Muna Dahouk, Lari dari Perang Saudara untuk Datang ke Tokyo

Muna telah mewakili jutaan pengungsi di seluruh dunia untuk berlaga di Olimpiade.

EPA
Logo Olimpiade Tokyo 2020.
Rep: Eko Supriyadi Red: Endro Yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Judo telah menjadi bagian penting dalam hidup Muna Dahouk. Sejak berusia enam tahun, perjalanan hidup telah membawanya sampai ke Olimpiade Tokyo 2020.

Selasa (27/7), ia melangkah ke matras di rumah spiritual judo, arena Nippon Budokan. Musuhnya di atas kertas lebih baik, dan ia memiliki tugas berat melawan juara Pan American Games 2019 Kuba Maylin del Toro Carvajal.

Itu terbukti. Del Toro dalam waktu singkat menempatkan Dahouk di kuzure-kami-shiho-gatame dan menjepit lawannya untuk menang dengan ippon hanya 38 detik sejak memasuki kontes. Namun kekalahan itu bukanlah sebuah kegagalan dalam hidup Muna.

Muna Dahouk memperoleh Beasiswa Atlet Pengungsi IOC dan telah dipilih sebagai salah satu dari enam judoka untuk Tim Olimpiade Pengungsi IOC yang beranggotakan 29 orang untuk Tokyo 2020. Kisah hidupnya memang penuh tragedi.

Ayahnya adalah seorang judo sensei di Damaskus, Suriah, dan Muna muda mengikuti kakak perempuannya Oula ke dojo untuk belajar bersama Ayah. Ketika perang saudara pecah, ia kehilangan sang ayah. Keluarganya kemudian melarikan diri. Ia dan saudara perempuannya mengikuti kakak laki-laki dan sang ibu ke Belanda.

''Setelah kematian ayah kami, kami memutuskan untuk pergi. Kami tidak bisa tinggal di Suriah. Itu terlalu berbahaya," kata Muna, dikutip dari laman resmi Olimpiade, Selasa (27/7).

Muna kemudian tinggal di Belanda dalam satu setengah tahun terakhir. Ia dan kakaknya telah mewakili Tim Pengungsi IJF dalam kompetisi dengan judoka Muna -63kg mengambil bagian dalam Grand Prix Budapest 2019 dan Grand Slam Paris dan Düsseldorf tahun lalu.

Seperti banyak atlet yang senasib dengannya, olahraga berfungsi sebagai pelarian dari kesulitan dan trauma selama pelarian. ''Judo adalah segalanya bagi saya, karena saya hidup sesuai dengan nilai-nilai mereka. Mereka adalah nilai-nilai kehidupan, tidak lebih dan tidak kurang,'' ucap Muna.

Bagi Muna, ini lebih dari sekadar menang atau kalah. Atlet berusia 25 tahun ini tetaplah seorang Olympian untuk selamanya. Ia telah mewakili jutaan pengungsi di seluruh dunia, dengan menunjukkan seberapa jauh impian dan dedikasinya. Waktunya dalam kompetisi di Tokyo 2020 mungkin singkat, tetapi dia memiliki tiga tahun untuk mempersiapkan dan mencobanya lagi di Paris 2024.


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler