Perempuan Inggris Meninggal Usai Disuntik Vaksin AstraZeneca
Kasus strok dan pembekuan darah akibat vaksinasi sangat jarang terjadi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang perempuan berusia sekitar 30 tahun di Inggris meninggal karena strok setelah mendapat vaksin Covid-19 yang dikembangkan AstraZeneca. Dua orang lainnya dengan usia yang sama juga mengalami komplikasi tersebut, namun mereka dilaporkan selamat.
Ketiga kasus tersebut merupakan data awal di Inggris. Dokter yang berbasis di London, Inggris mengungkapkan kelemahan wajah, lengan atau kaki, sakit kepala atau gangguan bicara merupakan tanda-tanda yang harus diwaspadai usai menjalani suntikan vaksin AstraZeneca.
Tampaknya, strok pada ketiganya terkait dengan kondisi pembekuan darah yang sangat langka yang sebelumnya telah dikaitkan dengan suntikan vaksin AstraZeneca. Kasusnya rata-rata melanda orang dengan usia yang lebih muda.
Pembekuan darah diperkirakan memengaruhi vena tertentu yang memasok otak dan perut. Tapi studi kasus ini menunjukkan pembekuan darah juga dapat memengaruhi arteri utama, yang menyebabkan strok.
Para ahli menekankan, kasus strok dan pembekuan darah sangat jarang terjadi. Sementara itu, William Shakespeare, orang pertama di dunia yang menerima vaksin Covid-19, meninggal setelah serangan strok pada usia 81 tahun. Kematiannya pada pekan lalu tidak terkait dengan vaksin Pfizer yang didapatkannya pada Desember 2020.
Dr Hillary Jones mengatakan, bagaimanapun juga, strok adalah salah satu penyebab kecacatan yang paling umum di Inggris. Kasusnya terjadi pada anak-anak dan orang dewasa yang lebih tua.
"Mengenai strok lain yang kami lihat (pada pasien yang diberikan AstraZeneca), risikonya 1 dari 100 ribu," kata Jones, seperti dilansir dari laman The Sun.
Orang Inggris yang lebih muda dari 40 tidak lagi ditawarkan suntikan AstraZeneca setelah perubahan pada rekomendasi mengingat risiko kecil pembekuan darah yang ditimbulkan. Sebagai gantinya, mereka akan ditawari vaksin Pfizer atau Moderna untuk meminimalkan risiko efek samping yang serius.
Para ahli, termasuk dari Rumah Sakit Nasional untuk Neurologi dan Bedah Saraf di University College London (UCL), merinci tiga kasus strok yang diketahui terjadi di Inggris. Wanita Asia yang meninggal, berusia 35 tahun, mengalami sakit kepala intermiten di sisi kanan dan sekitar matanya enam hari setelah divaksinasi.
Lima hari kemudian, dia terbangun dengan perasaan mengantuk dan kelemahan pada wajah, lengan, dan kakinya. Dia menjalani operasi otak untuk mengurangi tekanan di tengkoraknya bersamaan dengan perawatan lain, tetapi nyawanya tidak bisa diselamatkan.
Pasien kedua, seorang wanita kulit putih berusia 37 tahun, menderita sakit kepala, kebingungan, kelemahan di lengan kirinya dan kehilangan penglihatan di sisi kiri 12 hari setelah vaksinasi. Dia menjalani beberapa perawatan dan selamat.
Pasien ketiga, seorang pria Asia berusia 43, dirawat di rumah sakit tiga pekan setelah menerima vaksinasi dengan masalah berbicara dan memahami bahasa.
Dia menerima transfusi trombosit dan plasma ditambah pengobatan lain dan tetap stabil. Dalam semua kasus, pasien mengalami apa yang dikenal sebagai strok iskemik yang disebabkan oleh penyumbatan arteri besar yang memasok darah ke otak. Ini adalah jenis strok yang paling umum, biasanya terjadi pada orang yang berusia di atas 55 tahun
Ketiganya juga memiliki jumlah trombosit yang sangat rendah, menurut laporan dalam Journal of Neurology Neurosurgery & Psychiatry. Gumpalan darah dengan jumlah trombosit yang rendah setelah vaksinasi dinamai trombosis dan trombositopenia yang diinduksi oleh vaksin (VITT).
Kasusnya biasanya terlihat di pembuluh darah yang lebih kecil yang biasanya mengalirkan darah dari otak. Namun, penulis utama laporan tersebut, David Werring, profesor neurologi klinis di UCL, mengatakan, “Studi kami menunjukkan bahwa strok iskemik yang jauh lebih umum, karena trombosis arteri yang menghalangi aliran darah ke bagian otak, mungkin juga menjadi fitur presentasi. dari trombosis yang diinduksi oleh vaksin."