Gencatan Senjata Israel-Palestina Bukan Tanda Damai Abadi
Pakar sebut gencatan senjata sekadar menghentikan perang sementara
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA CITY — Gencatan senjata antara Israel dan Hamas, faksi politik Palestina di Jalur Gaza, disebut oleh sejumlah pakar bukanlah tanda perdamaian abadi. Dilansir 9News, hal ini kemungkinan hanya sekadar menghentikan perang sementara dan dapat kembali meledak kapan sana.
Selama 11 hari pertempuran di Jalur Gaza, Israel melancarkan ratusan serangan udara atas apa yang disebut sebagai upaya menargetkan pejuang Hamas. Sementara itu, Hamas menembakkan sekitar 4.000 roket ke arah Israel.
Di Jalur Gaza, banyak warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak harus kehilangan nyawa akibat serangan udara Israel. Gencatan senjata tercapai setelah mediator dari Mesir mengadakan pembicaraan untuk memperkuat penghentian kekerasan antara dua pihak yang berkonflik.
Salah satu pakar Timur Tengah dari Australia National University, Alam Saleh, mengatakan diperlukan upaya internasional yang jauh lebih terkoordinasi oleh pemerintah. Badan-badan dan organisasi yang lebih luas diperlukan untuk menyelesaikan konflik Israel - Palestina, yang telah berlangsung seabad lamanya.
Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz mengatakan pihaknya akan memberi pukulan yang menghukum Hamas dan tokoh-tokoh utama kelompok ini tetap menjadi sasaran. Ada ekspektasi luas bahwa gencatan senjata akan berlaku untuk saat ini, tetapi putaran pertempuran lain di beberapa titik tampaknya tak terelakkan.
"Ini tidak membahas akar konflik berusia seabad ini, yang membutuhkan upaya yang lebih komprehensif dan lebih serius untuk membawa perdamaian abadi,” ujar Saleh.
Saleh meminta Amerika Serikat (AS) yang menjadi sekutu Israel untuk lebih aktif terlibat dalam menangani konflik. Komentar ini berlawanan dengan pernyataan Presiden Joe Biden yang memuji gencatan senjata sebagai ‘kesempatan’ untuk membangun perdamaian abadi.
Biden memuji Pemerintah Mesir karena memainkan peran penting dalam menengahi gencatan senjata. Ia juga mengatakan bersama Gedung Putih sangat terlibat dalam upaya untuk menghentikan pertumpahan darah antara Palestina dan Israel.
Namun masalah mendasar antara kedua pugak tetap tidak terselesaikan. Termasuk dalam blokade perbatasan Israel - Mesir, yang sekarang memasuki tahun ke-14, yang membuat lebih dari dua juta penduduk Gaza mengalami kesulitan, hingga akhirnya membuat sikap penolakan Hamas untuk melucuti senjata.
Saleh meminta AS untuk berbuat lebih banyak dengan mengatakan harapan dari Biden tidak cukup. Ia menegaskan dibutuhkan lebih banyak tindakan. "Tanpa tekanan internasional di kedua belah pihak, kami tidak akan dapat melihat lebih banyak kompromi antara Israel dan Palestina," jelas Saleh.
Saleh mencatat peningkatan kesadaran internasional akan berdampak bagi kedua belah pihak dalam memulai konflik lebih lanjut. Pecahnya kekerasan terbaru antara Israel dan Palestina, pertama kali dimulai di Yerusalem Timur pada bulan lalu. Saat itu, warga Palestina bentrok dengan polisi Israel sebagai tanggapan atas ancaman penggusuran puluhan keluarga Palestina untuk pemukim Yahudi.
Situasi semakin memburuk saat polisi Israel menyerbu Masjid Al-Aqsha di Kota Tua Yerusalem, yang merupakan situs suci ketiga bagi Umat Islam. Ratusan jamaah yang kebanyakan adalah warga Palestina terluka dalam kejadian ini.
Hamas kemudian meluncurkan roket ke Israel sebagai langkah balasan. Israel kemudian meluncurkan serangan udara ke Jalur Gaza sebagai tanggapan atas serangan tersebut.