Saat Menkes Dicecar Soal Vaksin Gotong Royong Individu
Anggota dewan menilai kebijakan vaksin berbayar belum tepat diterapkan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi IX DPR menggelar rapat kerja dengan Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, dan BPOM, Selasa (13/7). Dalam rapat tersebut sejumlah anggota dewan menyoroti soal kebijakan pemerintah terkait vaksinasi Gotong Royong individu.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto menilai kebijakan tersebut tidak tepat dilakukan saat ini. "Yang program saja belum clear, permintaan bupati wali kota se-Indonesia sampai sekarang yang antre demikian tinggi, ini belum clear. Artinya kalau muncul vaksin individu menimbulkan, 'lah yang dilayani yang punya duit, sementara yang miskin yang mengharapkan vaksin program itu belum selesai', maka menurut saya timingnya kalau ini untuk individu itu belum pas," kata Edy dalam rapat kerja.
Dia juga merespons pernyataan Menkes yang mengatakan bahwa pemerintah tidak akan menjual vaksin hibah dari pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) sebanyak 500 ribu vaksin berjenis Sinopharm. Menurutnya, perlu ada jaminan bahwa vaksin tersebut tidak akan dijual untuk vaksin individu.
"Jaminan apa yang pak menteri sampaikan tadi vaksin Sinopharm dari UEA itu tidak digunakan untuk vaksin mandiri? Lalu muncul kesimpulan publik yang berkonotasi negatif ini vaksin hibah kok malah digunakan dijual apalagi semua hulu hilirnya dikelola oleh holding BUMN, ini yang menjadi pertanyaan publik," ucapnya.
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Golkar, Darul Siska, menyoroti soal birokrasi yang berbelit terhadap perusahaan yang ingin ikut program vaksin Gotong Royong. Ia mengusulkan agar birokrasi pengajuan program vaksinasi Gotong Royong dipermudah.
"Apakah, birokrasi semacam ini bisa dibuat mudah, sehingga tidak ada pikiran segera Kimia Farma untuk melakukan vaksinasi untuk internalnya sendiri, karena belum merasa mendapatkan pelayanan cepat dari kemenkes atau dari Kadin," ujarnya
Anggota Komisi IX DPR, Netty Prasetiyani, mempertanyakan alasan mengeluarkan kebijakan vaksinasi berbayar. Padahal animo masyarakat untuk divaksin mulai meningkat.
"Kalau kemudian saat masyarakat mulai ingin divaksin, tiba-tiba dihadapkan dengan isu vaksin Gotong Royong berbayar, saya pikir, saya khawatir ini akan turunkan kepercayaan masyarakat terhadap upaya penanganan pandemi ini," ucapnya.
Politikus PKS itu tak mengetahui pasti alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan vaksinasi Gotong Royong untuk individu. Padahal Presiden sudah menegaskan vaksin gratis untuk seluruh masyarakat.
"Kalau kemudian narasinya ketidakmampuan APBN, ya sudah dahulukan yang harus penuhi target herd immunity. Atau kemudian kita perlu beri opsi, yang tidak mau antre silakan mengakses vaksin berbayar, kalau begitu, berlaku teori hukum rimba, siapa yang kuat akan menang dari pandemi ini, survival of the fittest, yang kaya yang bisa akses vaksin," ungkapnya.
"Saya nggak ingin hari ini sudah banyak infodemik dan masyarakat terjebak pada civil disobedience, atau mengalami pandemic fatigue. Jangan lagi diperparah diperberat dengan isu-isu yang memantik kegaduhan yang tidak perlu," imbuhnya.
Anggota Komisi IX Fraksi Partai Demokrat, Aliyah Mustika Ilham, menilai jika pemerintah tetap ingin menjual vaksin, ia mengusulkan agar namanya diubah tidak lagi Gotong Royong, melainkan vaksin mandiri. "Karena jangan sampai korbannya digotong, royongnya hilang," ucapnya.
"Siapa yang digotong? Siapa yang diroyong," kata Wakil Ketua Komisi IX, Nihayatul Wafiroh menimpali pernyataan Aliyah.
Kemudian Wakil Ketua Komisi IX DPR lainnya, Felly Estelita Runtuwene, juga mempertanyakan kebijakan vaksinasi berbayar. Ia meminta pemerintah terbuka secara gamblang terkait apa yang terjadi.
"Saya minta ini bukalah di publik apa yang terjadi, supaya tidak liar, tidak liar orang menanggapi A,B,C, D. Sampaikan ini cuma masalah lebih ke masalah keterusterangan pak, baru kita bisa mendapatkan solusi yang baik," kata politikus NasDem itu.