Satgas IDI: Plasma Konvalesen Hanya untuk Covid-19 Ringan
Bukti ilmiah menunjukkan plasma konvalesen tidak efektif untuk pasien Covid-19 berat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencarian plasma konvalesen kian meningkat seiring dengan bertambah banyaknya masyarakat yang positif Covid-19. Sebetulnya, pasien dengan kondisi apa yang bisa terbantu dengan plasma konvalesen?
Ketua Satgas Penanganan Covid-19 PB IDI, Prof Zubairi Djoerban, mengatakan, plasma konvalesen hanya diperuntukan bagi pasien Covid-19 dengan gejala ringan. Hal itu sejalan dengan bukti ilmiah yang telah dilakukan beberapa jurnal kesehatan.
"Hanya untuk yang ringan, tidak boleh yang berat," ujar Prof Zubairi ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Kamis (1/7).
Berdasarkan bukti yang ada, menurut Prof Zubairi, beberapa negara sudah menangguhkan plasma tersebut sebagai bagian dari pengobatan Covid-19. Bahkan, Inggris, sudah tidak menggunakan plasma konvalesen sama sekali.
"Amerika Serikat juga sudah tidak menggunakannya untuk kasus yang berat, dan banyak syarat lain dalam penggunaanya," jelas dokter spesialis penyakit dalam sub spesialis hematologi onkologi itu.
Mengutip laporan penelitian bertajuk "Asosiasi Pengobatan Plasma Konvalesen Dengan Hasil Klinis pada Pasien Dengan Covid-19" yang dipublikasikan di JAMA Network, Prof Zubairi mengungkapkan bahwa pengobatan dengan plasma konvalesen tidak terkait dengan peningkatan kelangsungan hidup atau hasil klinis positif yang ada jika dibandingkan dengan kontrol lainnya. Kesimpulan itu didapat dari tinjauan sistematis dan meta-analisis dalam penggunaan plasma konvalesen.
Tinjauan itu dilakukan berdasarkan pada data PubMed, registri uji coba Cochrane Covid-19, dan platform Living Overview of Evidence yang dibedah hingga 29 Januari 2021. Pemilihan Studi RCT membandingkan semua jenis plasma konvalesen versus plasebo atau standar perawatan untuk pasien dengan Covid-19 yang dikonfirmasi atau diduga dalam pengaturan perawatan apapun, menurut penulis utama, Lars G. Hermkens, dari Departemen Penelitian Klinis, Rumah Sakit Universitas Basel.
Bahkan, menurut Prof Zubairi, National Institute of Health (NIH) Amerika Serikat juga menghentikan uji coba plasma konvalesen Covid-19 pada pasien gawat darurat dengan gejala ringan. Pasalnya, berdasarkan studi yang NIH lakukan, pemberian plasma konvalesen sebetulnya aman, tetapi tidak memberikan manfaat yang signifikan pada kelompok gejala ringan.
Terapi plasma konvalesen adalah salah satu jenis pengobatan yang digunakan di banyak negara untuk menangani pasien Covid-19. Caranya ialah dengan memanfaatkan plasma darah dari pasien Covid-19 yang telah sembuh, karena dianggap memiliki antibodi terhadap virus.
Sementara itu, menurut dr Adam Prabata, plasma darah tidak menurunkan angka kematian dan tidak menunjukkan perbaikan kondisi klinis pada penerimanya. Dokter umum yang juga kandidat PhD di bidang Medical Science Kobe University, Jepang, itu merujuk pada beberapa hasil penelitian di luar negeri yang telah dipublikasikan di jurnal medis.
"Diduga karena kerusakan paru yang sudah terlalu parah pada pasien Covid-19 berat sehingga plasma konvalesen tidak memberikan efek," ujarnya melalui unggahan foto di akun Instagram-nya @adamprabata.
Hal yang sama juga berlaku bagi pasien Covid-19 bergejala sedang yang dirawat inap. Plasma konvalesen tidak mencegah perburukan kondisi pasien.
"Penelitian plasma konvalesen skala besar (melibatkan lebih dari 10 ribu pasien) di Inggris dihentikan, karena tidak terbukti menurunkan angka kematian," kata dia.
Meski demikian, Adam menyebut, hasil penelitian Infectious Diseases Society of America (IDSA) dan National Institutes of Health pada 2021 mengungkap bahwa plasma darah dengan titer antibodi yang tinggi akan bermanfaat bila diberikan pada fase awal penyakit. Terapi plasma konvalesen terbukti bermanfaat untuk mencegah munculnya Covid-19 berat bila diberikan kepada pasien usia tua dan sakit ringan.
"Pemberiannya kurang dari 72 jam setelah gejala muncul," jelasnya.