Jerman, Polandia, Irak, Austria, dan Cina
Dari jumlah itu, 85 persen bermukim di kota-kota di Jawa; Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Malang. Sebelas persen bermukim di Sumatra; Medan dan Padang, dan sisanya—kurang dari empat persen—mendiami pulau-pulau lain di Hindia-Belanda.
Cassuto memperkirakan,jumlah Yahudi di Indonesia meningkat hampir tiga kali lipat beberapa tahun sebelum Adolf Hitler menginvasi Eropa.
Sentimen antisemit yang merebak di Jerman, Polandia, Belanda, dan negara-negara Eropa Timur lainnya, memaksa orang-orang Yahudi kaya melarikan diri. Hindia-Belanda menjadi salah satu destinasinya.
Jadi jangan gampang takjub sama dunia kan? sebab, kalau dibuka wajah aslinya, dunia tak ubah seperti lagu Achmad Albar yang syairnya ditulis Taufiq Ismail: Dunia panggung sandiwara!
Maka kalau kaya, ingatlah sesama dan orang miskin. Sebab, bisa saja hari ini kaya esok hari bangkrut total hingga perlu bantuan seperti nasib orang Yahudi di Palestina pada tahun 1920-an itu.
Dan ingat kalau kaya --apalagi juga berkuasa -- jangan sewenang-wenang. Sebab, kualitas seseorang itu tampak bukan saat ia tak berpunya dan jelata!