Kasus Covid Anak Wujud Lemahnya Perlindungan Orang Tua
Kasus Covid di anak didominasi usia belum sekolah hingga 87 persen.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Zainur Mahsir Ramadhan
Penularan Covid-19 pada anak-anak di Tanah Air masih terus terjadi. Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mencatat kasus Covid-19 di usia anak belum sekolah mendominasi kasus di Indonesia.
Dalam catatan Satgas, kasus anak terjadi 87,49 persen di usia belum sekolah. Sedangkan 12,51 persen pada anak usia sekolah.
"Berdasarkan data Satgas per 17 Juni 2021, persentase kasus Covid-19 pada usia anak sekolah sebesar 12,51 persen (235.527 kasus). Artinya, dari delapan pasien tertular Covid-19, satu di antaranya adalah anak-anak usia sekolah yang berumur sampai 18 tahun," ujar Ketua Bidang Komunikasi Publik Satuan Tugas ( Satgas) Covid-19 Hery Trianto saat dihubungi Republika, Kamis (24/6).
Kemudian, Satgas Covid-19 juga mencatat penularan Covid-19 terjadi pada anak non-usia sekolah sebanyak 87,49 persen (1.647.684 kasus). Di antara kalangan anak usia sekolah, dia melanjutkan, sebaran kasus Covid-19 yaitu pendidikan anak usia dini (PAUD) 0-2 tahun (30.442 kasus); TK 3-6 tahun (32.582 kasus); SD 7-12 tahun (65.634 kasus); SMP 13-15 tahun (47.267 kasus); SMA 16-18 tahun (59.602 kasus). S
atgas mencatat, penambahan kasus Covid-19 pada anak berada pada puncaknya pada Januari 2021 untuk seluruh kelompok umur. Jumlah kasus aktif kemudian mengalami penurunan hingga April dan kembali mengalami kenaikan pada Mei 2021.
"Kemudian kematian tertinggi terjadi pada usia 0 hingga 2 tahun yaitu 0,82 persen, diikuti kelompok usia 16-18 tahun sebanyak 0,23 persen, dan umur 3 hingga 6 tahun 0,23 persen," katanya.
Tiga provinsi teratas dengan kematian tertinggi akibat Covid-19 pada anak berusia 0 hingga 2 tahun yaitu Sulawesi Utara 6,47 persen, Nusa Tenggara Barat (NTB) 4,82 persen, dan Gorontalo 4,23 persen. Kemudian tiga provinsi teratas dengan kematian tertinggi akibat Covid-19 pada anak berumur 3 hingga 6 tahun yaitu Sulawesi Selatan 0,98 persen, NTB 0,75 persen, dan Bengkulu 0,71 persen.
Untuk tiga provinsi teratas dengan kematian tertinggi akibat Covid-19 pada anak berusia 7 hingga 12 tahun yaitu Sulawesi Barat 1,48 persen, Gorontalo 0,99 persen, dan Lampung 0,67 persen. Satgas juga mencatat tiga provinsi teratas dengan kematian tertinggi akibat Covid-19 pada anak berusia 13 hingga 15 tahun yaitu Maluku Utara 1,49 persen, Gorontalo 1,32 persen, dan Aceh, 082 persen. Terakhir tiga provinsi teratas dengan kematian tertinggi akibat Covid-19 pada anak berusia 16 hingga 18 tahun yaitu NTB sebesar 2,03 persen, Gorontalo 1,06 persen, dan Aceh 1,03 persen.
Mengenai penyebab anak Indonesia bisa terpapar virus ini, bahkan sampai menyebabkan kematian, Satgas Covid-19 memiliki beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, dia melanjutkan, ada anggota keluarganya yang mobilitasnya tinggi dan kemudian ketika kembali ke rumah menularkannya pada anak di rumah.
Kemungkinan kedua, ia melihat mobilitas anak remaja usia sekolah menengah atas (SMA) cukup tinggi. Sebab, sebagian dari mereka enggan untuk berdiam diri di rumah dan itu bisa jadi penyebabnya. Meski kemungkinan ini masih harus diteliti lebih lanjut, Satgas mengkhawatirkan isu tersebut.
Satgas tengah menyusun kampanye bagaimana anak-anak remaja harus peduli untuk menjaga protokol kesehatan. Sebab, dia menambahkan, kalau anak sekolah ini nongkrong kemudian tertular Covid-19 tanpa gejala dan ketika pulang ke rumah kemudian bisa menularkan ke anggota kelurganya yang memiliki penyakit penyerta (komorbid).
Tingginya kasus Covid anak ditanggapi epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, bisa terjadi karena perlindungan orang tua ke anak lemah. Dicky mencatat, penularan Covid-19 pada anak secara global 1-3 persen. Sementara penularan Covid-19 pada anak di Tanah Air masih di atas 10 persen.
"Kalau anak di Indonesia terinfeksi virus ini bukan berarti varian ini lebih menyerang anak. Melainkan berarti proteksi kita pada anak yang lemah," katanya saat dihubungi Republika, Kamis (24/6).
Ia menyontohkan, perilaku orang dewasa sekitar anak yang mengabaikan perilaku protokol kesehatan 5M, dan tidak divaksin hingga membawa anak pergi ke mana-mana sehingga tingkat interaksi tinggi jadi potensi anak berisiko terpapar virus. Persoalan ditambah dengan penularan penyakit tidak menular (PTM) pada anak yang serius misalnya diabetes. Kemudian obesitas, kurang gizi, status imunisasi anak juga mempengaruhi kondisi ini.
Dia menambahkan, kalau sampai terjadi kematian pada anak akibat Covid-19, artinya deteksi pada anak yang rendah sehingga terlambat dalam penanganan.
"Karena terlambat ditemukan ya terlambat dirujuk. Ini yang harus diperbaiki pemerintah," ujarnya.
Oleh karena itu, Dicky meminta program pemerintah saat ini harus cepat dievaluasi dan diarahkan pada perlindungan anak.
Ketua umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr dr Aman Bhakti Pulungan, meminta orang tua tidak membawa anaknya keluar rumah. Anak disebutnya hanya boleh keluar rumah jika keadaan mendesak.
Imbauan itu, dinilainya juga serupa dengan menghindari area dengan ventilasi tertutup saat berkegiatan di luar rumah. ‘’Hindari kontak erat dan mengikuti protokol kesehatan secara disiplin, meskipun di dalam rumah,’’ lanjut dia.
Imbauan itu, kata dia, karena merujuk pada data nasional saat ini, di mana proporsi kasus Covid-19 pada anak usia 0-18 tahun mencapai 12,5 persen. Artinya, satu dari delapan kasus Covid-19 di Indonesia adalah anak-anak.
‘’Kedua, data IDAI menunjukkan case fatality ratenya itu adalah 3-5 persen. Jadi kita ini pasien (anak) paling banyak di dunia,’’ tuturnya.
Dia mengatakan, jumlah itu juga bervariasi setiap pekannya. Terlebih, jika merujuk pada data dinkes di Indonesia yang masih belum merata. Dalam penuturannya, data lengkap Dinkes hanya berasal dari DKI karena tes yang dilakukan secara menyeluruh, berbeda dengan dinkes lainnya yang masih sedikit dalam jumlah tes.
Kekhawatiran dr Aman terus meningkat, mengingat ICU khusus anak masih belum tersedia di sebagian besar RS. Bahkan, SDM untuk menangani Covid-19 sudah menurun, mulai dari perawat hingga dokter.
‘’Termasuk obat-obat yang khusus, juga banyak tidak tersedia, karena tidak ada skemanya di BPJS. Jadi, kita bisa kolaps,’’ ungkap dia.
Dia menambah, ke depannya, untuk mencegah berbagai penyakit berbahaya lainnya, perlu dilengkapi imunisasi secara rutin. Termasuk, masyarakat dan pemerintah yang melakukan kerjasama atas pendampingan protokol kesehatan di tempat umum.
‘’Mari jaga anak-anak Indonesia yang hampir 90 juta, dan lahir setiap tahunnya mencapai 5 juta. Penuhi hak anak untuk hidup, juga untuk sehat, demi kehidupan anak cucu kita juga’’ ungkapnya.