Menunda DAU untuk Daerah yang tak Anggarkan Insentif Nakes
Ada 68 daerah yang tidak alokasosikan anggaran untuk insentif nakes.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Nawir Arsyad Akbar, Meiliza Laveda
Melonjaknya kasus Covid-19 membuat kerja tenaga kesehatan (nakes) bekerja tanpa henti. Sejak pandemi terjadi tahun lalu, apresiasi kepada nakes diberikan dalam bentuk insentif.
Sayangnya apresiasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh sejumlah daerah di Tanah Air. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus mendorong pemerintah daerah (pemda) melakukan refocusing dan pembayaran insentif tenaga kesehatan daerah (inakesda). Penyaluran dana alokasi umum (DAU) akan ditunda bagi pemda yang tidak melakukan alokasi anggaran inakesda.
"Bagi pemda yang tidak melakukan refocusing terhadap insentif nakes akan ditunda penyaluran DAU-nya," ujar Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri Mochamad Ardian kepada Republika, Kamis (1/7).
Dia mengatakan, monitoring dan evaluasi dilaksanakan secara rutin terhadap pemberian insentif nakes daerah ini. Penundaan DAU bagi pemda yang tidak mengalokasikan anggaran untuk insentif tenaga medis daerah dilakukan setelah evaluasi tersebut.
Namun, Ardian belum menginformasikan adanya daerah yang sudah ditunda DAU-nya akibat belum menyalurkan insentif nakes daerah. Berdasarkan data per 27 Juni 2021, terdapat 68 daerah yang tidak mengalokasikan anggaran untuk insentif tenaga kesehatan.
Jumlah itu diketahui dari 523 daerah yang telah menyampaikan Laporan Refocussing Delapan Persen DBH (Dana Bagi Hasil)/DAU Tahun Anggaran 2021. Sedangkan, 455 daerah lainnya sudah mengalokasikan anggaran untuk insentif tenaga kesehatan.
Dari 455 daerah yang mengalokasikan anggaran untuk insentif tenaga kesehatan, 144 daerah telah melakukan realisasi dan 311 daerah belum melakukan realisasi (realisasi nol persen). Data yang sama dalam Anggaran dan Realisasi Refocussing Delapan Persen DBH/DAU dalam APBD Tahun Anggaran 2021 juga masih jauh dari harapan.
Berdasarkan Data Kementerian Keuangan per 28 Juni 2021, agregat realisasi anggaran insentif tenaga kesehatan daerah dalam rangka penanganan Covid-19 masih berada pada angka 7,81 persen atau dari total anggaran Rp 8.058,44 triliun baru teralisasi Rp 629,51 miliar.
Wakil Ketua Komisi II DPR Luqman Hakim menyayangkan adanya laporan yang menyebut sejumlah daerah tak menganggarkan insentif bagi nakes yang menangani pasien Covid-19. Padahal, para nakes diketahui merupakan garda terdepan penanganan pandemi.
"Tidak dianggarkannya insentif untuk tenaga kesehatan di sejumlah daerah, menujukkan kepala daerah setempat tidak memiliki kepedulian atas situasi pandemi Covid-19. Sungguh menyedihkan," ujar Luqman lewat keterangan tertulisnya, Rabu (30/6).
Pemerintah daerah juga didesaknya segera mencairkan insentif bagi para nakes. Sebab, tak sedikit dari para nakes yang kurang istirahat dan bahkan tak pulang demi merawat pasien Covid-19.
"Adalah kewajiban negara untuk memberikan dukungan yang memadai kepada seluruh tenaga kesehatan supaya teman-teman tenaga kesehatan dapat bekerja secara maksimal melayani masyarakat," ujar Luqman.
Kemendagri turut diminta untuk menegur pemerintah daerah yang tak kunjung mencairkan insentif nakes. Apabila teguran keras tetap tidak diindahkan, maka dapat disimpulkan sejumlah kepala daerah tersebut telah menghalang-halangi pelaksanaan pengendalian Covid-19.
"Mereka dapat diancam dengan hukuman pidana sebagaimana diatur pada Pasal 93 dan 94 UU nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
Diketahui, besaran nilai insentif tenaga kesehatan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan nomor: S-65/MK.02/2021 terkait Permohonan Perpanjangan Pembayaran Insentif Bulanan dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan dan Peserta PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) yang Menangani Covid-19.
Dalam surat tersebut dirinci, insentif dokter spesialis besarannya Rp 7,5 juta, sementara untuk dokter peserta PPDS Rp 6,25 juta, dokter umum dan gigi Rp 5 juta, bidan dan perawat Rp 3,75 juta, tenaga kesehatan lainnya sebesar Rp 2,5 juta.
Sementara itu, santunan kematian per orang sebesar Rp 300 juta. Satuan biaya tersebut merupakan batas tertinggi dan tidak dapat dilampaui, berlaku terhitung per Januari 2021 hingga Desember 2021.
Apresiasi kepada nakes penting karena tidak sedikit nakes yang bahkan mengorbankan nyawanya karena berada di garda terdepan pengananan Covid-19. Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah, mengatakan, sebanyak 325 perawat meninggal dunia akibat Covid-19. Berdasarkan data nasional per 25 Juni, total kasus meninggal karena Covid-19 sudah mencapai 56.371 kasus.
"Tepatnya 325. Jadi setelah di Wisma Atlet itu ada tiga lagi. Satu di Yogyakarta, satu Jakarta, satu Karawang. Itu data yang masuk ke kami. Mereka meninggal dan dinyatakan Covid," ujar Harif dalam diskusi bertajuk Covid Gawat Darurat pada Sabtu (26/6).
Dia menuturkan, kondisi Covid-19 di Indonesia pada pekan terakhir ini dapat dikatakan darurat. Sebab, beberapa rumah sakit khususnya yang berada di Jabodetabek kapasitasnya cukup penuh, bahkan unit gawat darurat (UGD) digunakan sebagai ruang perawatan.
Harif menyebutkan, rata-rata perawat yang bertugas di ICU dapat menangani maksimal dua sampai tiga pasien. Apabila terjadi kondisi ketergantungan rasionya menjadi satu banding satu antara perawat dan pasien.
Namun, belum ada tambahan tenaga kesehatan yang cukup untuk menangani lonjakan pasien Covid-19 ini. Sedangkan, kebutuhan tenaga medis maupun peralatan berbanding lurus dengan jumlah pasien yang masuk ke fasilitas kesehatan.
Di DKI Jakarta saja, rumah sakit umum daerah (RSUD) memerlukan tambahan sementara sebanyak 923 perawat. Jumlah tersebut tidak termasuk kebutuhan perawat di rumah sakit rujukan yang kebutuhannya bisa mencapai 1.300 orang.
"Belum lagi di luar DKI, itu sekitar 2.000-an kita butuhkan. Sementara rekrutmen juga belum selesai. Artinya kondisi hari ini masih ditangani oleh tenaga kesehatan yang ada saat ini saja, belum ada penambahan," kata Harif.
Dia menerangkan, saat kasus Covid-19 melonjak di tengah keterbatasan jumlah tenaga medis, mereka yang bertugas mengalami kelelahan fisik dan mental. Kelelahan mental yang dimaksud bukan akibat tekanan dari luar, melainkan mereka melihat sendiri pasien yang antre.
Kondisi tersebut memicu rasa empati hingga dibawa ke pemikiran yang mendalam sampai menjadi beban mental bagi mereka. Lonjakan kasus Covid-19 juga otomatis menyebabkan beban kerja para tenaga kesehatan overload.
Salah satu konsekuensi beban kerja tenaga kesehatan yang overload ialah makin tingginya risiko mereka terpapar Covid-19. Mereka setiap hari berada di lingkungan yang sangat rentan karena berkutat dengan orang-orang yang terinfeksi virus corona.
Beban fisik dan mental yang diderita para tenaga kesehatan secara langsung dapat menurunkan imunitas mereka. Padahal, bentuk pertahanan diri selain vaksin Covid-19, juga daya tahan tubuh harus tetap terjaga.
"Kita tidak bisa menahan berapa banyak lagi jumlah tenaga kesehatan kita yang terpapar dan ujung-ujungnya masyarakat yang rugi tidak ada yang melayani," tutur Harif.
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Adib Khumaidi, SpOT mengungkapkan jumlah tenaga medis yang meninggal hingga Juni 2021 akibat pandemi virus Covid-19 juga bertambah. “Per bulan Juni total bisa dikatakan 401 dokter telah meninggal. Gambaran ini memperlihatkan jumlah dokter yang meninggal meningkat pada bulan Juni,” kata dr Adib dalam acara jumpa pers Tim Mitigasi Dokter PB IDI, Jumat (25/6).
Sebelumnya, akhir Mei lalu, jumlah dokter yang meninggal ada 374 orang. Jika ditotal sampai sekarang ada peningkatan sekitar 27 orang. Kemudian dari data perawat yang dikoordinasikan dengan teman-teman persatuan perawat nasional Indonesia (PPNI) ada 315 perawat yang meninggal, tenaga laboratorium 25, dokter gigi 43, apoteker 15, dan bidan 150.
Dibandingkan pada bulan Januari lalu, satu bulan ada 65 dokter yang meninggal. Jika dilihat dari jumlah occupancy rate, kondisi sekarang jauh lebih buruk.
“Perlu disampaikan jika dilihat dari kelompok umur, yang paling berisiko adalah kelompok di atas 65 tahun,” ujar dia.
Lebih lanjut, Adib mengatakan perlu adanya upaya meningkatkan kewaspadaan Covid-19, perketat penggunaan alat pelindung diri (APD), mengatur skala prioritas dan memberikan layanan. Ini termasuk mengurangi jam praktek pada dokter.
“Kami imbau kepada para dokter di atas 65 tahun agar tetap di rumah dan tentunya mohon bantuan jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Yang jelas, kurangi aktivitas sosial, perketat penerapan 6M, dan melaporkan ke dokter mitigasi atau cabang dan perhimpunan masing-masing,” tambah dia.