Azimah: Setop Polemik Sinetron Zahra, KPI Tegaslah!
KPI berwenang menjatuhkan sanksi dan meminta lembaga penyiaran melakukan perbaikan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebaiknya berhenti mencari kambing hitam. Cukup bersikap tegas dengan menegakkan Pedoman Siaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk menyelesaikan polemik soal sinetron Mega Series Suara Hati Seorang Istri: Zahra.
Pernyataan ini disampaikan oleh Azimah Subagijo, ketua umum Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi (MTP) secara tertulis kepada Republika.co.id, Jumat (4/6), menyusul menghangatnya pembicaraan terkait sinetron ini yang tayang di salah satu lembaga penyiaran Jakarta.
Lebih jauh Azimah menyampaikan, P3SPS merupakan peraturan yang ditetapkan KPI berdasarkan amanah Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Selain menetapkan, kewenangan KPI berkenaan P3SPS juga menyosialisasikan, mengawasi pelaksanaannya, menerima dan menindaklanjuti aduan, memberikan sanksi terhadap pelanggaran, bahkan hingga mencabut izin penyelenggaraan penyiaran setelah adanya putusan pengadilan yang in kracht atas pelanggaran standar program siaran.
Oleh karena itu, KPI sudah tidak perlu ragu lagi untuk bersikap tegas sesuai dengan kewenangan yang ia punyai saat menemukan pelanggaran isi siaran. “Bisa jadi benar bahwa awalnya KPI tidak tahu usia pemeran utama sinetron yang belum 15 tahun. Namun, aduan masyarakat terkait usia pemain dan juga konten sinetron yang tidak sesuai klasifikasi program remaja, tentu sudah cukup menjadi dasar bagi KPI untuk menindaklanjuti dan menganalisisnya lebih jauh berdasarkan hasil pemantauan,” ujar Azimah yang juga merupakan inisiator dari Forum Perempuan Mantan Anggota (Permata) KPI.
Azimah menyadari bahwa kewenangan KPI yang terbatas hanya pada program televisi dan radio pascatayang membuat sering kali disalahartikan oleh masyarakat bahwa KPI bertindak lamban. Namun, saat bukti-bukti hasil pengawasan terkumpul dan juga keberatan dan aduan masyarakat menguatkan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran dalam penayangan program siarannya, Azimah mendorong, KPI untuk jangan ragu bersikap tegas. Termasuk, di antaranya adalah persoalan klasifikasi program dan waktu tayang sinetron "Suara Hati Seorang Istri: Zahra" yang dirasa tidak pas.
“Jadi, meskipun surat tanda lulus sensor (STLS) yang dikeluarkan Lembaga Sensor Film (LSF) menuliskan klasifikasi usia remaja (R), bila konten siaran tidak sesuai dengan kategori remaja yang diatur oleh P3SPS, KPI tetap berwenang untuk menjatuhkan sanksi dan meminta lembaga penyiaran melakukan perbaikan sesuai ketentuan yang ada di P3SPS,” ujar Azimah.
Menurut komisioner KPI Pusat periode 2010-2013 dan 2013-2016 ini, perbedaan STLS dengan P3SPS terkait klasifikasi program memang sudah diketahui sejak satu dekade lalu. Kendala yang paling nyata adalah karena klasifikasi usia yang digunakan LSF mengacu kepada Pasal 7 Undang-Undang Perfilman yang menyebutkan ada empat klasifikasi, yaitu semua umur (SU), usia 13 tahun, usia 17 tahun, dan usia 21 tahun. Sementara itu, P3SPS KPI membagi klasifikasi usia menjadi lima bagian, yaitu semua umur (SU), prasekolah (2-6 tahu), anak-anak (7-12 tahun), remaja (13-17 tahun), dan dewasa (18 tahun ke atas).
Akibat perbedaan tersebut, saat STLS LSF menyatakan kategori R, bisa jadi yang dimaksud adalah 17 tahun ke atas sebagaimana kategori yang umumnya LSF buat untuk kategori usia di bioskop. Padahal, media televisi berbeda dengan bioskop mengingat televisi menggunakan ranah publik bernama frekeuensi dan mampu tersiar secara langsung hingga ke ruang-ruang keluarga masyarakat sehingga muatan siarannya pun diatur lebih ketat.
Untuk itulah, KPI penting hadir dengan sejumlah kewenangan yang dimilikinya untuk menjaga ranah penyiaran ini agar tetap nyaman dan aman bagi kepentingan masyarakat banyak. Termasuk, perlindungan bagi anak-anak dan remaja.
Oleh karena itu, Azimah menyarankan agar pembicaraan tentang sinetron "Suara Hati Istri" ini, hendaknya mampu mendorong KPI dan juga pihak-pihak yang berwenang dalam penyiaran dan perlindungan anak seperti LSF, KPAI, pemerintah, DPR, media penyiaran, dan juga rumah produksi serta pekerja seni untuk membenahi kendala yang ada.
“Momentum ini terutama dapat dimanfaatkan untuk lebih memastikan perlindungan anak bukan hanya saat suatu produk siaran itu telah ditayangkan oleh media penyiaran, namun juga sejak perencanaan, proses produksi oleh rumah produksi, dan juga proses penyensorannya oleh LSF, baik terkait konten siaran program sinetron dan film maupun iklan/promo yang hadir di televisi,” ucap Azimah.