Restorative Justice Dokter Lois dan Hoaks Interaksi Obat
Dokter Lois mengakui opininya di media sosial membutuhkan penjelasan medis.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Ali Mansur, Febrianto Adi Saputro
Hoaks seputar Covid-19 menjadi masalah yang tak kunjung tuntas. Kasus terbaru muncul dari ujaran kontroversi dr Lois Owien terkait penanganan pandemi Covid-19 di Tanah Air.
Di media sosial, Lois jelas menyatakan virus corona tidak nyata. Ia juga menyebut banyaknya pasien yang meninggal adalah akibat dari interaksi obat. Bukan akibat penyakit Covid-19.
Setelah menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, kepolisian memutuskan mengedepankan keadilan restoratif (restorative justice) dalam menyelesaikan perkara ujaran kontroversi dr Lois Owien. Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Pol Slamet Uliadi, dalam keterangan tertulisnya, menyebutkan Polri mengedepankan keadilan restoratif agar permasalahan opini seperti ini tidak menjadi perbuatan yang dapat terulang di masyarakat.
"Kami melihat bahwa pemenjaraan bukan upaya satu-satunya, melainkan upaya terakhir dalam penegakan hukum, atau diistilahkan ultimum remidium. Sehingga, Polri dalam hal ini mengedepankan upaya preventif agar perbuatan seperti ini tidak diikuti oleh pihak lain," kata Slamet, Selasa (13/7).
Slamet menjelaskan, dalam menjalani serangkaian pemeriksaan intensif di kepolisian, dr Lois mengakui kesalahannya atas sejumlah opini mengenai Covid-19. Kepada penyidik, dr Lois yang berstatus terduga, memberikan sejumlah klarifikasi atas pernyataannya selaku dokter atas fenomena pandemi Covid-19 tersebut.
"Segala opini terduga yang terkait Covid-19, diakuinya merupakan opini pribadi yang tidak berlandaskan riset," kata Slamet. Ia menyebutkan, ada asumsi yang dibangun sendiri oleh dr Lois, seperti kematian karena Covid-19 disebabkan interaksi obat yang digunakan dalam penanganan pasien.
"Kemudian, opini terduga terkait tidak percaya Covid-19, sama sekali tidak memiliki landasan hukum. Pokok opini berikutnya, penggunaan alat tes PCR dan swab antigen sebagai alat pendeteksi Covid-19 yang terduga katakan sebagai hal yang tidak relevan, juga merupakan asumsi yang tidak berlandaskan riset," ujar Slamet.
Kepada polisi, Lois mengakui opini yang dipublikasikan di media sosial, membutuhkan penjelasan medis. Namun, hal itu justru bias karena di media sosial hanyalah debat kusir yang tidak ada ujungnya. Dalam klarifikasinya dr Lois mengakui perbuatannya tidak dapat dibenarkan secara kode etik profesi kedokteran.
Salah satu kontroversi dr Lois adalah meninggalnya penderita akibat interaksi obat. Guru besar farmasi UGM, Prof Zullies Ikawati, PhD, Apt memberi penjelasan mengenai interaksi obat dan dampaknya.
"Interaksi obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada seorang pasien. Secara umum, interaksi ini dapat menyebabkan meningkatnya efek farmakologi obat lain (bersifat sinergis atau additif), atau mengurangi efek obat lain (antagonis), atau meningkatkan efek yang tidak diinginkan dari obat yang digunakan," ujar Zullies dikutip dari keterangan yang diterima, Selasa (13/7).
Berdasarkan penjelasan tersebut, sebenarnya interaksi ini tidak semuanya berkonotasi berbahaya, ada yang menguntungkan, ada yang merugikan. Jadi tidak bisa digeneralisir, dan harus dikaji secara individual. Banyak kondisi penyakit yang membutuhkan lebih dari satu macam obat untuk terapinya, apalagi jika pasien memiliki penyakit lebih dari satu (komorbid).
Hal serupa juga terjadi pada kasus pasien-pasien Covid-19 yang memiliki komorbid. Zullies kemudian menyebutkan hipertensi sebagai contoh penyakit yang tidak bisa terkontrol hanya dengan obat tunggal. Kadang jenis penyakit ini membutuhkan obat antihipertensi lain yang dikombinasikan dengan dua atau tiga obat antihipertensi lainnya.
Dalam kasus ini Zullies menjelaskan bahwa pemilihan obat yang akan dikombinasikan harus tepat, yaitu yang memiliki mekanisme yang berbeda. "Sehingga ibarat menangkap pencuri, dia bisa dihadang dari berbagai penjuru. Dalam hal ini, obat tersebut dapat dikatakan berinteraksi, tetapi interaksi ini adalah interaksi yang menguntungkan, karena bersifat sinergis dalam menurunkan tekanan darah," jelas Zullies.
Lantas bagaimana dengan terapi Covid-19? Covid-19 merupakan salah satu penyakit unik di mana kondisi satu pasien dengan yang lain dapat sangat bervariasi. Pada kasus Covid-19 yang bergejala sedang sampai berat misalnya, maka dapat terjadi peradangan paru, gangguan pembekuan darah, gangguan pencernaan, dan lain-lain.
Karena itu, sangat mungkin diperlukan beberapa macam obat untuk mengatasi berbagai gangguan tersebut, di samping obat antivirus dan vitamin-vitamin. Justru jika tidak mendapatkan obat yg sesuai, dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian.
Dalam hal ini, dokter tentu akan mempertimbangkan manfaat dan risikonya dan memilihkan obat yang terbaik untuk pasiennya. Tidak ada dokter yang ingin pasiennya meninggal dengan obat-obat yang diberikannya.
Interaksi obat dapat merugikan jika adanya suatu obat dapat menyebabkan berkurangnya efek obat lain yang digunakan bersama. Atau bisa juga jika ada obat yang memiliki risiko efek samping yang sama dengan obat lain yang digunakan bersama, maka akan makin meningkatkan risiko total efek sampingnya, jelas Zullies.
Jika efek samping tersebut membahayakan, tentu hasil akhirnya akan membahayakan. "Seperti contohnya obat azitromisin dan hidroksiklorokuin yang dulu digunakan untuk terapi Covid, atau azitromisin dengan levofloksasin, mereka sama-sama memiliki efek samping mengganggu irama jantung. Jika digunakan bersama maka bisa terjadi efek total yang membahayakan," papar Zullies.
Selain itu, interaksi obat dapat meningkatkan efek terapi obat lain. Pada tingkat tertentu, peningkatan efek terapi suatu obat akibat adanya obat lain dapat menguntungkan, tetapi juga dapat berbahaya jika efek tersebut menjadi berlebihan.
Ada sejumlah penyakit yang harus menggunakan kombinasi obat dalam terapinya. Untuk itu, perlu dipilih obat yang memiliki risiko interaksi terkecil.
Faktanya, tidak semua obat yang digunakan bersama itu menyebabkan interaksi yang signifikan secara klinis. Yang artinya aman-aman saja untuk dikombinasikan atau digunakan secara bersamaan.
Zullies menjelaskan bahwa pada dasarnya, interaksi obat dapat dihindarkan dengan memahami mekanisme interaksinya. Mekanisme interaksi obat itu sendiri bisa melibatkan aspek farmakokinetik (mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lain), atau farmakodinamik (ikatan dengan reseptor atau target aksinya).
Karena dampak interaksi obat tidak bisa digeneralisir dan harus dilihat kasus demi kasus secara individual, maka solusi yang diberikan untuk mengatasi tiap kasus tentu berbeda. Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa interaksi obat tidak semudah itu menyebabkan kematian.
Jika ada penggunaan obat yang diduga akan berinteraksi secara klinis, maka pemantauan hasil terapi perlu ditingkatkan. Sehingga, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat interaksi obat, dapat segera dilakukan tindakan yang diperlukan, misal menghentikan atau mengganti obatnya, kata Zullies.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena, mengimbau agar masyarakat mendengarkan informasi soal Covid-19 dari sumber yang terpercaya dan terakreditasi. "Masyarakat kita itu harusnya mendengarkan dari sumber-sumber yang memang terpercaya dan terakreditasi, baik itu kelembagaan maupun pribadi," kata Melki kepada wartawan, Selasa (13/7).
Menurutnya, sebagai sebuah wacana seseorang berhak menyampaikan berpendapat. Namun demikian, jika informasi yang disampaikan oleh sumber yang tidak terpecaya dan terakreditasi maka informasi tersebut tidak perlu dibesar-besarkan.
"Dokter Lois ini juga bukan yang pertama kan, sudah berkali-kali orang mengatakan perspektif tentang covid tetap rujukannya kan dari pemerintah, Kemenkes, dari Komisi 9, kan Komisi 9 sering memberikan pencerahan," ungkapnya.
Melki juga mengimbau agar masyarakat mendengar informasi seputar Covid-19 dari sejumlah pihak yang terpercaya seperti BNPB, Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Airlangga Hartarto, ketua umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), atau ketua perawat dan apoteker.
"Jadi dari institusi atau individu yang terpercaya atau terakreditasi gitu," ucapnya.
Melki menuturkan, terkait perbedaan perspektif soal Covid-19 di kalangan dokter agar ditempatkan pada forum ilmiah. Sementara itu terkait dampak sosial dari pernyataan dokter Lois ia menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum.
"Masyarakat kita kadang-kadang hal semacam ini juga dijadikan sensasi, dibikin jadi ramai jadi isu politik gitu-gitu lah, saya kira kita masyarakat kita ikut saja yang sumber-sumber terpercaya sementara yang menyangkut dampak dari komentar dokter Lois yang ada dampak sosial yang lain kan itu urusan pemerintah aparat hukum lah," ungkapnya.