Telanjur Jadi Budaya, Antibiotik Sering Banget Diresepkan

Tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik sebagai obatnya.

Wihdan Hidayat / Republika
Anggota Jagareksa Antibiotik menggelar aksi saat Pekan Kesadaran Antimikroba Se-Dunia 2020 di Titik Nol Yogyakarta, Rabu (18/11). Pada aksi ini mereka mengajak warga Yogyakarta untuk peduli dan meningkatkan kesadaran terhadap resistensi antimikroba. Antimikroba adalah obat antibiotik, antijamur, antivirus, antiprotozoa yang merupakan agen untuk mengatasi penyakit infeksi.
Rep: Rahma Sulistya Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat berobat ke dokter, baik orang dewasa maupun anak-anak, kerap mendapatkan antibiotik yang harus dihabiskan sesuai resep. Padahal, tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik sebagai obatnya.

Dokter spesialis penyakit dalam RSUD Dr. Soetomo, Dr Erwin Astha Triyono, menyebut, praktik itu sudah telanjur menjadi budaya di Indonesia. Ia menilai, perlu sosialisasi kepada seluruh klinik maupun rumah sakit untuk menggunakan antibiotik secara bijak.

Di samping itu, Dr Erwin juga mengimbau masyarakat untuk tidak ‘menggampangkan’ penggunaan antibiotik untuk penyakit yang disebabkan oleh virus. Sebab, penyakit tersebut bersifat self-limiting disease, yakni orang yang menderitanya hanya memerlukan banyak istirahat dan cukup nutrisi untuk sembuh.

Selain itu, Dr Erwin turut menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam mencegah meluasnya dampak resistensi antibiotik.

Baca Juga



Antibiotik adalah obat untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik tidak bisa mematikan virus, jamur, atau parasit.

Jadi dari penjelasan tersebut sudah dipastikan, antibiotik tidak bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Jika tidak digunakan dengan bijak, antibiotik malah bisa membunuh bakteri baik.

“Pada 2015, WHO menyebutkan, bakteri resisten adalah bakteri akan kebal terhadap antibiotik, yang pada awalnya berguna untuk mengobati infeksi, yang disebabkan oleh bakteri jahat,” ungkap Dr Erwin, dalam virtual media briefing "Kemitraan Sektor Swasta dan Peran Masyarakat dalam Mempromosikan Penggunaan Antibiotik Secara Rasional dan Tuntas", pekan lalu (10/6).

Penyebab bakteri menjadi resisten itu, menurut Dr Erwin, antara lain akibat penggunaan antibiotik secara berlebihan. Selain itu, penjualan secara bebas di apotek atau rumah obat juga turut berperan membuat antibiotik mudah didapatkan masyarakat.

Lalu, menggunakan antibiotik sebagai profilaksis alias pencegah infeksi pun dapat memicu resistensi antibiotik. Demikian juga penggunaan antibiotik untuk mengatasi infeksi virus serta penggunaannya pada pakan ternak.

"Resistensi antimikroba (AMR) juga telah menyebar di antara penghuni RS," jelas Dr Erwin.

Pada 2016 saja, berdasarkan data WHO, penggunaan antibiotik yang tidak pada tempatnya itu masih 70 persen hingga 80 persen. AMR telah menjadi masalah global yang telah menguras biaya cukup besar, diperkirakan pada 2050 bisa menelan biaya hingga 100 dolar triliun per tahunnya.

“Morbiditas dan mortalitas akan meningkat, rata-rata periode masa rawat inap akan meningkat, dan AMR akan mudah menyebar. Jika ini terus terjadi, angka mortalitas di Asia pada 2050 bisa mencapai 4,7 juta per tahunnya,” ungkap Dr Erwin.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler