Langkah Presiden Saied Dinilai Bahayakan Demokrasi Tunisia

Langkah Presiden Tunisia dinilai mirip seperti yang terjadi di Mesir pada 2013.

AP/Slim Abid
Presiden Tunisia Kais Saeid, kiri, menyambut Menteri Luar Negeri Aljazair Ramadhan Laamamra untuk membahas krisis Tunisia di Istana Kepresidenan di Carthage, di luar Tunis, Tunisia, Selasa, 27 Juli 2021.
Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Kelompok penelitian dan advokasi yang berbasis di Inggris mengatakan langkah Presiden Kais Saied untuk menangguhkan parlemen dan memecat pemerintah tampak seperti perampasan kekuasaan murni. Langkah tersebut dapat mengancam demokrasi di Tunisia.

“Menggulingkan pemerintah, menangguhkan parlemen dan mengambil alih kekuasaan kehakiman tertentu, benar-benar membahayakan demokrasi yang pernah dirayakan di Tunisia setelah Revolusi Melati yang menyebabkan pemecatan Zine El Abidine Ben Ali pada Januari 2011,” kata Abdullah Faliq, direktur pelaksana Cordoba Foundation, kepada Anadolu Agency.

Baca Juga


Sumber, https://www.aa.com.tr/id/dunia/perebutan-kekuasaan-oleh-presiden-saied-bahayakan-demokrasi-tunisia/2316662.

Saied membubarkan pemerintahan Perdana Menteri Hichem Mechichi pada 25 Juli. Ia juga menangguhkan parlemen dan mengambil alih kekuasaan eksekutif.

Langkah tersebut telah ditolak oleh sebagian besar blok parlemen Tunisia, termasuk gerakan Ennahda, Heart of Tunisia, Koalisi Martabat dan Gerakan Rakyat.

Rached Ghannouchi, ketua parlemen Tunisia, menggambarkan rencana Saied sebagai "kudeta penuh".


Faliq, yang juga direktur eksekutif Pusat Pemahaman Inggris-Turki, mengatakan tindakan presiden Tunisia itu tampak seperti peluang perebutan kekuasaan murni. “Orang-orang berspekulasi bahwa Saied menggunakan krisis untuk memaksakan sistem presidensial di Tunisia untuk membatasi peran parlemen. Jika itu niat yang sebenarnya, dia harus memberikan suara dan membiarkan rakyat memutuskan,” tambah dia.

Mirip Mesir 2013

Menurut Faliq, langkah presiden Tunisia menyerupai perebutan kekuasaan di Mesir pada Juli 2013 oleh Abdel-Fatah al-Sisi, yang mencopot presiden pertama yang terpilih secara demokratis Mohamed Morsi. “Ini jelas berkembang menjadi apa yang tampak seperti kudeta, dengan militer di sisi Saied,” ujar dia.

Faliq menunjukkan bahwa kudeta Sisi disusul oleh tindakan keras brutal terhadap anggota parlemen terpilih, oposisi, media, kelompok hak asasi manusia dan siapa pun yang kritis terhadap rezim.

“Hal yang sama tampaknya terjadi di Tunisia sekarang, dengan politisi dilarang memasuki parlemen dan pasukan keamanan menyerbu kantor Aljazirah di Tunis,” imbuh dia.

“Dalam masyarakat beradab, ada cara demokratis dan legal untuk mengatasi masalah seperti korupsi, masalah ekonomi dan efek melumpuhkan dari pandemi Covid-19,” tambah Faliq.

Dia menekankan bahwa menangguhkan parlemen dan menutup negara itu bukanlah solusi.

Keseimbangan

Faliq menegaskan bahwa mengembalikan supremasi hukum dan demokrasi dengan segera sangat penting jika Tunisia ingin menghindari fragmentasi lebih lanjut dan krisis yang lebih besar, “Ketidaksepakatan tentang konstitusi negara perlu ditangani dan diselesaikan oleh pengadilan konstitusi, tetapi itu belum terjadi karena perselisihan yang sedang berlangsung ini,” ungkap dia.

Dia memperingatkan bahwa kekerasan yang terlihat antara pendukung dan penentang presiden dapat meningkat di luar kendali dan menjerumuskan negara ke dalam krisis yang lebih dalam.



sumber : Anadolu
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler